|
Long time ago, before our land become “ Indonesia “, it has many kinds of name that is mentioned by foreigners.
Chinese gave name Nan-hai, which means “Southern Sea archipelago“. The second name is called Dwipantara, this name is given by Indian country that is sanskrit word has meaning “ The Across of Archipelago “.
Ramayana tale was the work of the famous poet Valmiki told the search of Sinta, the Rama’s wife which has been kidnapped by Rahwana to Suwarnadwipa ( Golden Island, now called Sumatra ) which is located in Dwipantara archipelago. And the third name is Jaza’ir al-Jawi, this name is given by Arabian which has meaning “ The Archipelago of Java “.
The latin named for incense is benzoe, from Arab language is Luban Jawi ( Java Incense ), because Arab merchants get those incense from Styrax Sumatrana stem which long ago only grow in Sumatra. The fourth name is Indies Archipelago (Indishe Archipel, Indian Archipelago, I’Archipel Indien ) or it can be called as a east Indies ( Oost Indies, Indes Orientales ).
The fifth name is Nederlandsh-Indie, this name is given by Netherlands which has meaning “ Nederlandsh-Indie “. The sixth name is To-Indo. This name is given by Japan which has meaning “ Oost Indies “.
In 1920 an Ernest Francois Eugene Dekker who is known as Dr. Setiabudi, he have introduce a name for our land that is not related with Indie word. The name is Nusantara. The name of Nusantara is derived from the word of “ Nusa “ which has meaning Island while “ Antara “ means existing between to continents and two islands. So Nusantara can be translated as islands between two continents and two islands. And Dutch famous writer which named is Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ) wants to gives a specific name to describe our motherland, the name is Insulinde which means Hindia Archipelago ( in Latin Insula means island ). This name is unpopular because the local indigenes dislike the invader argument about their nation.
B. The History Of Indonesia’s Name
The Development Timelines of Motherland name until founding the National Identity :
Before being the name of Indonesia, our land is recognized by many persons from year to year. In 1847 James Richardson Logan publishes scientific magazine which title was Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA). And “. In 1850 Logan also wrote an article with the title : The Ethnology of the Indian Archipelago. This was the first time he wrote an article. Logan also stated there that our land is need to have special name of our land because the term “ Indian Archipelago “ is so long and confusing. Logan takes the name of Indunesia that is thrown by Earl and Logan replaces the syllable of “ U “ becomes “ O “ to make the pronunciation better. And it was born the term of Indonesia. It was the first the time for Indonesia appears in Logan world with printed on page 254 and his writing he stated “ Mr, George suggest the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesia. I prefer the purely geographical term Indonesia, ehich is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago “. When Logan suggested the name “ Indonesia “, he doesn’t realize that later the name became legally used. And at that time he used name of “ Indonesia “ constantly in his scientific writings. This term spreads out among scientist of ethnologist.
In 1849 George Samuel Windsor Earl join with editor magazine JIAEA. And in 1850 he wrote an article that title On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesia Nations. In his article Earl explained that it is the time for Oost Indies’s people or the malay archipelago has a distinctive name because the name of Oost Indies is not suitable for them. And in his article Earl proposes two names, the first name is Indunesia or Malayunesia. On page 71 it was said : “…the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians “.
In 1867 this term is used by English his name is Maxwell in his writing that title “ The Island of Indonesia “ in his relation with ethnography. The term of Indonesia became popular when there was a scientist of ethnology from Germany. He was Adolf Bastian, he used the term Indonesia in 1884 in relation to ethnology. He was lecturer of Berlin University, Adolf Bastian publishes book that title “ Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel “ consists of five volumes. Bastian’s book which make the term of “Indonesia“ popular. Until in Dutch / Netherland it was assumed that name of Indonesia is created by Bastian. By 1920 name “ Indonesia “ that is scientific term in ethnology and geography is taken by the heroes of Indonesia which make the name of Indonesia as political meaning. It is a national identity to fight for liberty.
In 1913, Indonesia nationalist used term of Indonesia Raden Mas Suwardi Suryaningrat ( famously Ki Hajar Dewantara ). He knew that term when he was exiled to Netherlands. Because he rebelled against Dutch colonial in Indische Partij ( IP ) Organization. In year 1913 he established a press bureau which named Indoneische Pers-bureau. This press bureau which is introduced Indonesia term first time to local indigenes.
In 1917, Indonesisch name ( Indonesia ) also is the other name of Indisch ( Indie ) by Prof Cornelis Van Vollenhoven in year 1917. with this opinion, local indigenes name changed into Indonesier ( Indonesia people ). The name of Indonesia people began famous to wide society and the world. He told many to global society about the famous Indonesia culture called Adat Law in his book The Adat-Law of the Netherlands Indies. When he research about Indonesian law, he is the man who legalized the changing name of local indigenes to Indonesian people and Dutch government agreed with his opinion. Because local indigenes name was not so good so it must be changed. With this changing Indonesian people term began famous in world society and local indigenes began used the Indonesia term which began given colonial government as the basic to claim independence.
[ Last edited by jf_pratama at 8-7-2007 10:59 PM ] |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
The history of the usage of Indonesia term as the pilotical meaning and as the nation identity to struggling independence :
|
|
|
|
|
|
|
|
Apa dan Siapa Ir. Sukarno牋
Ir. Sukarno -atau yang lebih dikenal rakyat Indonesia dengan nama Bung Karno- dalam lembaran sejarah ketatanegaraan Indonesia tercatat sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. Tetapi peranan beliau dalam perjuangan bangsa Indonesia sebenarnya jauh lebih luas. Beliaulah-bersama Drs. Moh. Hatta-membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sehingga diberi predikat Bapak Proklamator. Selain itu beliau juga diakui sebagai Bapak Bangsa (founding fathers) yang banyak berperan dalam membangkitkan, memberikan jati diri bangsa dan kemudian meletakkan dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila, yang pertama kali dilontarkan pada 1 Juni 1945.
Bung Karno dilahirkan di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. Ayahnya adalah seorang guru bernama R. Soekemi Sosrodihardjo, sedang ibunya, Nyoman Rai, adalah kerabat seorang bangsawan di Singaraja (Bali).
