CariDotMy

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 7183|Reply: 10

JEJAK AKSARA DI NUSANTARA (INDONESIA)

[Copy link]
Post time 24-12-2011 01:27 PM | Show all posts |Read mode
Post Last Edit by wartakita at 24-12-2011 13:33

Thread ini bersumber dari hasil  Pameran Lambang dan Aksara Nusantara di Museum Nasional Indonesia tanggal 7-28 Oktober 2011 + Sumber-sumber lain yang terkait/tersedia ...




Pameran Lambang dan Aksara Nusantara merupakan pameran pelengkap untuk mendukung Pameran Seni Ukir dan Kaligrafi Tiongkok. Kedua pameran diselenggarakan di Museum Nasional pada 7-21 Oktober 2011 pukul 09.00-16.00. Khusus untuk Pameran Lambang dan Aksara Nusantara diperpanjang hingga 28 Oktober 2011. Tempat yang digunakan adalah gedung lama untuk Pameran Lambang dan Aksara Nusantara dan gedung baru untuk Pameran Seni Ukir dan Kaligrafi Tiongkok.


Sekitar 90 koleksi pilihan Museum Nasional dipamerkan di sini. “Diharapkan melalui pameran ini, pengunjung dapat memahami koleksi yang dipamerkan sehingga pengunjung dapat menyerap informasi sebanyak-banyaknya mengenai lambang dan aksara di Nusantara,’ kata Direktur Permuseuman, Intan Mardiana.


Pameran Lambang dan Aksara Nusantara menampilkan enam topik, yaitu Lambang, Aksara, Stempel dan Kaligrafi, Sistem Perlambangan, Teknologi Grafis, serta Tato dan Grafiti/Mural.


Foto-foto persiapan pameran:



PANDUAN PAMERAN:


Lambang

Penggambaran lambang-lambang sudah lama dikenal dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Sebagai lambang, materi yang digambarkan tidak lagi sekadar materi biasa. Lambang memiliki filosofi dan makna tertentu. Lambang adalah sebuah pengejawantahan sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat, dalam suatu kebudayaan. Sebuah bentuk segitiga, bukan semata bentuk geometris. Ia adalah tumpal, lambang keselarasan kosmos. Penggambaran bentuk-bentuk tanaman, hewan, gunung, matahari, anggota tubuh atau makhluk mitologis, pun memiliki maknanya masing-masing, sebagaimana pola pikir masyarakat negeri ini dalam memandang alam dan lingkungannya, serta mengekspresikan pemahamannya.


Aksara


Perkenalan dengan aksara Pallawa, di abad ke-5 Masehi, seperti memberi rangsangan bagi perkembangan tradisi tulis di Nusantara. Aksara Nusantara pertama, Kawi atau Jawa Kuna, pun lahir. Evolusi tulisan lantas terjadi. Dari aksara Kawi terjadi perkembangan lokal, menurunkan aksara-aksara daerah lainnya, yaitu Sunda, Bali, Batak, Rejang, Kerinci, Lampung, dan Bugis-Makassar. Di sisi lain masuk pula pengaruh Arab. Penggunaan aksara Arab ternyata dapat diterima secara luas. Nusantara pada masa ini, boleh dibilang berada pada masa keemasan tradisi literernya. Banyak cendikiawan yang lahir. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Selanjutnya, masuk pengaruh Eropa dengan aksara Latinnya. Pemakaian aksara Latin diterima hampir di seluruh Nusantara. Transformasi ilmu dan pengetahuan pun terjadi lebih intensif, memberi perkembangan pada peradaban negeri ini. Namun belakangan ini, terasa ada kerinduan akan penggunaan kembali aksara daerah warisan masa silam, demi tujuan pelestariannya.


Stempel




Stempel tertua sebagai bentuk suatu pengesahan telah dikenal sejak abad ke-10 Masehi, pada masa raja Airlangga, yang berupa pahatan lambang garudamukha pada prasasti batu. Pada perkembangan selanjutnya, dikenal stempel untuk pengesahan dokumen. Bentuknya ada yang berupa stempel genggam dan stempel cincin. Di Indonesia, artefak yang berupa stempel cincin tertua, dengan huruf Jawa kuno, diperkirakan berasal dari abad ke-8 hingga ke-10 Masehi.


