CariDotMy

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 16170|Reply: 13

Diaspora Bugis-Makassar setelah Jatuhnya Benteng Somba Opu Tahun 1669

[Copy link]
Post time 16-1-2009 11:10 AM | Show all posts |Read mode
Diaspora Bugis-Makassar dari Somba Opu
Kenedi Nurhan

Sore menjelang malam pada 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu akhirnya jatuh ke tangan VOC (baca: Kompeni-Belanda). Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape alias Sultan Hasanuddin dipaksa turun takhta.

Kerajaan Gowa-Tallo runtuh. Makassar pun tak lagi jadi kiblat perdagangan anak-anak negeri di wilayah timur Nusantara. Bukan saja harus mengakui kekuasaan Belanda, Sultan Hasanuddin dan pengikutnya juga dipaksa mematuhi Perjanjian Bongaya (1667) serta perjanjian-perjanjian sebelumnya (1660).

Gowa antara lain harus melepas kontrol sejumlah daerah sumber ekonomi dan penopang kekuasaannya. Belum lagi ancaman hukuman bagi mereka yang dituding telah membunuh orang-orang Belanda semasa perang.

Butir-butir Perjanjian Bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Makassar tahun 1667—dua tahun sebelum Hasanuddin sebagai penguasa Somba Opu benar-benar bertekuk lutut setelah dibombardir pasukan Cornelis Speelman dan sekutunya—itu sangat merugikan posisi tawar bangsawan dan kerabat kesultanan. Pengalihan kontrol kekuasaan Gowa kepada Kompeni melemahkan perekonomian kerajaan. Apalagi adanya larangan kepada rakyat Gowa agar tidak lagi terlibat dalam perdagangan dan pelayaran.

”Pembatasan-pembatasan itu bukan saja menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, tetapi juga memudarkan wibawa bangsawan Bugis-Makassar yang terikat dalam Perjanjian Bongaya,” kata sejarawan-antropolog sosial Universitas Hasanuddin, Mukhlis PaEni, yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Namun, akhir perang dahsyat dalam sejarah VOC di Nusantara tersebut justru awal dari periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang Bugis-Makassar di Tanah Air. Jika sebelumnya hanya masyarakat pada umumnya yang bermigrasi ke seantero Nusantara, sejak Perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi banyak dimotori bangsawan.

Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam pergeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat, Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur kepulauan Indonesia. Selain mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Belanda juga menerapkan berbagai pembatasan. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, mengubah profesi dari pelaut ke petani.

Munculnya kekuasaan otoriter di kawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi. Katanya, ”Mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak Viking yang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru.”

Dinamika lokal

Di tempat baru, orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial politik lokal. Sebutlah di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Maluku, Tanah Semenanjung, Mindanao - Filipina Selatan, bahkan di Siam. ”Sampai abad XVIII, prajurit ganas ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia itu.

Migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar tersebut ikut mewarnai dinamika lokal. Mukhlis PaEni mencatat, sepanjang dua abad (XVII-XIX) lebih mereka tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya melalui perkawinan campuran.

Bagi Mukhlis, fenomena ini bukan migrasi biasa. Ia menyebutnya diaspora Bugis-Makassar. Bangsawan dan raja-raja kecil yang terikat dalam persekutuan dengan Kerajaan Gowa—beserta pengikutnya—tersebut mengembara dan membuka daerah baru, yang kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Bugis-Makassar di berbagai daerah di Nusantara.

”Mereka mencari arena yang lebih leluasa untuk kehidupan yang lebih bebas, sekaligus menegakkan kewibawaan mereka di mata pengikutnya. Di tempat-tempat baru mereka membaur ke dalam dinamika sosial politik lokal yang berlangsung melalui kerja sama saling menguntungkan,” ujar Mukhlis.

Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai tempat di Nusantara masih bisa dilacak kini. Di Pulau Jawa, misalnya, baik naskah Babad Tanah Jawi maupun Babad Kraton Jawa menggambarkan prajurit-prajurit dari timur Nusantara ini membantu Trunajaya mempereteli kekuasaan Mataram yang disokong Belanda. Nama Karaeng Galesong dan Karaeng Daeng Naba, dua bangsawan Kerajaan Gowa-Tallo, jadi tokoh sentral dalam kisah perseteruan itu. Tiga puluh dua makam prajurit dari Gowa di kompleks Pemakaman Mlati, Sleman, Yogyakarta, adalah saksi sejarah keterlibatan orang Bugis-Makassar dalam dinamika politik setempat.

Label kesatuan prajurit Bugis dalam ”ketentaraan” di Keraton Yogyakarta yang ada saat ini bukti lain dari eksistensi Bugis-Makassar di jantung kekuasaan Mataram. Dokter Wahidin Soedirohoesodo—pahlawan nasional, tokoh pendorong lahirnya Budi Utomo—ternyata leluhurnya pun keturunan Bugis-Makassar: Daeng Naba!

Di Kalimantan, Sumatera, dan Tanah Semenanjung, keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal juga memberi warna baru. Di beberapa tempat mereka bahkan bisa masuk ke pusat kekuasaan istana, baik sebagai raja muda (dalam kasus di Kesultanan Melayu di Johor dan Riau) maupun sebagai raja atau sultan, seperti di Aceh, Selangor, Trengganu, Pahang, dan Mempawah.

Selain keterlibatan dalam dunia perdagangan hingga politik kekuasaan, ”sumbangan” terbesar dari sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar pasca-Perjanjian Bongaya adalah lahirnya manusia baru Nusantara dari perkawinan campuran dengan warga setempat.

