View: 6799|Reply: 2
|
SEJARAH PERKEMBANGAN ORKES MELAYU & DANGDUT
[Copy link]
|
|
Kisah Sebuah Nama: `Orkes Melayu` dalam Dangdut
Oleh : G. R. Lono Lastoro Simatupang
Pendahuluan: Cobek dan Orkes Melayu
Laksana cobek yang terletak di sebelah laptop yang digunakan menyusun naskah ini, begitulah kedudukan gelar “Orkes Melayu” (O.M.) yang menempel pada “Soneta,” “Tarantula,” “Ken Dedes,” dan ribuan nama grup dangdut lainnya. Cobek yang merupakan salah satu survivals dari jaman batu tetap hadir berdampingan dengan laptop di era teknologi komputer—meskipun tak jelas benar kaitan di antara keduanya. Serupa dengannya, kabur pula kaitan antara julukan Orkes Melayu dengan jenis musik yang dimainkan oleh grup-grup musik dangdut penyandang julukan itu. Mengapa grup-grup musik dangdut itu menyandang julukan Orkes Melayu? Di mana “ke-Melayu-an” musik dangdut? Lantas, bila Tika Panggabean dan kelompok Project Pop dengan cerianya melantunkan “Dangdut is the music of my country, my country, my country,” apakah pernyataan serupa itu dapat disejajarkan dengan klaim Malaysia bahwa Tari Barongan merupakan tarian asli rakyat negara jiran tersebut?
Tulisan ini bermaksud sekedar menelusuri perjalanan nama ‘Orkes Melayu‘ mengarungi waktu sambil menguak konteks musikal maupun sosio-politik yang berlaku pada tahap-tahap penting dalam perjalanan jenis musik ini. Sebagian besar informasi dalam tulisan ini diambil dari tesis yang penulis susun ketika menempuh studi di Jurusan Antropologi, Monash University, Australia (Simatupang, 1994).
‘Orkes Melayu‘ dan Politik Nama.
Nama ‘Orkes Melayu‘ yang sekarang melekat pada setiap nama grup musik dangdut berusia lebih tua daripada istilah ‘dangdut‘ itu sendiri. Sementara sejumlah sumber merujuk awal tahun 1970-an sebagai tahun munculnya istilah ‘dangdut‘ (Frederick, 1982: 105; Tabloid Dangdut, No.1/I/Minggu Pertama Juni 1995: 15), istilah ‘Orkes Melayu‘ sudah muncul sebelum kemerdekaan R.I., sekitar tahun 1940-an. Seorang tokoh yang dianggap berjasa dalam kemunculan istilah ‘Orkes Melayu‘ adalah Dr. A.K. Gani, aktivis Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) (Frederick, 1982: 106). Menilik keberhasilan film musik (keroncong) Terang Boelan (1938) menarik penonton pribumi dalam jumlah yang besar, Dr. A. K. Gani melihat peluang penggunaan bentuk-bentuk budaya populer sebagai media penumbuh dan penyebar semangat nasionalisme.
Untuk dapat menjadi media penggerak semangat nasionalisme, bentuk-bentuk kesenian (budaya) pribumi yang disukai banyak orang harus ditempatkan setara, namun berbeda dengan/dari bentuk-bentuk kesenian asing yang mendominasi saat itu. Kiranya semangat nasionalisme kultural (cultural nationalism) semacam itu lah yang membidani kelahiran istilah ‘Orkes Melayu‘ sebagai penyetara sekaligus pembeda dari ‘Orkes Barat‘ milik penguasa penjajah saat itu. Dengan membubuhkan istilah ‘orkes‘ yang dipinjam dari bahasa penguasa kolonial Belanda, para pengguna awal istilah ‘Orkes Melayu‘ seakan memproklamirkan bahwa musik-musik pribumi Hindia Belanda pantas didudukkan setara dengan musik-musik Eropa. Dalam pandangan mereka, keroncong dan musik irama Melayu yang populer di Hindia Belanda pada saat itu adalah bentuk orkes juga, sama seperti orkes simponi (Symphonic Orchestra), orkes gesek (String Orchestra), atau orkes kamar (Chamber Orchestra) dalam budaya Eropa.