Kaligrafi


Kaligrafi adalah seni menulis indah. Kaligrafi tertua diperkirakan berasal dari Tiongkok. Jepang dan Eropa juga mengenal kaligrafi. Namun kaligrafi yang berkembang pesat berasal dari Arab. Di Nusantara kaligrafi Arab banyak terdapat pada nisan-nisan kuno dari periode Islam. Dalam perjalanan waktu, kaligrafi menjadi benda seni yang diperdagangkan. Lukisan kaca Cirebon dan ukiran kayu Jepara, banyak terilhami motif-motif kaligrafi. Bahkan seni lukis kaligrafi dengan motif batik pernah dikembangkan di Indonesia.


Sistem Perlambangan

Pengetahuan astronomi dan navigasi diyakini merupakan unsur kebudayaan asli Indonesia. Sejak lama bangsa-bangsa di Nusantara sudah memiliki pengetahuan tentang peredaran benda-benda angkasa, yakni matahari, bulan, planet, dan bintang. Berdasarkan pengetahuan astronomi inilah tercipta kalender sebagai suatu sistem perlambangan. Pada awalnya, kalender berhubungan dengan kegiatan petani dan nelayan, untuk mengetahui bilamana masa menanam padi, menuai panen, dan menangkap ikan. Dari pengetahuan astronomi itu, tercipta pula sistem perlambangan untuk menggambarkan kepribadian dan karakter seseorang. Juga, untuk meramal masa depan orang.


Teknologi Grafis

Stempel dan cap adalah dua benda yang berhubungan erat. Secara teknis, stempel merupakan alat cetak (negatif). Sementara cap, hasil cetaknya (positif). Prinsip dasar teknologi grafis, yaitu prinsip ”negatif” dan ”positif” merupakan cara yang diterapkan pula dalam mencetak mata uang dan membuat batik. Dengan teknologi ini, produk-produk grafis dapat dibuat secara lebih massal. Namun untuk batik, teknik tulislah yang dianggap lebih menghasilkan produk yang berkualitas.


Tato

Pemahaman manusia terhadap sesuatu, yang diekspresikan dalam bentuk lambang, telah melahirkan seni hias tubuh atau tato. Pada etnis Mentawai atau Dayak, perajahan lambang-lambang tertentu diyakini menimbulkan efek magis sesuai makna yang terkandungnya. Tato, bagi masyarakat tradisional akhirnya juga memiliki fungsi sebagai jimat, keyakinan religius atau simbol status. Tato di jari tangan yang melambangkan status seseorang sebagai ahli pengobatan pada etnis Dayak, misalnya, dipercaya akan memberi kesaktian dalam penyembuhan penyakit. Lewat jari-jari tangan itulah pengobatan dilakukan.


Mural dan Grafiti

Ekspresi manusia dalam menggambarkan lambang-lambang atau tulisan, kini banyak dikreasikan pada dinding-dinding mural dan grafiti. Secara kualitas, mural dan grafiti sudah dianggap sebagai karya seni, sebagai produk budaya modern, yang mengandung visi, makna atau pesan tertentu. Seni melukis dinding ini sebenarnya sejak lama dikenal di Indonesia. Pada dinding-ding gua di Sulawesi, misalnya, dapat dijumpai adanya lukisan yang menggambarkan berbagai bentuk binatang atau anatomi tubuh manusia. Diduga sebagai bentuk perlambangan komunikasi atau ekspresi religius.

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 24-12-2011 01:39 PM | Show all posts
Post Last Edit by wartakita at 24-12-2011 13:46

http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara
Sambandha: Aksara-Aksara di Nusantara (Dwipantara)

Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha, jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978).


Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau terracotta) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemuakan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi (A.D). Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskrta.


Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), Juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.


Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskrta dengan gaya khas inovasi-nya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara (tujuh) dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung-muara), di tepi (sungai) Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskrta; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau aksara sangkha. Sejauhmana kebenarannya, yang jelas pilin, pilin gandha ataupun sulur-suluran merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara, sebelum dikenal aksara (Djafar 1978).


Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai indegenous khusunya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi “Garonto Passura” . Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan sebagai hasil dayacipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudsian menjadi complicated sebab setiap individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya. Pada dasarnya aksara yang berkembang di Nusantara secara visual khususnya pada periode Klasik secara umum terdiri dari 33 dasar ucapan.