Akulturasi budaya pun terjadi. Di sanalah akar kemajemukan yang menjadi kekuatan bangsa disemai dalam taman keindonesiaan kita hari ini.... sebuah Indonesia Baru.

[ Last edited by  jf_pratama at 16-1-2009 11:09 AM ]
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 16-1-2009 12:11 PM | Show all posts
Intrik di Jantung Melayu

Setelah beberapa kali salah jalan, rombongan kecil itu akhirnya tiba juga di makam bercungkup di puncak tebing merah berbatu kerikil. Sepelemparan batu dari sana, Sungai Bintan mengalir tenang. Di kejauhan, dari selasar makam berwarna kuning menyala itu, debur ombak Selat Melaka sayup terdengar.

Tersesat beberapa kali, dan dua kali salah mendatangi ”alamat” makam yang dicari, hanyalah sisi lain dari gambaran awal betapa pendek ingatan sebagian anak negeri ini pada sejarah masa lalu bangsanya. Daeng Marewa—nama yang tertera pada plakat makam dan papan penanda bahwa kawasan ini adalah bagian dari benda cagar budaya—siapakah dia?

Bagi kebanyakan orang, termasuk mereka yang tinggal di Kepulauan Riau dan sekitarnya —juga Johor, Pahang, dan Selangor—kini nama Daeng Marewa hampir tak lagi dikenal. Padahal, sejarah mencatat, Daeng Marewa adalah Yamtuan Muda alias Yang Dipertuan Muda Riau I. Jabatan setingkat perdana menteri itu ia sandang sekitar tujuh tahun (1721-1728), sebelum digantikan adiknya, Daeng Celak.

Siapakah sesungguhnya Daeng Marewa, juga Daeng Celak, dan bagaimana mereka bisa duduk di tampuk kekuasaan Kesultanan Melayu? Bukankah dari nama gelar (baca: daeng) yang mereka sandang, dengan gampang orang bisa mengaitkannya dengan kebangsawan Bugis-Makassar?

Memang, Daeng Marewa dan Daeng Celak adalah dua di antara lima bersaudara ”satria” Bugis-Makassar, putra Opu Tenri Borong Daeng Rilekke. Tiga saudara mereka yang lain adalah Daeng Perani, Daeng Manambun, dan Daeng Kamase.

Lima bersaudara keturunan bangsawan-petualang Bugis-Makassar, meminjam istilah sejarawan Taufik Abdullah, inilah yang berperan penting dalam mengangkat marwah Kesultanan Melayu (Riau-Johor) pada abad XVIII. Berkat mereka, Kesultanan Melayu (saat itu berpusat di Johor sehingga sejarah pun mencatatnya sebagai Kesultanan Melayu-Johor) bisa diselamatkan dari kehancuran akibat pendudukan Raja Kecil dari Siak.

Ketika itu, Raja Kecil yang mengklaim sebagai keturunan (alm) Sultan Mahmud Shah II menuntut hak atas takhta di Johor. Dibantu orang-orang Minangkabau, pada Maret 1718, Raja Kecil berhasil menguasai istana Kesultanan Melayu-Johor, menyusul terbunuhnya Raja Muda Mahmud. Riau kepulauan ikut dikuasai pasukan Raja Kecil.

Pihak kerabat Istana Johor yang lari ke Pahang lalu berpaling kepada pengembara Bugis-Makassar, yang kala itu dikenal sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan Selat Melaka. Pilihan jatuh pada kekuatan lima bersaudara yang dipimpin Daeng Perani beserta pengikutnya.

Setelah melalui serangkaian pertempuran laut yang seru, orang-orang Bugis-Makassar berhasil menghalau kekuatan Raja Kecil. Istana Johor bisa direbut kembali. Sebagai kompensasi atas jasa-jasa mereka, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1721-1760) yang dilantik sebagai penguasa Johor menetapkan semacam kuasa bersama antara Melayu dan Bugis-Makassar atas kedaulatan Melayu-Johor.

Satu di antara lima bersaudara tersebut, Daeng Marewa, bahkan diberi kekuasaan khusus sebagai Yamtuan Muda Riau. Adapun Daeng Perani—kelak jadi Raja Muda di Selangor—dan Daeng Celak dikawinkan dengan saudara-saudara Sultan Johor.

Meski dalam struktur pemerintahan Sultan Johor memegang tampuk kepemimpinan, tetapi dalam praktiknya Yamtuan Muda Riau-lah yang sesungguhnya secara politik mengendalikan roda kekuasaan. Sekalipun belakangan Kesultanan Melayu terpecah dua; Melayu-Johor dan Melayu-Riau-Lingga—menyusul pembagian kekuasaan secara sepihak antara Inggris dan Belanda pada 1824—tetapi posisi keturunan Bugis-Makassar di jantung Melayu tetap tak tergeserkan. Bahkan, hingga Kesultanan Melayu-Riau dibubarkan oleh Belanda pada 3 Februari 1911.

Bagaimana ”karier” Daeng Manambun dan Daeng Kamase? Tuhfat al Nafis yang ditulis Raja Ali Haji menyebutkan, ”Daeng Manambun menjadi raja di Mempawah bergelar Pangeran Emas Surya Negara ... adapun Daeng Kamase berkuasa di negeri Sambas bergelar Pengeran Mangkubumi.”

Ekses Perjanjian Bongaya

Kehadiran para pengembara Bugis-Makassar yang bisa masuk ke pusat kekuasaan Kesultanan Melayu dan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Melayu merupakan fenomena menarik.