Sejak usia muda, bahkan ketika masih bersekolah di HBS (Hogere Burger School, sekolah lanjutan setingkat SMA) Surabaya, beliau telah terjun untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, dengan memasuki organisasi Tri Koro Darmo, organisasi pemuda yang kemudian berubah nama menjadi Jong Java. Bahkan semasih di HBS pula Bung Karno mulai menulis artikel politik melawan kolonialisme Belanda di surat kabar pimpinan tokoh Sarekat Islam, HOS. Tjokroaminoto, Oetoesan Hindia.
Setamatnya dari Technische Hoge School Bandung (kini Institut Teknologi Bandung) beliau menolak menjadi pegawai pemerintah kolonial. Sebaliknya pada tanggal 4 Juli 1927 bersama Mr. Sartono, Ir. Anwari, Mr. Sunario dan lain-lain beliau mendirikan PNI, sebuah partai politik yang memiliki program untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Tahun 1927 itu pula Bung Karno mempelopori berdirinya PPPKI (Permufakatan Partai-partai Politik Kebangsaan Indonesia), sebagai gabungan dari organisasi-organisasi dan partai politik yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, di antaranya PNI, PSII, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond, dan Kaum Betawi.
Karena kegiatan politiknya pada tahun 1930 Bung Karno ditahan pemerintah kolonial dan kemudian dijatuhi hukuman selama 4 tahun. Pidato pembelaannya di Landraad Bandung yang diberi judul Indonesia Menggugat menggegerkan dunia internasional, sehingga pemerintah kolonial pada tanggal 31 Desember 1931 terpaksa membebaskan Bung Karno sebelum masa hukumannya selesai.
Sekeluarnya dari penjara Sukamiskin ternyata kegiatan Bung Karno tidak berkurang. Bahkan beliau memutuskan masuk ke Partindo (Partai Indonesia), dan memimpin majalah partai yang radikal, Fikiran Ra’jat. Tahun 1934 Bung Karno diasingkan ke Ende (Flores), dan kemudian pada tahun 1938 dipindahkan ke Bengkulu.
Sebagai orang interniran, Bung Karno tetap menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan. Sejak di Ende Bung Karno mendirikan perkumpulan sandiwara yang diberi nama Kelimutu, dan sempat mementaskan cerita-cerita karangannya, seperti “Dr. Syetan” dan “1945″. Kegiatan itu diteruskan di Bengkulu. Bahkan di tempat pengasingan yang baru itu Bung Karno aktif dalam kegiatan pendidikan lewat Muhammadiyah.
Ketika Jepang menyerang Indonesia, oleh Belanda Bung Karno akan dibawa ke Australia. Tetapi ternyata rencana itu gagal, sehingga Bung Karno jatuh dalam kekuasaan tentara Jepang. Menyadari besarnya pengaruh Bung Karno di kalangan rakyat Indonesia, Jepang akhirnya membawa Bung Karno ke Jakarta.
Sesuai kesepakatan di antara para pemimpin pergerakan, Bung Karno dan Bung Hatta berjuang di tengah tentara pendudukan, sementara Sutan Sjahrir bergerak di bawah tanah. Pada tanggal 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno menyampaikan gagasannya tentang Pancasila, sebagai dasar falsafah negara Indonesia Merdeka. Dalam akhir persidangan BPUPKI, sila-sila dalam Pancasila itu disahkan untuk dimasukkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah mengetahui bahwa Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu, pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di halaman rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Sehari kemudian, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bung Karno secara aklamasi dipilih menjadi presiden pertama Republik Indonesia.
Menghadapi upaya kolonialisme Belanda untuk kembali menjajah Indonesia, Bung Karno memutuskan hijrah ke Yogyakarta dan memimpin perjuangan dari kota itu. Baru setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Bung Karno dan seluruh jajaran pemerintahan kembali ke Jakarta.
Berkat kepemimpinan Bung Karno akhirnya negara Republik Indonesia Serikat yang semula direncanakan Belanda gagal dan pada 1 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan. Bung Karno akhirnya berhasil menyempurnakan Negara Kesatuan itu setelah Belanda bersedia menyerahkan Irian Barat ke Indonesia pada tahun 1962.
Selama menjabat Presiden RI Bung Karno juga terus memperjuangkan kemerdekaan negara-negara terjajah. Berkat gagasannya menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika pada bulan April 1955 di Bandung, sejumlah negara di Asia-Afrika berhasil memperoleh kemerdekaannya. Bung Karno tidak henti-hentinya berjuang untuk perdamaian dunia, seperti menggalang Konferensi Non-Blok bersama sejumlah tokoh dunia ketiga seperti Nehru, Nasser, Tito dan Nkrumah. Berkat perjuangannya itu Bung Karno juga mendapat gelar Pahlawan Islam Asia-Afrika. Dan Mingguan Time yang berpengaruh di dunia internasional memasukkan Bung Karno dalam tokoh Asia yang berpengaruh di abad ke-XX, sejajar dengan Nehru, Mao Zedong serta Nasser.
Pribadi Bung Karno sendiri sangat luar biasa. Tidak heran para pengamat mengatakan, selama 100 tahun belum tentu di Indonesia lahir seorang tokoh seperti Bung Karno. Ia tidak hanya dikenal sebagai orator hebat, tetapi juga diplomat ulung.
Bung Karno mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam maupun di luar negeri. Selain dari universitas terkemuka di Indonesia seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin dan Institut Agama Islam Negeri Jakarta, juga dari perguruan tinggi di mancanegara. Di antaranya, Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman), Lomonosov University (Moscow), Al-Azhar University (Cairo). Berbagai bidang keilmuan menunjukkan luas wawasan Bung Karno. Tidak hanya dalam Ilmu Teknik, tapi juga dalam Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu Hukum, Ilmu Sejarah, Filsafat dan Ilmu Ushuluddin.
[ Last edited by jf_pratama at 8-7-2007 11:14 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
JASMERAH
JANGAN sekali-kali melupakan sejarah”. Atau biasa disingkat dengan JASMERAH, Itulah tajuk pidato Ir. Soekarno sebelum lengser dari kursi kepresidenan. Pesan singkat agar orang tidak melupakan sejarah berujung menjadi harapan hampa. Sejarah hanya dimaknai dalam urutan tanggal untuk sekadar diperingati sebatas momen seremonial. Apa makna hakiki dari peristiwanya itu sendiri jarang atau bahkan sama sekali tak disentuh.