Klaim kesamaan itu kemungkinan besar terkait dengan kenyataan bahwa pada tahun 1940-an kelompok-kelompok musik keroncong maupun musik irama Melayu di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, dan Surabaya tidak hanya memakai alat musik lokal/pribumi, namun juga telah mengadopsi instrumen-instrumen musik dari Barat. Dengan meminjam istilah orkes, para pengguna awal istilah ‘Orkes Melayu‘ menyamakan, atau lebih tepatnya menyetarakan, status musik pribumi di hadapan musik Eropa.
Kalau penggunaan kata ‘orkes‘ dalam ‘Orkes Melayu‘ dapat dipandang sebagai penyetara, maka penggunaan kata ‘Melayu‘ dalam istilah tersebut lebih berfungsi sebagai pembeda dari bentuk orkes-orkes lain yang ada pada waktu itu. Perbedaan tersebut dibangun di atas perbedaan struktur musikal musik-musik yang berada di bawah istilah ‘Orkes Melayu‘ dengan struktur musik Eropa yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut. Pada bagian ini, kiranya cukup dikemukakan bahwa istilah ‘Orkes Melayu‘ pada masa 1940-an mencakup pengertian musik yang populer di kalangan penduduk pribumi perkotaan waktu itu, yaitu Keroncong dan musik irama Melayu. Sebenarnya pada masa yang sama juga istilah ‘Orkes Harmonium‘ yang digunakan untuk menunjuk pada bentuk musik yang menggunakan harmonium (sejenis organ) sebagai instrument utamanya. Namun, dalam perkembangan lebih lanjut Orkes Harmonium tidak mampu bertahan hidup, sementara identitas musikal keroncong semakin mengental dan memisahkan diri dari Orkes Melayu dengan memakai nama diri Orkes Keroncong Asli, sehingga pengertian ‘Orkes Melayu‘ menjadi lebih terbatas sebagai nama jenis musik yang berirama Melayu.
Persoalannya kemudian, apakah kelompok-kelompok musik bergelar ‘Orkes Melayu‘ selalu memainkan musik berirama Melayu? Dalam kenyataannya tidak lah demikian. Pada tahun 1967 sebuah majalah mencatat,“Penyanyi-penyanyi yang muncul itu tidak lagi menyanyikan lagu-lagu Melayu asli seperti Makan Sirih Berjauh Malam, atau lagu-lagu Melayu lama seperti Anak Tiung, atau pula lagu-lagu Melayu Deli seperti Pulau Puteri, tetapi mereka menyanyikan irama lagu-lagu Melayu bergaya Hindustan yang diciptakan oleh A. Kadir, Husein Bawafie, dan lain-lain.” (dikutip dari Lohanda, 1991: 140).
Kutipan dari majalah tersebut menyiratkan bahwa sebelum pertengahan tahun 1960-an kelompok-kelompok Orkes Melayu memainkan lagu dan musik berirama Melayu, namun pada paruh kedua 1960-an terdapat pergeseran kecenderungan ke arah musik Hindustan. Sekarang, di awal abad ke-21 ini, kita bahkan sangat sulit menentukan ciri-ciri ke-Melayu-an dalam musik yang diperdengarkan kelompok-kelompok musik bergelar ‘Orkes Melayu‘ itu. Kita sekarang mengenal jenis musik Orkes Melayu dengan sebutan ‘dangdut.‘ Bagaimana dan mengapa pergeseran ini terjadi?