Mereka ternyata tidak sekadar berperan dalam dinamika sosial- ekonomi melalui jalur pelayaran dan perdagangan. Pada banyak tempat—di Kesultanan Melayu (Johor-Riau) sebagai contoh kasus—orang-orang Bugis-Makassar bahkan terlibat dalam dinamika sosial politik hingga ke jantung kekuasaan.

Sejak diterapkannya Perjanjian Bongaya (1667), menyusul kejatuhan Benteng Somba Opu sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo pada 24 Juni 1669, memang terjadi migrasi besar-besaran orang-orang Bugis- Makassar ke berbagai penjuru Nusantara. Pola pelayaran dan perdagangan mereka pun, sebagaimana dicatat Christian Pelras (Manusia Bugis, 2006), mengalami perubahan.

Dimotori para bangsawan dan raja-raja kecil yang menentang isi perjanjian tersebut, yang secara umum mengekang kebebasan dan bahkan mempreteli eksistensi mereka, tujuan migrasi terutama ke wilayah barat Nusantara. Mereka menghindari wilayah timur—terutama ke Maluku sebagai daerah penghasil rempah-rempah—karena jalur pelayaran dan perdagangan ditutup oleh Belanda.

Selain Kalimantan, Sumbawa, Lombok, dan Jawa-Bali, rombongan bangsawan Bugis-Makassar ini juga banyak menetap di Sumatera dan Tanah Semenanjung. Opu Tenri Borong Daeng Rilekke—bangsawan dari Kerajaan Luwu yang ketika itu merupakan sekutu Gowa—bersama lima putra dan pengikutnya termasuk yang memilih bermigrasi ke pesisir timur Sumatera.

Di kawasan Selat Melaka ini mereka bersama pengembara Bugis-Makassar lainnya mendirikan perkampungan di pantai dan muara-muara sungai besar. Di Jambi, seperti daerah Muara Sabak dan Tanjung Jabung, selain berdagang, orang-orang Bugis-Makassar juga membuka lahan perkebunan kelapa. Begitu pun di Kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung.

Pada masa ini, Ricklefs (2006) meyakini, pengembara Bugis- Makassar terlibat aktif di hampir seluruh bagian barat Nusantara dan menjadi kekuatan utama di Selat Melaka. Bahkan, seperti dicatat Pelras, dalam perkembangan berikutnya mereka melibatkan diri dalam perseteruan di kalangan penguasa Melayu.

Tak hanya di Kesultanan Melayu (Riau-Johor) serta pusat kekuasaan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Semenanjung dan Kalimantan Barat, di belahan utara Pulau Sumatera pun anak cucu pengembara Bugis-Makassar juga masuk ke jantung kekuasaan. Di Kesultanan Aceh, misalnya, selama hampir dua abad (1727-1838), Ricklefs mencatat ada enam penguasa kesultanan berdarah Bugis-Makassar.

Versi Anthony Reid jauh lebih banyak lagi. Sebab, sejak Sultan Alauddin Ahmad Syah memerintah tahun 1727 hingga berakhirnya Kesultanan Aceh pada 1903, semua sultan yang berkuasa adalah keturunan orang- orang Bugis-Makassar.

Dihadapkan pada kenyataan sejarah yang demikian, betapa banyak nilai yang bisa diserap untuk kehidupan bangsa ini pada masa sekarang dan yang akan datang. Pluralisme dan multikulturalisme bukan saja sudah menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa ini, tetapi juga merupakan sebuah kearifan yang selayaknya terus dikembangkan.

Meminjam ungkapan Harry Truman Simanjuntak, arkeolog prasejarah dari Purlitbang Arkeologi Nasional, sejarah mengajarkan kepada kita akan kebesaran masa lampau manusia Indonesia. Oleh karena itu, upaya menghilangkan pluralisme dan multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa akan sia-sia. Sebab, kemajemukan adalah sifat yang senantiasa berkembang seiring perkembangan zaman.... (ken)
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 16-1-2009 12:16 PM | Show all posts
PERANTAUAN: "Sompe" dan Pemberontakan Sosial-Ekonomi


Seorang saudagar Bugis (kanan) yang mendominasi Pasar Entrop, Jayapura, Papua, melayani pembeli dari kalangan warga asli Papua, akhir 2008. Interaksi sosial-ekonomi di antara mereka dalam arena belanja mendorong transformasi ekonomi di Papua.


Oleh NASRULLAH NARA

”Resopa temmangingi, matinulu, namalomo naletei pammase Dewata sewwa-E.” Begitulah pesan tetua Bugis-Makassar kepada anak cucunya. Bahwa ”Rahmat berupa kesejahteraan dari Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa diraih melalui kerja keras, gigih, dan ulet”.

Bagi warga Bugis-Makassar, semangat kerja keras yang biasa dilafalkan sebagai makkareso tak hanya diwujudkan dalam bentuk bekerja ulet di tanah kelahiran atau di kampung asal. Guna bertahan hidup, di mana saja, semangat itu dikobarkan. Namun, lazimnya, kutipan pesan itu diucapkan para tetua kepada anak-anak muda yang meminta restu untuk sompe’ atau merantau.

Secara etimologi, istilah sompe’ berasal dari bahasa Bugis yang artinya berlayar. Zaman dulu, kendaraan yang paling lazim digunakan untuk bepergian jauh adalah (perahu) kapal layar. Maka, orang yang berlayar untuk bepergian jauh meninggalkan kampung halaman demi mencari penghidupan yang lebih baik biasa disebut sompe’.