Demikian juga dengan Soekarno, presiden pertama RI yang juga dikenal sebagai founding father republik ini. Di masa Orde Baru (Orba) peran Soekarno dikerdilkan sebatas sebagai proklamator atau presiden pertama RI yang di akhir masa pemerintahan tersangkut dengan ideologi komunisme yang dikembangkan oleh PKI.
Namun, tidak pernah terungkap bagaimana pemikiran-pemikiran Soekarno dan jiwa besarnya. Sebagai tokoh legendaris, ia dikenal sebagai orang yang visioner, populis, orator, dan pemimpin yang karismatik.
>Ia menjadi sosok yang menjadi idola rakyatnya. Hanya karena keyakinan politiknya dan kurang cepat dalam menyelesaikan persoalan politik yang berkecamuk pada tahun 1965, sosok Soekarno lengser dan hilang selama lebih dari tiga dekade.
Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 sejatinya adalah salah satu titik kulminasi dari perjuangan panjang dan idealisme menghapuskan imperialisme dan kolonialisme dari muka bumi.
Konferensi Asia Afrika (KAA) atau juga sering disebut Konferensi Bandung adalah salah satu di antara berbagai kancah perjuangan besar Soekarno bagi bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa lainnya.
Satu hal pasti, Konferensi Bandung adalah penggerak penting dalam perubahan-perubahan besar di Asia Afrika, sesudah selesainya Perang Dunia II. Juga menjadi pendobrak utama sehingga di Afrika terjadi dinamika politik dan perubahan besar untuk mencapai kemerdekaan.
Dalam tulisannya Konferensi Bandung: Kancah Perjuangan Besar Bung Karno, pelaku sejarah dan seorang pengagum Bung Karno, A. Umar Said mengungkapkan bagi banyak pemimpin bangsa dan tokoh angkatan tua gerakan progresif berbagai negeri Asia-Afrika, Bandung dan Soekarno adalah dua nama yang tidak terpisahkan dan sampai sekarang, tertanam secara terhormat dalam ingatan mereka.
>Ia menceritakan ketika Konferensi Asia Afrika diselenggarakan mulai 18 sampai 25 April 1955, sejak beberapa bulan sebelum dibuka, rakyat Indonesia sudah mengikuti (lewat pers dan RRI) persiapan-persiapan yang mendahuluinya. Antara lain, adanya Konferensi Kolombo (April tahun 1954) yang dihadiri oleh Jawaharlal Nehru dari India, U Nu dari Burma (Myanmar), Mohamad Ali dari Pakistan, John ****lawala dari Sri Langka (Ceylon, waktu itu), dan Ali Sastroamidjoyo yang mewakili Bung Karno.
Kemudian, hasil Konferensi Kolombo dilanjutkan dengan konferensi Panca Negara di Bogor (Desember 1954) untuk menetapkan acara konferensi Asia Afrika di Bandung (yang akan diadakan 5 bulan kemudian), merumuskan tujuannya dan juga negara-negara yang diundang.
Di Benua Afrika khususnya, kata Said, pada waktu itu masih banyak negara yang dalam status jajahan dan semi jajahan, dan karenanya tidak bisa atau belum bisa mengirimkan peserta secara resmi. Justru dari segi ini pulalah Konferensi Bandung memberikan sumbangan besar kepada berbagai rakyat Afrika, karena mereka kemudian mendapat dorongan untuk mempercepat dan mengembangkan perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan nasional.
Itulah sebabnya, sampai sekarang, nama Bandung dan Soekarno tetap sangat terkenal di Afrika. Konferensi Bandung dimasukkan sebagai bagian penting dalam buku-buku pelajaran sejarah.
Bagi para pemimpin perjuangan rakyat berbagai negeri di Afrika (waktu itu) nama Bung Karno (atau nama Bandung, atau nama Indonesia) adalah nama yang amat terhormat. Entah berapa kali Gamal Abdul Nasser (Mesir), Anwar Sadat (Mesir), Ahmad Ben Bella (Aljazair), L. Sedar Senghor (Senegal), Modibo Keita (Mali), Sekou Touri (Guinea), Dr. Kwame Nkrumah (Ghana), Patrice Lumumba (Conggo), Mugabe (Zambia), Julius Nyerere (Tanganyika, yang kemudian menjadi Tanzania), Salim Ahmad Salim (Zanzibar, yang kemudian menjadi Sekjen OAU/Organisasi Persatuan Afrika), dan Nelson Mandela (Afrika Selatan) menyebut-nyebut nama Soekarno dan Bandung dalam pidato-pidato atau tulisan mereka.
Kembali pada tajuk pidato Soekarno menjelang epilog kekuasaannya, bagaimanapun, kehormatan dan keterbukaan sejarah adalah bagian layak bagi mereka yang berhak.
[ Last edited by jf_pratama at 8-7-2007 11:23 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda
Dok Kompas
PADA tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme,” kata Bung Karno, “telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad.” Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. “Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno di depan para pendengarnya.
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat antikolonialisme dalam pidato itu bukanlah merupakan hal baru bagi Bung Karno. Bahkan sejak masa mudanya, terutama pada periode tahun 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas tampak. Bisa dikatakan bahwa sikap antikolonialisme dan anti-imperialisme Soekarno pada tahun 1950-an dan selanjutnya hanyalah merupakan kelanjutan dari pemikiran-pemikiran dia waktu muda.
Tulisan berikut dimaksudkan untuk secara singkat melihat pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme-dan selanjutnya elitisme-serta bagaimana relevansinya untuk sekarang.
Antikolonialisme dan anti-imperialisme
Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme adalah tulisannya yang terkenal yang berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme“. Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap antikolonialisme tersebut tampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama “untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka.” Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi.
Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah ekonomi, Soekarno percaya, kolonialisme erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itu, kaum kapitalis tak segan-segan untuk mengeksploitasi orang lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l’homme par l’homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain.
Soekarno muda menentang kolonialisme dan kapitalisme itu. Keduanya melahirkan struktur masyarakat yang eksploitatif. Tiada pilihan lain baginya selain berjuang untuk secara politis menentang keduanya, bahkan jika hal itu menggelisahkan profesornya. Pada suatu pagi di awal tahun 1923, sebagai seorang mahasiswa Soekarno dipanggil untuk menghadap Rektor Technische Hoge School waktu itu (THS), sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Profesor Klopper. Kepada mahasiswanya, sang profesor mengatakan, “Kamu harus berjanji bahwa sejak sekarang kamu tak akan lagi ikut-ikutan dengan gerakan politik.”