Nama Tetap, Bentuk Musik Berubah
Penamaan ‘Orkes Melayu‘ yang terjadi pada tahun 1940-an tentunya merujuk pada suatu kualitas musikal tertentu yang terkait dengan pengertian Melayu sebagaimana dipakai orang pribumi Hindia-Belanda pada waktu itu. Musik Melayu pada masa itu merujuk pada satu jenis musik yang berkembang di pantai Sumatra Timur, khususnya di daerah Deli. Senyatanyalah bahwa hingga beberapa tahun silam juga dikenal nama Melayu-Deli untuk menyebut sejenis musik Orkes Melayu yang oleh Rhoma Irama—sang Raja Dangdut—diakui sebagai bentuk awal mudik dangdut (Gatra, No. 49, 19 Agustus 1995). Oleh karenanya, pelacakan bentuk musik yang dimainkan oleh kelompok-kelompok ‘Orkes Melayu‘ selayaknya dimulai dari musik di daerah bekas Kesultanan Deli, dekat pusat kota Medan itu.
Pada abad ke-17 daerah-daerah pantai Sumatra Utara dan Timur dihuni oleh orang Melayu, meskipun karena merupakan daerah perdagangan maka kota-kota di pantai tersebut juga dihuni oleh orang Batak-Karo, Arab, dan Cina. Orang-orang Melayu yang tinggal di sepanjang pantai Sumatra Utara dan Timur mempunyai hubungan sosio-kultural dengan orang Melayu di semenanjung Malaya. Mereka memakai bahasa yang sama, memiliki legenda yang sama, dan bahkan para bangsawannya menjalin hubungan kerabat dan perkawinan. Kiranya tak mengherankan bila di antara mereka juga terdapat keterkaitan budaya musikal. Alat musik kemung dan rebana yang dimainkan untuk mengiringi nyanyian didapati baik di kalangan orang masyarakat Melayu di pesisir Sumatra Utara dan Timur maupun di semenanjung Malaya. |
|
|
|
|
|
|
|
Kesultanan Deli memiliki hubungan dengan orang-orang Melayu di Penang, Malaysia Utara. Pada akhir abad ke-19 dilaporkan bahwa lagu-lagu dan lakon dari Wayang Parsi sangat digemari penduduk Penang, termasuk para bangsawannya. Bahkan mereka mengembangkan Wayang Parsi menjadi sejenis teater Melayu, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Bangsawan (Yassin, 1975; Tan, 1993; Brandon, 1997). Rupanya Bangsawan begitu populer di Penang, sehingga pada masa itu bermunculan grup-grup Bangsawan yang disponsori oleh hartawan maupun para aristokrat Penang. Dapat diperkirakan maraknya teater Bangsawan di Penang pada pergantian abad ke-19 dan 20 tersebut memberikan pengaruhnya pada kesenian orang Melayu di daerah pantai Sumatra Utara dan Timur.
Mustapha Kamal Yassin (1975) mencatat bahwa pada masa itu Sultan Deli pernah mengundang grup Bangsawan dari Penang pimpinan Mamat Mashor untuk bermain di istana kesultanan, dekat pusat kota Medan. Kehadiran rombongan Mamat Mahor diikuti dengan dibentuknya kelompok Indera Bangsawan yang disponsori oleh keluarga Kesultanan Deli. Langkah ini diikuti oleh para bangsawan Melayu di Langkat dan Sumatra Timur. Juga dicatat oleh Yassin mengenai kesuksesan lawatan kelompok Bangsawan pimpinan Bai Kassim di beberapa kota besar di Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Sementara itu, Tan Sooi Beng (1993) mencatat terbentuknya kelompok Bangsawan bernama Pushi Indera Bangsawan pada tahun 1885, milik seorang Persia bernama Mamak Pushi yang tinggal di Penang. Tan juga menulis bahwa suatu ketika Mamak Pushi membawa rombongannya berpentas ke Batavia, dan akhirnya ia menjual rombongan Bangsawan miliknya kepada seorang Turki yang tinggal di kota itu.