Antropolog dari Universitas Hasanuddin, Prof Dr Abu Hamid, dalam buku Pasompe: Pengembaraan Orang Bugis (Pustaka Refleksi, 2004), memaknakan pasompe’ sebagai pelaut-pedagang yang berlayar dari pulau ke pulau atau dari satu negeri ke negeri lain. Orang Bugis lekat dengan budaya migrasi karena ketangkasannya berlayar. Ini erat dengan hukum pelayaran dan perdagangan, seperti kontrak kerja, perkongsian, upah muatan/penumpang, dan utang piutang.

Abu Hamid mengklaim nenek moyang Bugis-Makassar mampu menjelajahi lautan hingga Malaysia, Filipina, China, dan Australia. Dalam kepustakaan Melayu terkisahkan beberapa sultan dan pembesar Malaysia adalah keturunan Bugis-Makassar, seperti Sultan Johor, Selangor, Trengganu, dan Pahang.

Abu mengaitkan itu semua dengan epos La Galigo, yaitu episode pengembaraan dan pelayaran Sawerigading di Kepulauan Nusantara dan China.

Sosiolog dari Unhas, Dr Muhammad Darwis, mengatakan, semangat perantauan itu merupakan wujud dari naluri gandrung akan tantangan. ”Adrenalin orang Bugis-Makassar untuk hidup lebih baik terlecut ketika dirinya dihadapkan pada tantangan. Kondisi hidup berpahit- pahit dan bersusah-susah sedapat mungkin dikondisikan untuk memacu diri meraih kehidupan lebih baik,” ujar Darwis.

Semangat survival orang Bugis-Makassar di tanah rantau, menurut Darwis, juga tak lepas dari sistem sosial-budaya yang lekat dengan hierarki (kasta), yakni arung (bangsawan/juragan) dan ata (hamba/orang kebanyakan). Bagi orang kebanyakan yang ingin bebas dari sistem itu atau setidaknya ingin naik kelas sosial, merantau adalah salah satu pilihan.

Tali-temali dengan mobilitas vertikal, ekonom senior dari Unhas, Prof Halide, menekankannya pada aspek ekonomi. ”Peningkatan taraf hidup seseorang berbanding lurus dengan strata sosial yang disandangnya,” kata Halide.

Kisah Sukses

Haji Syamsudin Tumpa (65) adalah contoh putra Bugis-Makassar yang sukses sebagai perantau. Tekadnya untuk memperbaiki nasib dengan meninggalkan kampung halaman di Pangkep dan Maros, Sulawesi Selatan, ia buktikan. Impiannya untuk mendongkrak strata sosial dari kuli angkut menjadi bos usaha angkutan kapal laut sudah terwujud lebih dari 20 tahun terakhir.

Di Jayapura, Papua, usaha ekspedisi muatan kapal laut yang dirintisnya sejak beberapa tahun setelah menginjakkan kaki di sana tahun 1969 kini telah mempekerjakan sekitar 200 warga setempat.

Jika suatu saat Anda berjalan- jalan di kompleks Pelabuhan Jayapura, cobalah sebut nama Syamduddin, maka orang-orang yang hilir mudik di area itu—mulai dari kuli angkut, calo tiket, hingga pegawai pelabuhan—segera menunjuk sebuah bangunan permanen di kawasan pelabuhan. Di situlah Syamsuddin sehari-hari bertindak selaku juragan yang memitrai hampir semua kapal barang yang berlabuh di pelabuhan Jayapura.

”Kalau saja saya tidak merantau ke Papua tahun 1969, mungkin hidup saya tidak berubah, masih tetap bolak-balik naik-turun kapal memikul barang,” kenang pria yang suka berpeci ini.

Kediamannya di Jalan Gajah Putih, Jayapura, secara periodik menjadi tempat berkumpul tokoh masyarakat asal Sulsel. Maklum, sudah lebih lima tahun Syamsuddin menjabat sebagai Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan Provinsi Papua. Organisasi primordial ini menghimpun sekitar 70.000 warga asal Sulsel yang bermukim di Papua, mencakup warga suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.

Keberhasilannya menjadi orang terpandang tentu bukanlah karena ”simsalabim”. Jalan panjang dan prihatin ia sempat lalui, terutama ketika berusia 20-30 tahun. Kerasnya kehidupan sebagai buruh pelabuhan yang (maaf) akrab dengan premanisme telah menempanya menjadi sosok perantau yang tangguh.

Tekad untuk mengubah nasib sudah terpatok dalam batinnya ketika ia masih bekerja sebagai kuli pelabuhan di Makassar pada pertengahan tahun 1960. Kala itu, sebagai orang dari kelas sosial kebanyakan, ia menyadari betapa sulit menjadi juragan jika terus- menerus cuma bergaul dengan sesama kuli di daerah sendiri, terlebih bekal pendidikannya tak sampai tamat SMA. ”Kalau saya di Makassar terus, selamanya saya tak terdorong untuk mengubah nasib,” katanya.

Jadilah ia—di usia 25 tahun— meninggalkan Makassar menuju Jayapura. Di sana, selama beberapa tahun, ia sempat malang melintang sebagai buruh pelabuhan sebelum kemudian merintis usaha sendiri yang tak jauh-jauh dari urusan bongkar muat.

Pasar Tradisional

Di pasar-pasar tradisional Papua, seperti pasar Entrop, Hamadi, Abepura, Ampera, dan Sentani, percakapan antarpemilik kios/los sangat lekat dengan logat Bugis-Makassar dialek Bone, Soppeng, Wajo, Maros, Barru, Pinrang, dan Sidrap.