“Tuan,” jawab Soekarno, “Saya berjanji untuk tidak akan mengabaikan kuliah-kuliah yang Tuan berikan di sekolah.” “Bukan itu yang sama minta,” sanggah si profesor. “Tetapi hanya itu yang bisa saya janjikan, Profesor,” jawab Soekarno lagi.
Sebagai suatu sistem yang eksploitatif, kapitalisme itu mendorong imperialisme, baik imperialisme politik maupun imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno muda tak ingin menyamakan begitu saja imperialisme dengan pemerintah kolonial. Imperialisme, menurut dia, “bukanlah pegawai pemerintah; ia bukanlah suatu pemerintahan; ia bukan kekuasaan; ia bukanlah pribadi atau organisasi apa pun.” Sebaliknya, ia adalah sebuah hasrat berkuasa, yang antara lain terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah atau mengatur ekonomi dan negara orang lain. Lebih dari sekadar suatu institusi, imperialisme merupakan “kumpulan dari kekuatan-kekuatan yang kelihatan maupun tak kelihatan.”
Soekarno mengibaratkan imperialisme sebagai “Nyai Blorong” alias ular naga. Kepala naga itu, menurut dia, berada di Asia dan sibuk menyerap kekayaan alam negara-negara terjajah. Sementara itu tubuh dan ekor naga itu ada di Eropa, menikmati hasil serapan tersebut. Bersama dengan kolonialisme dan kapitalisme, imperialisme merupakan tantangan besar bagi setiap orang Indonesia yang menghendaki kemerdekaan.
[ Last edited by jf_pratama at 8-7-2007 11:37 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda
Anti-elitisme
Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno muda ada tantangan besar lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan.
Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka.
Soekarno muda melihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam struktur bahasa Jawa yang dengan pola “kromo” dan “ngoko“-nya mendukung adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya atas stratifikasi demikian itu, dalam rapat tahunan Jong Java di Surabaya pada bulan Februari 1921, Soekarno berpidato dalam bahasa Jawa ngoko, dengan akibat bahwa ia menimbulkan keributan dan ditegur oleh ketua panitia. Upaya Soekarno yang jauh lebih besar dalam rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Bertolak dari pertemuan pribadinya dengan petani Marhaen, Soekarno merasa terpanggil untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia, serta kepada peranan mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme yang kapitalistik itu. Kaum Marhaen ini, sebagaimana kaum proletar dalam gagasan Karl Marx, diharapkan akan menjadi komponen utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat baru yang lebih adil.
Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa Marhaneisme “menolak tiap tindak borjuisme” yang, bagi Soekarno, merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan “padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx,” dalam arti bahwa mereka ini merupakan “kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia.“
Kompleks
Lantas, langkah-langkah apa yang diusulkan oleh Soekarno untuk melawan kolonialisme, imperialisme serta elitisme itu? Pertama-tama ia mengusulkan ditempuhnya jalan nonkooperasi. Bahkan sejak tahun 1923 Soekarno sudah mulai mengambil langkah nonkooperasi itu, yakni ketika ia sama sekali menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial. Dalam kaitan dengan ini ia kembali mengingatkan bahwa motivasi utama kolonialisme oleh orang Eropa adalah motivasi ekonomi. Oleh karena itu mereka tak akan dengan sukarela melepaskan koloninya. “Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinya,” kata Soekarno, “jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya.” Oleh karena itu pula ia yakin bahwa kemerdekaan tidak boleh hanya ditunggu, melainkan harus diperjuangkan.
Langkah lain yang menurut Soekarno perlu segera diambil dalam menentang kolonialisme dan imperialisme itu adalah menggalang persatuan di antara para aktivis pergerakan. Dalam serial tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme ia menyatakan bahwa sebagai bagian dari upaya melawan penjajahan itu tiga kelompok utama dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia-yakni para pejuang Nasionalis, Islam dan Marxis-hendaknya bersatu. Dalam persatuan itu nanti mereka akan mampu bekerja sama demi terciptanya kemerdekaan Indonesia. “Bahtera yang akan membawa kita kepada Indonesia Merdeka,” ingat Soekarno, “adalah Bahtera Persatuan.“
Pada saat yang sama Soekarno juga mengingatkan bahwa perjuangan melawan kolonialisme itu lebih kompleks daripada perjuangan antara kelompok pribumi melawan kelompok kulit putih. Pada satu sisi perlu dibedakan antara “pihak Sini” yakni mereka yang mendukung, dan “pihak Sana” yakni mereka yang menentang perjuangan kemerdekaan. Pada sisi lain perlu disadari pula bahwa kedua “pihak” itu ada baik di kalangan pribumi maupun di kalangan penguasa kolonial.
Seruan-seruan Soekarno itu pada tanggal 4 Juli 1927 dilanjutkan dengan pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sebagai tujuan utamanya dicanangkan untuk “mencapai kemerdekaan Indonesia.” Guna memberi semangat kepada para aktivis pergerakan, pada tahun 1928 ia menulis artikel berjudul Jerit Kegemparan di mana ia menunjukkan bahwa sekarang ini pemerintah kolonial mulai waswas dengan semakin kuatnya pergerakan nasional yang mengancam kekuasaannya. Ketika pada tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan pada tanggal 29 Agustus 1930 disidangkan oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan itu. Dalam pleidoinya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas ia menyatakan perlawanannya terhadap kolonialisme. Dan tak lama setelah dibebaskan dari penjara pada tanggal 31 Desember 1931 ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yakni partai berhaluan nonkooperasi yang dibentuk pada tahun 1931 untuk menggantikan PNI yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
[ Last edited by jf_pratama at 8-7-2007 11:42 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda
Mendua
Menarik untuk disimak bahwa meskipun Soekarno amat berapi-api dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, sebenarnya perlawanan itu tidak total, dalam arti tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk menuntaskan ketiga tantangan itu. Hal ini tampak misalnya ketika ia mendirikan PNI. Di satu pihak memang dengan jelas digariskan bahwa tujuan utama PNI adalah mencapai Indonesia merdeka. Tetapi di lain pihak cita-cita kemerdekaan itu tidak disertai hasrat untuk mengubah sistem politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dengan sistem politik yang sama sekali baru. Alih-alih perubahan total, Soekarno-sebagaimana banyak aktivis pergerakan waktu itu-berkeinginan bahwa negeri yang merdeka itu nanti akan ditopang oleh sistem yang mirip dengan sistem yang menopangnya saat terjajah. Hanya elitenya akan diganti dengan elite baru, yakni elite pribumi.