Kuatnya indegenous yang menjadi ciri aksara di Nusantara adalah untuk mengatasi kesulitan tatkala penyesuaikan sistem fonetik (bunyi) bahasa-bahasa Nusantara dalam mengalihaksarakan bunyi pepet/ pepat (=tanda seperti ) aksara dalam suatu kata untuk menyatakan bunyi è; é; ê; æ; ë) dan hiatus (bunyi peralihan di antara dua monoftong berdampingan dan membentuk dua suku berurutan tanpa jeda atau konsonan antara seperti sia – sya – sya; dua – duwa – dwa), semua unsur bunyi tersebut hanya dikenal di dalam kosakata (abjad) bahasa-bahasa daerah di Nusantara (Jawa, Sunda,Bali,Sumatra, atau Malayu) yang tidak dikenal dalam kosakata bahasa ataupun aksara pengaruh dari India. Ketiadaan inilah yang justru membedakan antara aksara Nusantara dan India, tanda-tanda bunyi sepenuhnya milik ”mutlak” masyarakat Nusantara dan tentu saja harus dicantumkan ke bentuk aksara yang disebut diakritis.


Pada sejumlah naskah sumber tertulis dari masa lebih tua yang umumnya menggunakan bahasa Sanskrta, kesulitan itu tidaklah terasa benar karena tidak mengenal tanda-tanda bunyi seperti itu sehingga dirasa tidak perlu mencantum-kannya, kecuali tanda-tanda diakritis. Mengatasi kesulitan itu sedapat-dapatnya tidak menuliskan pepat pada akhir suku kata pertama pada pokok kata, melainkan konsonan permulaan sukukata itu dirangkap dengan konsonan permulaan dari sukukata kedua seperti dmakan, wdihan, si kbo, lmah, wdus, wkas, kdung pluk dan seterusnya. Meskipun diakui sang citralekha tidaklah selalu konsekwen pada sukukata yang sulit atau tidak mungkin dirangkap, maka tanda [ĕ] pepat di sini diganti menjadi bunyi [a] seperti suket–sukat; mangagem–mangagam; mapeken mapekan dan seterusnya (Boechari 1958).  Inilah kenyataan bahwa gaya dan jenis suatu aksara di Nusantara memiliki Style dan dari style itu pula tercerna unsur motif, unsur hubungan, dan unsur kualitas yang seluruhnya itu berakar pada inti budaya (hoe) sarat ide-ide atau gagasan pendukung budayanya.

[sunting]


Reply

Use magic Report

 Author| Post time 24-12-2011 02:01 PM | Show all posts
Post Last Edit by wartakita at 24-12-2011 14:03

Aksara Sunda Kuno (Ngalagena)



Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena.Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18.Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda Kuno.

Berikut Prasasti Kawali dengan aksara Sunda Kuno (GAMBAR 1) :

Tak ada bukti yang jelas tentang awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek moyang orang Sunda menggunakan aksara ini. Yang jelas, sebelum abad ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak (naskah lontar) ditulis dalam aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti Tugu abad ke-4) dan aksara Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11). Bahasanya pun Sansekerta dan Jawa Kuno bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14 dan seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam media batu/prasasti dan naskah kuno.

Sama seperti naskah-naskah kuno di Jawa, yang menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal (Borassus flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga daun palem nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan dengan seutas tali, bisa seutas di tengah-tengah daun atau dua utas di sisi kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan menorehkan peso pangot, sebuah pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta melalui pena. Tintanya dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu. Biasanya peso pangot untuk huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena untuk huruf-huruf bundar.

Naskah-naskah kuno Sunda yang memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Carita Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang ditulis pada abad ke-16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyangan ini, di mana di dalamnya terdapat dua kata Arab, yaitu dunya dan niat. Ini menandakan bahwa persebaran kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah merasuk pula ke dalam alam bawah sadar penulis carita tersebut. Begitu pula naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang ditulis pada masa yang tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan perjalanan spiritual sang tokoh dalam menghadapi kematian, ketika raga wadag (tubuh) meninggalkan alam fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli.

Judul yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian (disebut pula Kropak 603), sebuah naskah tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada 1518 M. Ada pula naskah Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy atau Naskah MSA) yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas mengenai ajaran moral dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai lebih tua dari Carita Parahyangan; hal ini terbukti dari ejaannya, seperti kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa (dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo).

Berikut naskah Sewaka Darma (GAMBAR 2).