Umumnya, pemilik kios juga mempekerjakan sanak famili yang ikut serta dari Sulsel selepas masa mudik lebaran.

Sebutlah, misalnya, Daeng Said (52), satu dari sekitar 200 pedagang Pasar Sentral Hamadi. Ia mempekerjakan keponakannya, Aco (20), yang tergiur ikut serta mengadu nasib di perantauan.

”Daripada nganggur di Pangkep, lebih baik ikut paman,” ujar Aco, yang mengaku tamatan SMA.

Di wilayah timur Indonesia, Papua hanyalah satu di antara daerah tujuan rantau orang Bugis-Makassar. Di Ambon, Kupang, dan Palu, mereka juga merajai kegiatan ekonomi tradisional, terutama untuk perdagangan bahan kebutu*an pokok.

Di wilayah tengah dan barat, tak sedikit perantau Bugis-Makassar juga ditemukan di kota-kota pesisir Kalimatan dan Sumatera.

Tentang survival dan diterimanya perantau asal Bugis-Makassar oleh warga lokal di mana pun berada, Darwis dan Halide melihatnya sebagai cerminan simbiosis mutualisme. Orang Bugis- Makassar berdagang untuk memutar roda ekonomi setempat, terutama untuk kebutu*an sehari-hari.

Keuntungannya sebagian besar diputar kembali untuk mengembangkan usaha di tempat itu juga sehingga pekerja lokal bisa terserap.

Guna menguatkan ikatan sosial-budaya, tak jarang mereka kawin-mawin dengan warga lokal. Alhasil, motif sosial, ekonomi, dan budaya pun itu bertaut.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 16-1-2009 12:21 PM | Show all posts
KEBANGKITAN NASIONAL INDONESIA: Di Tanah Jawa Mereka Ikut Berjuang
Oleh MUKHLIS PAENI dan KENEDI NURHAN



Prajurit Bugisan mengikuti prosesi Grebeg Besar di Alun-alun Utara, Yogyakarta, Desember 2008. Bersama prajurit Daeng, prajurit Bugisan adalah kesatuan yang dibentuk pada zaman Mataram sebagai penghargaan atas jasa laskar Bugis-Makassar yang ikut meredam pemberontakan Trunajaya.


Mengetahui ada darah Bugis-Makassar mengalir dalam tubuh Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917), Adin mengaku kaget bercampur bangga. Pada satu senja, di kompleks Pemakaman Mlati, Sleman, Yogyakarta, lelaki Bugis-Makassar yang menikahi perempuan asal Jepara ini pun bersimpuh di sisi makam pahlawan nasional penggagas kelahiran Budi Utomo tersebut.

Semula Adin—nama lengkapnya Suryadin Laoddang—tidak percaya pada fakta baru yang ia terima. Bukankah dalam sejarah resmi yang ditulis selama ini disebutkan bahwa dokter Wahidin Soedirohoesodo adalah priayi Jawa? Potret sang tokoh pun selalu ditampilkan dalam busana lelaki ningrat Jawa, lengkap dengan belangkon di kepalanya.

Akan tetapi, melalui pendekatan genealogis diketahui bahwa tokoh pergerakan nasional tersebut ternyata masih keturunan Karaeng Daeng Naba. Bangsawan Bugis-Makassar ini mengembara ke Jawa setelah Kerajaan Gowa takluk pada Kompeni-Belanda tahun 1669. Di Jawa, Daeng Naba terlibat dalam intrik perebutan kekuasaan di pusat tanah Jawa (baca: Mataram), di mana Trunajaya tampil sebagai tokoh antagonisnya.

Atas jasa Daeng Naba yang ikut membantu Amangkurat II meredam pemberontakan Trunajaya (1670-1679), ia dinikahkan oleh sang penguasa Mataram dengan putri Tumenggung Sontoyodo II. Selain itu, ia juga dihadiahi ”tanah perdikan” yang sekarang berada di daerah Mlati, Sleman, Yogyakarta. Dari hasil perkawinan campuran itu, seabad kemudian lahir priayi Jawa terkemuka bernama Mas Ngabehi Wahidin Soedirohoesodo.

Majalah Pesat edisi 6 Februari 1952 memuat ulasan tentang hal itu, di bawah subjudul: ”Siapakah dr Wahidin?”. Fakta sejarah ini juga muncul di Berita Kebudayaan edisi 28 November 1952. Ragi Buana edisi Mei 1959 yang mengutip keterangan yang pernah disampaikan dokter Radjiman Wediodiningrat (1879- 1952)—pendiri Budi Utomo yang juga kerabat Wahidin—ikut memperkuat fakta sejarah tersebut.

Bahwa, ”Wahidin berdarah tjampuran suku Djawa dan Makassar, ialah keturunan Dain Kraing Nobo, seorang pradjurit jang dalam djaman Mataram membantu Sunan Amangkurat Tegal Arum melawan Trunodjojo....”

Kenyataan bahwa Wahidin bukanlah orang Jawa asli kian menggugah kesadaran kebangsaan Adin, sesungguhnya betapa tipis batas-batas etnisitas di negeri ini. ”Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu kalau Wahidin— juga Radjiman Wediodiningrat— berdarah Bugis-Makassar,” ujarnya.

Masih di kompleks pemakaman yang sama, di luar cungkup utama yang sudah dibangun pemerintah setelah Wahidin Soedirohoesodo ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Adin juga menyempatkan berziarah ke makam sang leluhur: Daeng Naba! Dua deret di depan makam Daeng Naba, 32 prajurit dari Gowa (tanpa nama) juga dimakamkan di sana.