Pemakaian Soekarno atas gagasan-gagasan Marxis amat selektif. Ia tertarik dengan pengertian proletariat-nya Marx, tetapi ia memperluasnya menjadi Marhaenisme. Di satu pihak perluasan itu membuat revolusi menjadi lebih jauh daripada sekadar pertarungan antara buruh pabrik melawan para kapitalis, tetapi di lain pihak hal ini juga membuat fokus revolusi menjadi kabur. Kekaburan ini menjadi bertambah ketika disadari bahwa pemerintah kolonial, yakni pihak yang mau dilawan oleh kaum Marhaen, melibatkan juga banyak sekali pejabat dan pegawai pribumi. Dan dalam hal ini rupa-rupanya Soekarno memang tidak bermaksud mengadakan suatu perubahan total. “Kita berjuang bukan untuk melawan orang kaya,” tulisnya di harian Fikiran Rakjat tahun 1932, “melainkan untuk melawan sistem.“
Betapapun “galak”-nya Soekarno muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme dengan menggunakan prinsip nonkooperasi, ternyata ia tidak selalu konsisten. Sekitar bulan-bulan Agustus-September 1933, sebagaimana dilaporkan oleh pemerintah kolonial, ia menyatakan mundur dari keanggotaan Partindo, memohon maaf, dan meninggalkan prinsip nonkooperasi. Ia bahkan dilaporkan bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda. Lepas dari benar atau tidaknya laporan pemerintah itu, berita ini mengagetkan dan mengecewakan para pendukung gerakan kemerdekaan waktu itu. Mereka kecewa karena tokoh perjuangan yang mereka agung-agungkan, telah menyerah. Dalam koran Daulat Ra’jat edisi 30 November 1933 Mohammad Hatta bahkan menyebut peristiwa ini sebagai “Tragedie-Soekarno.” Hatta amat menyesalkan inkonsistensi serta lemahnya semangat perlawanan tokoh taktik nonkooperasi itu.
Berhubungan dengan sikap anti-elitismenya perlu dilihat bahwa meskipun dalam pidato dan tulisan-tulisannya Soekarno tampak melawan elitisme, tetapi sebenarnya bisa diragukan apakah ia sepenuhnya demikian. Hal ini tampak misalnya dalam pidato yang ia sampaikan pada tanggal
26 November 1932 di Yogyakarta, kota pusat aristokrasi Jawa. Dalam pidato itu Soekarno mengajak setiap orang, apa pun status sosialnya, untuk bersatu demi kemerdekaan. Tetapi sekaligus ia menegaskan bahwa bersama Partindo dirinya tidak menginginkan perjuangan kelas. Dalam tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme, sebagaimana disinyalir oleh McVey, sebenarnya Soekarno sama sekali tidak sedang bicara dengan rakyat banyak. Dalam tulisan itu ia, menurut McVey, “tidak menyampaikan imbauannya kepada kelompok-kelompok radikal pedesaan dan proletar yang telah memelopori pemberontakan komunis setahun sebelumnya, atau kepada para santri-santri taat pejuang Islam, atau kepada rakyat kebanyakan di dalam maupun di sekitar wilayah perkotaan yang bergabung ke dalam PNI yang didirikan oleh Soekarno saat mereka sedang mencari pegangan di tengah lunturnya nilai-nilai tradisional.” Soekarno, sebaliknya, lebih mengalamatkan imbauannya kepada sesama kaum elite pergerakan, atau kepada apa yang disebut oleh McVey sebagai “elite metropolitan,” yang keanggotaannya biasanya ditentukan oleh tingkat pendidikan Barat yang diperoleh seseorang.
Kelompok elite metropolitan yang dituju oleh tulisan Soekarno itu sebenarnya jumlahnya amat kecil, dan kebanyakan dari mereka tinggal di kota-kota dengan pengaruh Eropa, seperti misalnya Bandung, Surabaya, Medan atau Jakarta. Di satu pihak, kelompok elite ini mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kemerdekaan Indonesia serta telah berpikir dalam rangka identitas nasional dan tidak lagi dalam rangka identitas regional seperti generasi pendahulunya. Di lain pihak, kelompok ini tidak melihat perlunya mengadakan suatu revolusi sosial yang akan secara total mengubah sistem yang ada, dengan segala corak kolonial-kapitalisnya. Yang lebih mendesak menurut para aktivis generasi ini adalah melengserkan elite pemerintahan kolonial asing dan menggantinya dengan elite lokal yang dalam hal ini adalah diri mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka menghendaki adanya revolusi nasional, tetapi bukan revolusi sosial.
Dalam kaitannya dengan rakyat banyak, anggota kelompok elite ini merasakan perlunya dukungan rakyat dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial. Pada saat yang sama mereka berupaya mengikis sikap-sikap tradisional rakyat yang mereka pandang sebagai penghalang bagi langkah menuju dunia modern, yakni dunia sebagaimana tercermin dalam kaum kolonialis Barat.
Perasaan yang serupa tampaknya juga dimiliki oleh Soekarno. Bagi Soekarno muda, massa rakyat-betapapun tampak penting sebagai simbol dan sebagai potensi politik-sebenarnya lebih dibutu*kan sebagai sumber dukungan baginya dalam mengambil langkah-langkah politis.
Oleh karena itu tidak mengherankan, sebagaimana pernah dikeluhkan oleh Hatta, jika kontak Soekarno dengan rakyat kebanyakan itu sebenarnya amat sedikit, terbatas pada kontak melalui pidato-pidato yang penuh tepuk tangan dan sorak-sorai.