Naskah-naskah keagamaan tersebut biasa ditulis di sebuah kabuyutan atau mandala, yakni pusat keagamaan orang Sunda yang biasanya terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat intelektual. Gunung Galunggung, Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh dari kabuyutan tersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.

Setelah islamisasi, keberadaan aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun, aksara Arab-lah yang mendominasi dunia tulis menulis, yang dikenal dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga dan penulis tak lagi menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf Arab dalam naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada tahun 1662-1663, di mana Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri. Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis pada abad ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.

Pemakaian aksara Sunda makin terkikis setelah aksara latin diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa kolonialisasi pada abad ke-17 hingga seterusnya. Tak hanya itu, penguasaan Mataram Sultan Agung atas wilayah-wilayah Sunda pada abad yang sama mengakibatkan sastra-sastra Sunda lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda (carakan), bukan aksara Sunda. Contoh naskah Sunda yang ditulis menggunaka bahasa dan aksara carakan adalah Babad Pakuan atau Babad Pajajaran yang ditulis pada 1816, di mana terdapat kisah Guru Gantangan, pada masa pemerintahan Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata), Bupati Sumedang. Isi babad ini menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda atas kosmologi dan hubungannya antara manusia sempurna dengan mandala kekuasaan.

Sistem Aksara Sunda


Aksara Sunda berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya sebagian yang berbentuk bundar.

Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Berikut tabel aksara swara Sunda (GAMBAR 3) :

Sedangkan aksara ngalagena adalah tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar bunyi ngalagena-nya mati. Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya dapat mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut tabel aksara ngalagena Sunda (GAMBAR 4) :

Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda, yakni: panghulu (di atas), panyuku (di bawah), pemepet (di atas), panolong (di kanan), peneleng (di kiri), dan paneuleung (di atas). Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda (GAMBAR 5) :

Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran, yakni pengecek (akhiran –ng), pangwisad (akhiran –h), dan panglayar (akhiran –r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan di tengah-tenngah kata, yakni pamingkal (sisipan –y-), panyakra (sisipan –r-), dan panyiku (sisipan -l-). Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda pamaeh dalam aksara Sunda
Reply

Use magic Report

Post time 24-12-2011 06:33 PM | Show all posts
tulisan rencong i ada dengar, apa ek tu?
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 24-12-2011 07:11 PM | Show all posts
Post Last Edit by wartakita at 24-12-2011 19:12

Aksara-aksara Nusantara

Aksara-aksara yang beredar di Indonesia atau Nusantara pada jaman dulu merupakan aksara yang digunakan sebelum kedatangan aksara Arab atau Latin. Penggunaan aksara-aksara itu mungkin sudah digunakan awal abad 4 sesuai dengan prasasti-prasasti kerajaan jaman dulu.

Aksara-aksara di Nusantara merupakan turunan dari aksara Palawa yang berkembang di India bagian selatan, dan merupakan turunan dari aksara Brahmi yang merupakan cikal bakal semua aksara di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti di Indonesia, Malaysia, Brunai, Thailand dll.

Bukti tertua mengenai keberadaan aksara Nusantara adalah berupa prasasti berupa tujuh buah yupa ( tiang batu untuk mengikatkan tali ) yang berisi tulisan prasasti mengenai upacara Waprakeswara yang diadakan oleh Mullawarman, raja kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa tersebut memakai aksara Palawa dan Bahasa Sangsekerta, dan berdasarkan bentuk hurup Palawa pada yupa tersebut, para ahli sejarah berkesimpulan bahwa yupa tersebut dibuat pada abad 4.


Aksara tersebut merupakan warisan budaya Nusantara yang sekarang ini nyaris punah karena memang tidak digunakan lagi.
Dari urutannya, Aksara Nusantara terbagi dalam beberapa bagian :

Zaman Klasik :
  • Aksara Palawa
  • Aksara Siddamatrka
  • Aksara Kawi ( Aksara Jawi Kuna )

Zaman Pertengahan :

  • Aksara Buda
  • Aksara Sunda Kuna
  • Proto - Sumatera

Zaman Kolonial :

  • Aksara Batak ( Surat Batak )
  • Aksara Rencong ( Aksara Kerinci )
  • Aksara Lampung ( Had Lampung )
  • Aksara Jawa ( Aksara Jawa Baru / Hanacaraka )
  • Aksara Bali
  • Aksara Lontara ( Aksara Bugis - Makassar )
  • Aksara Baybayin
  • Aksara Buhid
  • Aksara Hanuno'o
  • Aksara Tagbanwa