Aliansi Kekuasaan

Sejarah mencatat, perang Trunajaya melawan Mataram dan Kompeni (1670-1679) juga melibatkan prajurit-prajurit Bugis- Makassar. Dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Galesong dan Daeng Naba, berada di dua kubu yang berbeda. Karaeng Galesong membantu Trunajaya, sedangkan Daeng Naba yang ”menyusup” ke kesatuan Kompeni-Belanda menopang kekuatan Mataram.

Galesong yang bernama lengkap I Maninrori Karaeng Galesong adalah satu di antara sekian banyak bangsawan Bugis- Makassar yang pergi dari negerinya karena tidak puas atas penerapan Perjanjian Bongaya (1667), menyusul jatuhnya Benteng Somba Opu ke tangan Belanda. Semula ia mendarat di Banten, menyusul rekannya sesama bangsawan yang telah lebih dahulu tiba di sana, yakni Karaeng Bontomarannu.

Situasi genting di Banten memaksa Galesong dan Bontomarannu berlayar ke timur, ke daerah Jepara, kemudian menetap di Demung, tak jauh dari Surabaya sekarang. Bersama sekitar 2.000 pengikutnya, Galesong bersekutu dengan Trunajaya untuk berperang melawan Mataram. Persekutuan itu juga ditandai ikatan perkawinan antara Galesong dan putri Trunajaya, Suratna, pada Desember 1675.

Ketika pemberontakan Trunajaya benar-benar berkobar, di bawah komando Galesong dan Bontomarannu, orang-orang Bugis- Makassar mulai menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara bagian timur Jawa. Mataram kian terdesak. Bahkan, dalam serbuan ke pedalaman, pusat kekuasaan Mataram di Plered sempat direbut Trunajaya.

Baru setelah campur tangan Belanda, pemberontakan Trunajaya bisa diredam. Salah satu tokoh kunci di balik keberhasilan Mataram mengakhiri pemberontakan Trunajaya adalah Karaeng Daeng Naba. Berkat usaha Daeng Naba membujuk Galesong—yang disebut Naba sebagai adiknya— agar menghentikan perang dengan Mataram, pemberontakan Trunajaya akhirnya bisa ditumpas.

Drama sejarah ini berakhir tragis. Galesong yang mematuhi saran Daeng Naba dianggap berkhianat dan dibunuh mertuanya, Trunajaya. Adapun Trunajaya akhirnya tewas di tangan Amangkurat II pada tahun 1679.

Akan halnya Daeng Naba yang bernama lengkap I Manggaleng Karaeng Daeng Naba, putra I Manninori J Karetojeng, seterusnya dipercaya menjadi bagian pasukan Mataram. Dengan kekuatan 2.500 kavaleri, laskar Daeng Naba yang terdiri atas orang- orang Bugis-Makassar tersebut menjadi pasukan inti Kerajaan Mataram ketika itu.

”Romantika kisah para leluhurku telah membuat aku semakin sadar bahwa perjuangan bangsaku telah melalui sejarah yang sangat panjang,” kata Adin.

Sejarah memang penuh romantika. Kehadiran orang-orang Bugis-Makassar di berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk di tanah Jawa, tak bisa disangkal merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini ”menjadi Indonesia”. Wahidin adalah ”buah” dari romantika sejarah, sosok manusia Indonesia abad XIX yang lahir dari percampuran darah ”hero” Bugis-Makassar dan kearifan Jawa.

Semakin jelas bahwa bangsa besar ini lahir dari pergulatan antaretnis. Bila muncul klaim bahwa hanya golongan tertentu yang paling berjasa dalam proses bangsa ini ”menjadi Indonesia”, tentu saja pandangan semacam itu sungguh menyesatkan....

Muhklis PaEni Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 16-1-2009 12:26 PM | Show all posts
KEMERDEKAAN INDONESIA: Bugis-Makassar di Lintasan Sejarah

Oleh SURIADI MAPPANGARA



Ada cerita menarik tentang orang Bugis di Brunei. Tahun 1996, saya berkesempatan mengikuti seminar internasional di negara itu. Sewaktu istirahat, saya bertemu dua pegawai Museum Brunei. Sewaktu memperkenalkan diri bahwa saya orang Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan, keduanya sedikit kaget.

Mengapa orang Bugis tidak keriting rambutnya dan hitam kulitnya?” kata mereka. Kali ini saya yang terkejut. ”Orang di sini mengenal ciri-ciri orang Bugis itu keriting rambutnya dan hitam kulitnya. Mereka sangat ditakuti sehingga gadis-gadis di sini yang kepala batu biasanya ditakut-takuti dengan mengatakan akan dikawinkan dengan orang Bugis,” katanya.

Lain lagi cerita seorang teman dari Malaysia yang baru-baru ini mampir di Makassar dalam perjalanannya ke Wakatobi, Sulawesi Tenggara, untuk mengikuti seminar Asosiasi Tradisi Lisan. Ia bermalam sehari di Makassar. Ketika saya mengajak jalan-jalan di Makassar, rona wajahnya menampakkan keheranan.

”Apakah ini Makassar, tempat asal orang-orang Bugis? Dalam pikiran saya, Makassar itu masih terbelakang. Gambaran saya mengenai daerah Bugis jauh dari perkiraan saya,” ujarnya.