Rupanya popularitas jenis teater Melayu bernama Bangsawan ini di Indonesia mampu bertahan cukup lama. Di tahun 1940-an lahirlah kelompok teater bernama Ratoe Asia di Padang. Kelompok ini seringkali mementaskan lakon-lakon Bangsawan serta menyajikan lagu dan musik Melayu. Salah seorang biduanitanya adalah Hasnah Thahar.
Apa kaitan antara Bangsawan dan musik Melayu-Deli yang dikatakan Rhoma Irama sebagai pendahulu dangdut? Kaitannya terletak pada sifat campuran (mixed) yang menjadi ciri utama Bangsawan. Sifat campuran tersebut terdapat dalam unsur kisah, tari, kostum, maupun musiknya. Bangsawan mementaskan kisah-kisah lokal Malaysia maupun kisah-kisah dari Turki, Mesir, India, Cina, Jawa, serta Eropa. Sementara itu, pada bagian musiknya Bangsawan menggunakan alat musik Melayu (rebana), Amerika Latin (mandolin), India (tabla), yang dicampur dengan alat musik Barat, seperti piano, biola, dan saksopon (Brandon, 1997; Yassin, 1975). Kemung, sejenis gong berukuran kecil, dan harmonium yang digunakan mengiringi lagu-lagu Melayu asli pada masa itu seringkali tidak lagi digunakan. Sifat campuran ini selaras dengan habitat tempat jenis teater ini hidup: daerah kota pesisir-perdagangan semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, yang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah dihuni oleh penduduk berlatar belakang kesukuan dan kebangsaan yang beraneka ragam. Musik campuran semacam itulah yang disebut sebagai Melayu-Deli, yang pada tahun 1940-an memperoleh gelar baru: ‘Orkes Melayu‘—untuk membangkitkan semangat nasionalisme warga pribumi daerah perkotaan, dan yang empat dasawarsa kemudian dipandang sebagai cikal-bakal dangdut.
Kaitan lebih spesifik dapat dijumpai pada keserupaan antara pola ritme musik yang dimainkan dalam Bangsawan dengan pola ritme musik dangdut. Tan Sooi Beng (1993: 148) mengidentifikasi tiga jenis pola ritmik yang sering digunakan dalam musik Bangsawan bergaya Melayu, yakni ‘Asli‘, ‘Joget‘, dan ‘Inang.‘[1] Di antara ketiga pola ritme tersebut ritme ‘inang‘ lah yang berdekatan dengan pola ritme dangdut, yakni //: dung . tak . dung dung ://. Pendapat ini sejalan dengan pengamatan James D. Chopyak (1986: 123) yang menyatakan bahwa dangdut di Malaysia menggunakan pola irama ‘Inang.‘ Perhatikanlah bahwa pola ritme ‘Inang‘ di atas bersesuaian dengan pola ritme dangdut berikut ini: //: dut tak tak tung tak dang duuut :// (Simatupang, 2004).
Sudah barang tentu, perbedaan pola ritme tetap terlihat. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan instrumen ritmik yang digunakan di kedua jenis musik tersebut, yaitu: rebana pada musik Melayu dan gendang pada dangdut, serta perbedaan cara memainkan keduanya. Rebana yang dibunyikan oleh pukulan jari-jari dan telapak sebuah tangan, sementara tangan yang lain memegang alat tersebut sambil menekan-melepas permukaan membrannya menghasilkan bunyi dung dan tak sebagaimana telah dicatat Tan. Sementara itu, gendang dangdut yang ber-‘kepala‘ dua (besar dan kecil), dan dibunyikan oleh pukulan jari dan telapak dua buah tangan memberi peluang dihasilkannya bunyi yang lebih beragam: dut, tak, tung, dang, dan duuuut. Tentu saja bunyi-bunyi itu dihasilkan melalui teknik pemukulan dan pembesutan membran gendang secara tertentu, yang tidak ditemukan pada teknik pemukulan membran rebana.