Dikatakan oleh Bernhard Dahm, penulis biografi Bung Karno, di satu pihak Soekarno menentang sikap rakyat yang mudah pasrah pada nasib, tetapi di lain pihak ia “membutu*kan sorak-sorai tepuk tangan (mereka) guna mendukung rasa percaya dirinya.” Dengan demikian tampak adanya sikap mendua (ambivalen) dalam sikap-sikap Soekarno terhadap kapitalisme, imperialisme maupun elitisme: Di satu pihak ia membenci ketiganya. Di lain pihak, sadar atau tidak, ia melihat bahwa beberapa aspek di dalam ketiganya layak untuk dipertahankan atau setidaknya untuk tidak dikutak-katik.
[ Last edited by jf_pratama at 8-7-2007 11:44 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda
Tidak sendirian
Pertanyaannya, mengapa Soekarno mengambil sikap mendua itu? Pertama-tama perlu disadari bahwa bagaimanapun juga Soekarno adalah anak zamannya. Ia merupakan bagian dari generasi pergerakan pada tahun 1920-an. Berbeda dengan generasi 1908 yang berorientasi pada perubahan sistem tanpa disertai kuatnya gagasan mengenai Indonesia merdeka, generasi Soekarno lebih berorientasi pada pentingnya kemerdekaan, tetapi lemah dalam hal perjuangan demi perubahan sistem. Lebih dari itu, generasi tahun 1920-an - dengan lebih banyak lulusan pendidikan Barat - cenderung untuk justru mempertahankan sistem pemerintahan Barat yang ada, tetapi dengan menggeser elite kolonialnya untuk diganti dengan elite lokal.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Takashi Shiraishi, berbeda dengan generasi pendahulu yang menekankan ketokohan individu, generasi Soekarno menekankan kepartaian. Tetapi pada tahun 1920-an partai-partai itu mengalami banyak pertentangan internal yang di mata Soekarno akibatnya bisa fatal bagi gerakan menuju kemerdekaan. Pada tahun 1920, misalnya, terjadi pertentangan dalam tubuh Sarekat Islam, terutama antara apa yang disebut sebagai “SI Putih” dengan lawannya, “SI Merah.” Pertentangan ini kemudian mendorong lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1923 gerakan nasionalisme mengalami kemandekan total, ditandai dengan dibubarkannya National-Indische Partij (NIP) pada tahun itu, dan suburnya gerakan-gerakan yang lebih bercorak internasional, khususnya gerakan Islam dan Komunis. Pada tahun 1926-1927 PKI memutuskan untuk berontak terhadap pemerintah kolonial Belanda, tetapi karena kurangnya dukungan masyarakat, pemberontakan itu gagal. Soekarno sadar bahwa jika perpecahan itu tidak diatasi sekarang, hal itu bisa berakibat fatal bagi perjuangan kemerdekaan selanjutnya.
Jika Soekarno muda tampak terpisah dari rakyat, sebenarnya ia tidak sendirian. Banyak tokoh elite perjuangan pada zamannya juga demikian. Ketika membubarkan PNI pada tanggal 25 April 1931, misalnya, para pemimpin partai itu tidak banyak berkonsultasi dengan rakyat kebanyakan yang menjadi anggotanya. Akibatnya rakyat menjadi kecewa, membentuk apa yang disebut “Golongan Merdeka,” dan memperjuangkan pentingnya pendidikan rakyat.
Tentang perubahan sikap atau permohonan maaf Soekarno kepada pemerintah kolonial, hal itu perlu dilihat dalam konteksnya. Waktu dipenjara untuk kedua kalinya, Soekarno muda adalah bagaikan ikan yang dipisahkan dari “air”-nya, yakni massa yang biasa mendukungnya, dan yang membuatnya bersemangat dalam perjuangan kemerdekaan. Dalam penjara itu ia disel sendirian selama delapan bulan tidak hanya tanpa harapan akan adanya keringanan hukum, melainkan juga dibayang-bayangi kemungkinan pembuangan ke “neraka” Boven Digul. Dalam keadaan demikian tidak mengherankan jika sebagai manusia Soekarno ada unsur menyerah.
Berdampak luas
Apa pun latar belakang sikap-sikap itu, pola hubungan elite rakyat yang diambil oleh Soekarno dan para aktivis pergerakan waktu itu rupa-rupanya memiliki dampak yang luas. Ketika pada tahun 1933-1934 Soekarno serta para pemimpin lain ditangkap dan diasingkan oleh Belanda, gerakan kemerdekaan mengalami kemacetan total. Tanpa adanya elite metropolitan itu seolah-olah rakyat tidak bisa lagi bergerak dalam perjuangan demi kemerdekaan. Pergerakan itu baru muncul kembali ketika para pemimpin yang diasingkan itu dibebaskan oleh Belanda saat mereka terancam oleh kedatangan balatentara Jepang.
Bahkan pada masa revolusi sendiri bisa dipertanyakan apakah sebenarnya rakyat yang ikut gigih bertempur dan berkorban mempertahankan kemerdekaan itu mendapat kesempatan yang maksimal dalam menentukan arah revolusi. Dalam tulisannya mengenai pola hubungan antara elite dan rakyat pada zaman revolusi, Barbara Harvey menyatakan bahwa hubungan itu tidak hanya amat lemah, tetapi juga berakibat cukup fatal bagi revolusi kemerdekaan itu sendiri. Lemahnya hubungan antara para pemimpin nasional di tingkat pusat dengan rakyat di desa-desa, menurut dia, “merupakan faktor utama bagi gagalnya elite kepemimpinan untuk menggalang dan mengarahkan kekuatan rakyat demi terwujudnya tujuan-tujuan revolusi.“
Dengan kata lain, sebenarnya rakyat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses bernegara. Jika ini benar, mungkin tak terlalu mengherankan jika PKI-meskipun pada tahun 1948 ditekan besar-besaran setelah peristiwa Madiun-dalam waktu singkat berkembang pesat pengikutnya. Ini antara lain karena di dalam PKI banyak rakyat merasakan bahwa justru dalam partai yang menekankan antikemapanan (baca: anti-elite metropolitan) itu kepentingan dan cita-cita mereka mendapat tempatnya. Dalam Pemilu 1955 PKI bahkan berhasil memperoleh suara terbanyak keempat.