Mungkin karena sedemikian kagetnya sampai-sampai ia mengatakan bahwa Makassar seperti Petaling Jaya, satu kawasan yang cukup ramai di daerah Selangor, Malaysia. Setelah saya menjelaskan mengenai sejarah dan budaya orang Bugis-Makassar-Mandar dan Toraja, kekagetan itu makin tampak di wajahnya. Ketika saya mengatakan bahwa Makassar pernah menjadi ibu kota negara Indonesia Timur, ia tampak lebih bingung lagi.

Dua cerita di atas sedikit menggambarkan mengenai ketidakjelasan siapa yang disebut dengan orang Bugis. Satu hal yang sangat kontroversial jika dikaitkan dengan peran yang demikian besar yang dibangun oleh orang Bugis-Makassar dalam sejarah panjang Nusantara. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa orang Bugis-Makassar memberi andil yang sangat besar dalam penyatuan negara Indonesia.

Jika berbicara mengenai Sumatera Utara, pasti orang Batak yang ada dalam benak kita. Demikian juga jika orang berbicara mengenai Sulawesi Selatan, orang langsung menyebut orang Bugis meskipun Bugis hanyalah satu dari empat suku besar yang ada di daerah ini: Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

Suku Bugis adalah suku terbesar yang ada di Sulawesi Selatan. Mereka yang berada di luar Sulawesi Selatan lebih banyak lagi. Mereka mendiami 15 dari 21 kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Bone, Soppeng, Wajo, Luwu, Luwu Timur, Luwu Utara, Sidenreng Rappang, Bulukumba, Sinjai, Pinrang, Barru, Enrekang, Parepare, Pangkajene Kepulauan, dan Maros. Dua kabupaten terakhir merupakan daerah-daerah peralihan, yang penduduknya berbahasa Bugis maupun Makassar.

Mereka dikenal sebagai suku bangsa pelaut dan tersebar hampir di seluruh Nusantara sampai ke Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei. Daerah tempat mereka berdagang bahkan sampai ke utara Australia. Demikian tersebarnya orang Bugis ini sehingga Mochtar Naim, antropolog, mengatakan, di mana ada tambatan perahu, di situ pasti ada orang Bugis.

Mengapa hanya Bugis yang dikenal dan semuanya menjadi Bugis? Sarung bugis, kapal bugis, budaya bugis, bahkan sampai makanan: kue bugis. Bagaimana dengan orang Makassar, Mandar, dan Toraja, yang juga berasal dari Sulawesi Selatan? Bahkan, kerajaan besar, seperti Gowa yang identik dengan suku Makassar, juga seperti tidak dikenal luas?

Berbicara mengenai Bugis, dalam catatan sejarah sering dirujuk kepada Bone semata. Di sinilah faktor kekeliruannya. Meskipun diketahui bahwa VOC telah menjuluki Arung Palakka (Raja Bone XV, memerintah 1667-1696) sebagai De koning van Bugis, sesungguhnya etnis Bugis juga terdiri atas sejumlah kerajaan-kerajaan yang satu dengan lainnya tidaklah akur. Mereka memiliki raja sendiri-sendiri.

Di antara mereka sering dibangun perjanjian untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul. Bahkan, ketika Kerajaan Gowa mulai kuat dan menunjukkan upaya perluasan kekuasaan dan pengaruhnya, ada kekhawatiran di kalangan raja Bugis sehingga kerajaan-kerajaan itu membangun satu aliansi besar yang terdiri atas Bone, Soppeng dan Wajo (TellumpoccoE).

Demikian juga suku Makassar. Mereka ini juga terdiri atas beberapa kerajaan, tetapi yang besar adalah Kerajaan Gowa dan Tallo, yang lebih dikenal dengan Kerajaan Makassar.

Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin terjadi perang antara VOC dan Gowa, yang juga melibatkan sejumlah kerajaan Bugis di dalamnya. Sebutlah seperti Bone, Soppeng, daerah-daerah Turatea, dan sejumlah kerajaan-kerajaan kecil yang memihak kepada VOC.

Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arung Palakka untuk memanfaatkan kekuatan VOC dalam upaya memerdekakan Bone, yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Gowa. Perang itu sendiri berakhir dengan kemenangan VOC dan ditandatangani Perjanjian Bongaya yang telah mengakhiri seluruh kebesaran dan kejayaan Kerajaan Gowa. Kerajaan Bone kemudian diberi sejumlah hak istimewa. Setelah Perjanjian Bongaya, Bone menjadi satu-satunya kerajaan yang terkuat dan berkuasa di Sulawesi Selatan.

Perjanjian Bongaya itu sendiri tidak dapat diterima oleh sebagian bangsawan tinggi Kerajaan Gowa, juga beberapa kerajaan yang bersekutu dengan Gowa, seperti Wajo (Bugis) dan Mandar (sekarang menjadi Provinsi Sulawesi Barat). Mereka kemudian meninggalkan daerah Sulawesi Selatan dan membangun kekuatan di luar dan selalu bersedia merelakan tenaganya untuk digunakan demi melawan Belanda.

Gelombang pengungsi dari Sulawesi Selatan tidak saja terdiri atas orang-orang Makassar, tetapi juga suku Bugis yang juga tidak setuju atas perjanjian itu. Agar lebih aman dalam pelayaran, mereka sering menyebut dirinya orang Bugis meskipun mereka adalah orang Makassar atau Mandar.

Dalam perkembangan berikutnya, gelombang pengungsi dari daerah-daerah Bugis juga mengalir. Pada masa pendudukan Inggris di Sulawesi Selatan (1812- 1816), Kerajaan Bone melakukan perlawanan sehingga pusat kekuasaan Kerajaan Bone yang berada di Bontoala (satu wilayah dekat Makassar) diserang dan orang-orang Bugis terpaksa meninggalkan daerah itu.