Zaman Modern :

  • Aksara Sunda Baku

Dalam perjalanannya, Aksara Nusantara mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan perkembangan budaya, zaman dan juga masyarakat penggunanya. Beberapa contoh variasi perubahan Aksara Nusantara sebagai berikut :

- Variasi Aksara Kawi ( Aksara Jawa Kuna ) :
  • Aksara Kayuwangi : Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk bundar miring. Disebut Aksara Kayuwangi, karena aksara ini banyak ditemukan di prasasti-prasasti dari sebelum hingga sesudah masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Raja Mataram ( 855 - 885 ), oleh para ahli epigrafi Indonesia, aksara Kayuwangi dinilai sebagai jenis Aksara Kawi yang paling indah.
  • Aksara Kuadrat : merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak atau bujursangkar. Variasi ini banyak dijumpai jaman Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.
  • Aksara Majapahit : merupakan aksara Kawi yang tiap hurupnya ditulis dengan banyak hiasan yang kadang membuat para ahli kesulitan membacanya. Seperti namanya. Aksara ini banyak dijumpau pada jaman Kerajaan Majapahit.

- Variasi Aksara Batak :

  • Aksara Batak : Aksara Batak untuk menuliskan Bahasa Toba
  • Aksara Karo :  Aksara Batak untuk menuliskan Bahasa Karo
  • Aksara Dairi : Akasara Batak untuk menuliskan Bahasa Dairi
  • Aksara Simalungun : Aksara Batak untuk menuliskan Bahasa Simalungun
  • Aksara Mandailing : Aksara Batak untuk menuliskan Bahasa Mandailing.

- Variasi Aksara Jawa :

  • Aksara untuk menuliskan Bahasa Jawa Baru
  • Aksara untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuna
  • Aksara untuk menuliskan Bahasa Jawa dengan dialek Banten
  • Aksara untuk menuliskan Bahasa Jawa dengan dialek Cirebon
  • Aksara untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan

- Variasi Aksara Bali :

  • Aksara untuk menuliskan Bahasa Bali Baru
  • Aksara untuk menuliskan Bahasa Bali Kuna
  • Aksara untuk menuliskan Bahasa Sasak

- Variasi Bahasa Lontara : terdiri dari Aksara Bugis yang digunakan unatuk menuliskan Bahasa Bugis dan Aksara Makassar yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Makassar.


Dan kekayaan budaya Nusantara khususnya Aksara Nusantara diyakini tidak hanya itu, masih ratusan atau ribuan lagi Aksara dan Bahasa Nusantara yang saat ini masih digunakan oleh penduduk Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.



Reply

Use magic Report

Post time 28-12-2011 03:29 PM | Show all posts
adessssss...panjangnya..ada words yang kurang paham maknanya..
Reply

Use magic Report

Follow Us
Post time 5-1-2012 01:38 PM | Show all posts
Bugis-Makassar.
wartakita Post at 24-12-2011 19:11



    Warta...saya rasa perkataan Bugis-Makassar ni kena ditukar kepada Bugis sahaja...Makassar, Bone, Wajo, Palopo (Luwu), Mandar dll semua adalah Bugis dan mereka semua berasal dari Luwu'.

Bila kita sebut sahaja Bugis.. kita sudah faham bahawa ia merangkumi suku-suku Sulawesi Selatan...tak payah susah2 tulis Bugis-Makassar
Reply

Use magic Report

Post time 6-1-2012 08:14 PM | Show all posts
Tulisan Jawi ?
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 6-1-2012 10:15 PM | Show all posts
Tulisan Jawi ?
HangPC2 Post at 6-1-2012 20:14



    Dah pupus kowt...
Reply

Use magic Report

Post time 7-1-2012 01:14 AM | Show all posts
tak silap Tulisan Jawi di Indonesia dikenali sebagai Tulisan Arab Peranakan.....
Reply

Use magic Report

Post time 7-1-2012 01:40 AM | Show all posts
bukan sume pakai tulisan jawi..yg pakai orang melayu n suku2 rumpun melayu ja...
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT


Forum Hot Topic

 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

30-12-2024 10:49 PM GMT+8 , Processed in 0.395154 second(s), 24 queries , Gzip On, Redis On.

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list