Sayang sekali bahwa keterpisahan antara elite dan masyarakat itu pada zaman pasca-Soekarno tidak mengecil, melainkan justru membesar. Meskipun sejak naiknya Orde Baru pada akhir 1960-an aksespara elite kepada rakyat kebanyakan telah terbuka semakin luas-antara lain dengan naiknya tingkat pendidikan, semakin tersedianya sarana-sarana komunikasi dan menguatnya ekonomi-akses itu tak sepenuhnya termanfaatkan. Di bawah orde yang katanya “baru” itu tetap saja rakyat menjadi komponen massal yang dalam proses bernegara, berada di bawah kontrol elite metropolitan sebagai penentu hampir semua kebijakan yang ada.
Tak jarang bahwa upaya-upaya untuk mendorong partisipasi rakyat lebih luas justru harus berhadapan dengan tindakan militer yang keras. Meminjam istilahnya Benedict Anderson, bisa dikatakan bahwa society-nya boleh baru, tetapi state (baca: elite)-nya tetap yang lama. Tak kalah sayangnya tentu saja adalah bahwa tumbangnya sistem pemerintahan militeristik masa Orde Baru tidak disusul dengan tumbuh suburnya demokrasi, melainkan dengan kaotiknya kehidupan politik, yang konon justru dimulai dari kalangan elitenya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sekarang ini di lapisan bawah rakyat merasa semakin kecewa terhadap perilaku, komentar-komentar, serta percekcokan yang lahir di antara kelompok elite politik yang ada.
Ketika pada tahun 2001 bangsa ini memperingati seratus tahun lahirnya Soekarno dan lima puluh enam tahun Proklamasi Kemerdekaan, kita masih dilanda berbagai ketidakpastian, yang salah satu akarnya adalah keterpisahan antara elite dengan rakyatnya.
Masih panjang
Dengan sedikit meminjam seruan Bung Karno yang terkenal, sekarang ini kita perlu “membangun dunia baru.” Tetapi upaya untuk membangun dunia yang baru itu kiranya harus dimulai dengan terlebih dahulu “membangun Indonesia baru.” Dan upaya membangun Indonesia baru itu mungkin harus dimulai dengan membangun elite politik yang benar-benar lahir dari kalangan rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam Indonesia yang baru itu diharapkan tiada lagi-kalaupun ada kecil peranannya-kelompok elite yang hanya sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh.
Hal ini bisa terjadi jika para aktivis muda reformasi sekarang ini tidak enggan untuk belajar dari para aktivis pergerakan generasi tahun 1920-an. Di satu pihak meneruskan sikap militan generasi itu dalam memperjuangkan cita-cita bersama dan rela berkurban demi cita-cita itu. Di lain pihak menolak kecenderungan untuk mewarisi sistem pemerintahan sebelumnya, yakni kecenderungan untuk mengganti elite lama dengan elite yang baru tetapi yang pola dan orientasi politiknya tetap sama. Dengan demikian akan bisa diharapkan lahirnya elite politik yang benar-benar berorientasi pada semakin terwujudnya demokrasi.
“Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi,” lanjut Presiden Soekarno dalam pidatonya di depan Kongres AS itu. “Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi,” sambungnya. Ia sadar bahwa meskipun selama bertahun-tahun bangsa Indonesia telah beperang melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, jalan menuju demokrasi masih tetap panjang. Tetapi Bung Karno juga sadar bahwa betapapun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama.
[ Last edited by jf_pratama at 8-7-2007 11:47 PM ] |
|
|
|
|
|
|
dempol This user has been deleted
|
indonesia adalah negara yg penuh dengan tinggalan sejarah yg unik dan mistik.. |
|
|
|
|
|
|
|
jf_pratama ni tak abis2 nak promote indon kat forum ni... |
|
|
|
|
|
|
|
yang paling hampeh Sukarno ni yang melancarkan Ganyang Malaysia kan.
langsung tak menghormati kedaulatan jiran tetangga.
ramai rakyat malaysia, tentera malaysia dan tentera komanwel terbunuh kerana sebuah idealogi...sejarah itu tetap menjadi luka yang mendalam...
cerita indon melanggar malaysia di filem kan dalam filem ''irisan-irisan ati lakonan rano karno'' |
|
|
|
|
|
|
|
Originally posted by Dimarmalam at 10-7-2007 04:25 PM
yang paling hampeh Sukarno ni yang melancarkan Ganyang Malaysia kan.
langsung tak menghormati kedaulatan jiran tetangga.
ramai rakyat malaysia, tentera malaysia dan tentera komanwel terbunuh ke ...
Sukarno dikatakan mempunyai satu impian iaitu mencipta sebuah negara Indonesia-Raya yang meliputi Indonesia, Timor Timur, Singapura, Brunei dan Malaysia...
Untuk merealisasikan impiannya, Indonesia telah menyerang Timor Timur (kini Timor Leste) dan menjadikan ia sebagai wilayah/provinsi ke-27 dalam Indonesia...
Sukarno mendakwa Malaysia adalah boneka kerajaan Inggeris/British...
Namun, disebalik dakwaan itu Sukarno asalnya berniat untuk mengambil Singapura dan Semenanjung menjadi wilayah dalam Indonesia...
Sukarno menyedari bahawa penduduk Semenanjung Tanah Melayu (termasuk Singapura) adalah serumpun dengan penduduk Indonesia yang lain serta mempunyai persamaan dari segi agama, budaya dan bahasa...
Maka, Sukarno telah melancarkan 'GANYANG MALAYSIA' yang menyebabkan tercetusnya perang antara Malaysia dan Indonesia...
Kemudiannya, Sukarno pernah berkata mahu mengambil negeri Sarawak dari M'sia..
Dia mendakwa Sarawak adalah milik Indonesia tapi syukurlah mereka tidak berjaya kerana sejarah telah membuktikan Sarawak TIDAK PERNAH berada di bawah kekuasaan Belanda...
Sukarno juga berhasrat untuk mengambil Brunei dan negeri Sabah...
maka, sebelum mengambil Brunei dan Sabah menjadi wilayah dalam Indonesia, mereka perlu mengambil Sarawak terlebih dulu....
Demi merealisasikan impiannya, Sukarno dan Indonesia sanggup menyerang Malaysia yang asalnya serumpun dengan mereka...
Sukarno telah mencabuli hak kedaulatan Malaysia...
kempen 'Ganyang Malaysia' tamat setelah Suharto berkuasa...