Kemiripan antara pola ritmik inang pada musik Melayu-Deli dan pola ritmik dangdut memberikan dukungan pembenaran terhadap perkiraan mengenai Melayu-Deli sebagai cikal bakal musik dangdut. Namun, dinamika perkembangan pada unsur musikal yang lain ternyata menunjukkan arah menjauh dari musik Melayu. Pada unsur melodi, misalnya, sejak paroh kedua tahun 1950-an dijumpai pergeseran gaya musikal Orkes Melayu yang condong ke arah India, dengan penyanyi tenarnya Ellya Khadam. Berawal dari tahap perkembangan ini Orkes Melayu cenderung tidak lagi berupa musik pengiring tari pergaulan antara pemuda bersarung sebatas paha, berpeci atau berteluk-belanga dengan pemudi berkebaya panjang semacam dalam tarian berpasangan yang teratur seperti Serampang Dua Belas. Tidak, melainkan bergeser ke arah tiruan atas tarian ekspresif yang terdapat dalam film-film India—salah satu tontonan kesukaan Ellya Khadam. Besarnya pengaruh dari musik dan tari dalam film India terbukti dari larisnya lagu “Boneka India” yang dinyanyikan oleh Ellya Khadam. Akan tetapi, tetap saja kelompok musik seperti itu disebut ‘Orkes Melayu.‘
Sesudah jaman “Indianisasi,” di awal tahun 1970-an—setelah hubungan Indonesia dengan negara-negara kapitalis Barat terhambat dalam masa menjelang akhir pemerintahan Bung Karno, dan kemudian terbuka lagi setelah masa Orde Baru dicanangkan Soeharto pada tahun 1966—gelombang pengaruh besar melanda ‘Orkes Melayu‘ lagi. Kali ini pengaruh yang masuk berupa “elektrisasi” yang segera disusul oleh “industrialisasi.” Bintang pembaharu pada periode ini adalah Rhoma Irama, seorang penggemar musik pop-Barat yang memasukkan idiom-idiom musik pop-Barat ke dalam musik ‘Orkes Melayu.‘ Lewat tangan Rhoma—yang mengagumi Richie Blackmore, gitaris kondang kelompok musik rock Deep Purple—lah gitar elektrik digunakan secara lebih efektif dalam Orkes Melayu.
Selain itu, irama musik Orkes Melayu yang dulunya mengalun statis cenderung menjadi lebih dinamis berkat pemanfaatan break secara efektif (Frederick, 1982). Meskipun bentuk musiknya telah berubah, namun gelar ‘Orkes Melayu‘ tetap dipakai Rhoma untuk menamai kelompoknya: Orkes Melayu (O.M.) Soneta. Jadi, terlahir lah pada awal tahun 1970-an itu musik ‘Orkes Melayu‘ yang “nge-rock.” Gaya O.M. Soneta yang “nge-rock” ini dengan cepat segera diikuti oleh kelompok-kelompok Orkes Melayu yang lain. Hal ini bukan hanya karena musik baru ini menarik minat penggemar irama Melayu di perkotaan, tetapi juga disebabkan oleh adanya dukungan oleh perkembangan pesat industri musik di Indonesia sejak masuknya teknologi rekam suara pita kaset dan cassette player menggantikan teknologi piringan hitam dan gramaphone. |
|
|
|
|
|
|
|
Akan tetapi, justru pada saat itu pula jenis musik yang berjuluk ‘Orkes Melayu‘ ini memperoleh cemoohan dari publik perkotaan penggemar musik pop atau rock Barat. ‘Orkes Melayu‘ dicemooh karena suara gendangnya monoton (dang duut) dan syairnya yang dianggap kekanak-kanakan (Frederick, 1982). Dalam perkara cemoohan ini, Rhoma Irama dapat dipandang sebagai salah seorang tokoh yang berjasa besar memperjuangkan martabat ‘Orkes Melayu.‘ Ia memungut istilah ejekan itu (dangdut) dan mengangkatnya sebagai salah satu judul lagu yang syairnya berisi pesan “perlawanan” terhadap cercaan yang dilancarkan terhadap musik Melayu pada waktu itu. Langkah serupa juga dilakukan oleh Trio Bimbo, kelompok musik kaum ‘terpelajar‘[2] yang memberi simpati pada perjuangan jenis musik Melayu ini (Simatupang, 2004). Sejarah membuktikan bahwa dangdut lah yang menang dalam perseteruan itu. Sejak tahun 1970-an itu lah nama ‘Orkes Melayu‘ menjadi “gelar resmi,” sedangkan nama beken-nya adalah “dangdut.” Singkatan O.M. tetap dipajang di depan nama kelompok, seperti pada O.M. Latansa, dan penggunaannya persis sama dengan kelompok-kelompok Orkes Melayu jaman dulu; meskipun bentuk musiknya telah berubah.
Daftar Pustaka
Brandon, James R. (Ed.). 1997. The Cambridge Guide to Asian Theatre. Paperback edition.
Chopyak, James D. 1986. ‘Music in Modern Malaysia. A Survey of the Musics Affecting the Development of Malaysian Popular Culture.‘ Asian Music, XVIII, 1, Fall/Winter.
Frederick, William H.. 1982. ‘Rhoma Irama and Dangdut Style,‘ Indonesia, No. 34, Itacha: Modern Indonesia Project, Cornell University.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe: The Free Press.
Kuntowijoyo. 1990. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Penerbit Mizan.
Lohanda, Mona. 1991. ‘…‘ dalam Seni Dalam Masyarakat Indonesia, Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono (eds.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900—1942. Jakarta: LP3ES.
Simatupang, G.R. Lono Lastoro. 1996. The Development of Dangdut and Its Meanings. A Study of Popular Music in Indonesia. Tesis M.A., Department of Anthropology and Sociology, Monash University
Tan Sooi Beng. 1993. Bangsawan: A Social and Stylistic History of Popular Malay Opera. Singapore: Oxford University Press.
Yasin, Mustapha Kamal. 1979. ‘The Malay “Bangsawan”,‘ dalam Traditional Drama and Music of South East Asia. Mohd. Taib Osman (Ed.). Kuala Lumpur: Kementrian Pelajaran Malaysia.
Catatan:
[1] Di samping ketiga pola ritme tersebut, dalam Bangsawan juga digunakan pola ritme yang lain, seperti irama Orang Putih (walz, mars, tango, dan foxtrot), irama Padang Pasir (masri dan zapin), Jawa (keroncong dan sambul), dan irama Hindustan (misalnya, barshat).
[2] Dikatakan ‘terpelajar‘ karena Trio Bimbo beranggotakan tiga laki-laki bersaudara yang berpendidikan tinggi. Kecenderungan musik mereka pada awalnya adalah folk atau ballad musics. Mereka menggubah puisi karya Taufik Ismail dan lain-lain.
____________________________
Dr. Gabriel Roormargo Lono Lastoro Simatupang, MA, lahir di Yogyakarta pada 22 Maret 1960. Ia menyelesaikan studinya, dari sarjana muda hingga doktor, di bidang antropologi budaya. Ketertarikannya pada bidang kesenian, membuat hampir seluruh studinya difokuskan pada kajian-kajian tentang seni, baik modern maupun tradisional. Sebagai antropolog yang juga ahli di bidang etnomusikologi, Mas Lono—sebagaimana beliau dipanggil murid-muridnya di Jurusan Antopologi, Unive**s Gadjah Mada—kini menjalani kesehariannya sebagai seorang peneliti [antropolog seni] dan pengajar. Di tengah kesibukannya sebagai seorang dosen, lelaki lulusan Monash University [MA] dan The University of Sydney [PhD] saat ini menjabat menjadi Ketua Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Univer sitas Gajah Mada (UGM - Yogyakarta. |
|
|
|
|
|
|
| |
|