Itu satu peristiwa di mana rakyat Malaysia tidak akan lupakan sampai bila2...
Tentera Indonesia yang mendarat di Johor telah bersedia menyerang kampung2 di sekitarnya...
Akhirnya mereka tidak sanggup membunuh penduduk kampung apabila mereka mendapati penduduk2 kampung tersebut adalah orang Melayu keturunan Jawa, berbahasa Jawa dan makan tempe....
[ Last edited by ijad_adiputera at 10-7-2007 07:31 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
nampak sgt org indon nie buduh .........
ske mencari pasal .... sampai skrg pun sama gak
datang sebagai pendatang ..... pastu cari pasal kat tmpt org
diorg nie xde rasa malu ker .........???
n kita as org malaysia seolah-olah memartabatkan org indon
dr segi filem, lagu etc etc .......
bukan anti ..... tp mmg kenyataan .......
sedangkan layanan org indon pd prg luar ....... cam hampeh jer ........
da ler tuh ... indon kuat mkn rasuah
mula dr pemimpin sampai la org bawah ........
|
|
|
|
|
|
|
|
Sukarno dikatakan mempunyai satu impian iaitu mencipta sebuah negara Indonesia-Raya yang meliputi Indonesia, Timor ]Timur, Singapura, Brunei dan Malaysia...
Hahaha... dari mana sumbernya ?
Konflik dengan Malaysia dan sekutunya pada saat "konfrontasi" menurut saya adalah sesuatu yang wajar saja pada saat (atas dasar konstelasi politik internasional saat itu aka perang dingin antara barat dan timur). Sukarno memandang pembentukan negara Malaysia dan Singapura hanyalah strategi Inggris dan negara-negara sekutunya |
|
|
|
|
|
|
|
Reply #14 jf_pratama's post
bla bla bla bla bla....... |
|
|
|
|
|
|
|
pada aku, indon ni buat aper nak kawasan jajahan besar2... kawasan luas tp tak pandai nak maintain buat aper... jurang ekonomi antara rakyatnyer terlalu jauh... yg kaya terlalu kaya, yg miskin terlalu miskin... pembangunan yg tidak sekata.. pembangunan bnyk tertumpu di pulau jawa.....
selamatlah malaysia tak masuk indon... kalo tak, malaysia jd kawasan yg tak membangun dek kerana diabaikan pihak pemerintah... |
|
|
|
|
|
|
|
panjang nya nak baca pasal history indon nih.. itu baru cerita pasal nama..blom lagi cerita pasa royal families dier.. psl perjuangan menentang belanda etc.. byk....
but what buiscasey cakap tuh betul laa.. buat apa nak kawasan besar2.. tapi ramai rakyat dier miskin.. n i read from newspaper that indonesia is yet to named hundreds of island yg tak der nama?? macam mana tuh? terlampau byk sgt pulau sampai tak tau nak letak nama apa.. sighh... |
|
|
|
|
|
|
|
Originally posted by jf_pratama at 11-7-2007 07:35 PM
Hahaha... dari mana sumbernya ?
Sumber itu datangnya dari tentera Indonesia yang menyerang Malaysia itu sendiri...
selepas kempen 'Ganyang Malaysia' dihentikan, tidak semua tentera Indonesia pulang semula ke Indonesia...
ada di antara mereka yang tinggal terus di Malaysia dan menjadi warganegara Malaysia...
mereka juga telah berkahwin dengan wanita tempatan khususnya wanita keturunan Jawa (kerana ramai penduduk negeri Johor adalah orang Jawa termasuk nenek saya sendiri....)
Mereka (tentera Indonesia) sendiri yang beritahu kepada penduduk kampung di Johor bahawa Sukarno punya impian yang besar - menakluk Malaysia, Brunei dan Singapura untuk menjadikan ketiga-tiga negara ini sebagai wilayah dalam Indonesia...
Sukarno sedar bahawa ketiga-tiga negara ini asalnya serumpun dengan rakyat Indonesia (rumpun Melayu) serta punya persamaan dari segi agama, bahasa dan budaya... Maka, Sukarno berniat mahu mengambil ketiga-tiga negara ini...
Saya percaya pada kata-kata mereka (tentera Indonesia) kerana Indonesia sendiri sudah menyerang Timor Timur yang asalnya jajahan Portugis untuk dijadikan provinsi ke-27 dalam Indonesia....
Ini satu bukti bahawa impian besar Sukarno itu bukan satu pembohongan...
Rakan saya dari Indonesia bernama Lestari Widyaprasti juga mendakwa Pulau Labuan di Sabah itu asalnya di bawah Belanda dan bukannya Inggeris...
Bagi saya, itu satu fitnah dan pembohongan kerana Pulau Labuan itu jaraknya begitu dekat dengan Sabah dan Brunei, jauh sekali dari wilayah Kalimantan...
Saya tidak terkejut sekiranya kamu rakyat Indonesia sendiri tidak tahu tentang impian besar Sukarno ini kerana saya pasti ia telah dipadam dari sejarah negara Indonesia... |
|
|
|
|
|
|
|
Hahahaha .... komentar-komentanya banyak yang menarik tapi sayang banyak yang masih lugu, emosional dan kadang-kadang menggelikan .... |
|
|
|
|
|
|
|
Originally posted by jf_pratama at 12-7-2007 07:53 PM
Hahahaha .... komentar-komentanya banyak yang menarik tapi sayang banyak yang masih lugu, emosional dan kadang-kadang menggelikan ....
menggelikan?
realitinya apa yang kamu baca dari tulisan saya dan orang lain menunjukkan bagaimana isi hati orang Malaysia terhadap Indonesia...
sememangnya sudah menjadi dasar sikap orang Indonesia pikir mereka lebih baik dan bagus dari orang Malaysia...
Most of Indonesian think that they are big brother while Malaysian are younger brother to them...
saya bersyukur kerana Malaysia bukan wilayah dalam Indonesia...
jika benar, tentu sekali Semenanjung akan mundur seperti wilayah lain di Indonesia seperti Papua Barat, Sumatera dan Kalimantan...
Indonesia sudah cukup besar dan lebih luas dari Malaysia tapi kerajaan Indonesia tidak mampu memerintah wilayahnya dengan baik.... |
|
|
|
|
|
|
| |
|