Pada tahun 1824-1825, Belanda melakukan serangan pertama atas Kerajaan Bone, juga mengakibatkan terjadi pengungsian. Pada tahun 1859-1860, Belanda sekali lagi melakukan serangan yang mengakibatkan Kerajaan Bone berubah statusnya dari kerajaan sekutu menjadi ”kerajaan pinjaman” dari Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1905, sekali lagi Belanda melakukan serangan yang mematikan atas Kerajaan Bone dan akhirnya Kerajaan Bone kembali berubah statusnya menjadi kerajaan taklukan. Perlawanan yang dibangun Kerajaan Bone dengan sekutu-sekutu Bugisnya telah mengakibatkan banyak terjadi pengungsian, tidak saja di dalam wilayah Sulawesi, tetapi juga di luar Sulawesi.

Bugis-Makassar

Apa yang dikatakan orang Bugis atau orang Makassar menjadi sangat relevan jika kita berbicara sebelum abad XVIII. Pada masa itu, kedua etnis ini mencoba membangun hegemoni mereka. Tidaklah menjadi sesuatu yang tabu ketika kedua etnis besar ini pada masa lalu sering berhadapan di medan laga untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Meskipun demikian, hegemoni yang dibangun itu tidak saja terbatas antara etnis Makassar dan Bugis, tetapi juga di antara kerajaan Bugis sendiri yang juga mencoba membangun kekuatan. Tidak kurang dari 20 perjanjian yang dibangun antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone dan juga antara Kerajaan Bone dengan kerajaan Bugis lainnya.

Bagi orang Makassar, mereka sebenarnya tidak memiliki dendam dengan orang Bugis. Sebab, keterlibatan orang Bugis hanyalah mempercepat terjadinya perang. Sejak awal VOC sudah merencanakan untuk menguasai Kerajaan Gowa.

Oleh karena itu, di luar Sulawesi Selatan mereka tetap menyatu, bahkan mereka (baca: orang Makassar) menyebut dirinya juga orang Bugis. Demikian pula Arung Palakka. Ia tidak menaruh dendam kepada Kerajaan Gowa yang menguasai Bone.

Arung Palakka kemudian mendekatkan semua kerajaan besar yang ada di Sulawesi Selatan dalam satu ikatan perkawinan. Inilah yang mungkin ingin disampaikan Leonard Andaya yang menulis buku The Heritage of Arung Palakka. Oleh karena itu, kini istilah Bugis sepertinya tidak serasi tanpa kata makassar, yaitu Bugis-Makassar.

Suriadi Mappangara Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar; Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulawesi Selatan

[ Last edited by  jf_pratama at 16-1-2009 01:30 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 16-1-2009 12:29 PM | Show all posts
Kalola, Kampung Para Pengembara Bugis - Makassar

Tidak ada yang istimewa dari tampilan fisik Desa Kalola. Sebagian besar rumah panggung yang ada masih berupa bangunan lama, yang juga tidak istimewa. Bahan dasar bangunan maupun arsitekturnya pun tergolong biasa-biasa saja.

Dibandingkan desa-desa tetangganya di Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sepintas terlihat betapa kemajuan fisik Kalola masih tertinggal. Meski di seberang jalan negara yang menghubungkan Parepare ke arah ibu kota Wajo di Sengkang hingga Watampone di Kabupaten Bone terbentang sawah menghijau, tetapi tak terlihat tanda-tanda kemakmuran menjamah mereka.

Inikah potret salah satu kampung asal para pengembara Bugis yang terkenal hingga ke seberang lautan itu? Waktu yang berlari cepat ternyata tak membuka cukup ruang untuk mengubah suatu peradaban sehingga kehidupan pun seperti jalan di tempat.

Di sinilah, 28 tahun lalu, Cik Hasan Bisri—dosen Fakultas Syariah, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, yang kala itu tengah mengikuti pendidikan di Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS) Makassar—mencatat tingginya angka migrasi dari desa ini. Akibatnya, kampung-kampung di lingkup Desa Kalola kehilangan banyak penduduk. Sawah-sawah pun telantar karena ditinggal pergi para pemiliknya.

Di Kampung LawatanaE, misalnya, dari sekitar 300 keluarga yang semula bermukim di sana hanya tersisa 30 keluarga sementara 100 keluarga penghuni Kampung Langkautu dan sekitar 200 keluarga yang bermukim di Kampung AwatanaE, saat penelitian dilakukan Cik Hasan Bisri pada tahun 1981, sudah kosong tanpa penghuni.

”Hanya beberapa rumah tangga saja yang pindah Callaccu dan Anabanua atau ke Parepare, sedangkan yang lainnya pergi merantau. Kini, kampung-kampung tersebut tinggal bekasnya saja, berupa pohon-pohon kelapa yang biasanya mereka tanam pada saat kelahiran bayi-bayi mereka,” tulis Cik Hasan (Migrasi, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1985).

Dalam rentang waktu 11 tahun, 1969-1980, Kalola pernah ”kehilangan” 8.762 warganya. Jumlah ini sangat besar, mengingat penduduk Kalola pada 1980 tercatat ”hanya” 3.447 jiwa.

Jumlah penduduk Kalola yang tinggal di kampung halaman mereka ternyata jauh lebih kecil dibandingkan orang-orang Kalola yang ada di perantauan. Sebagian besar di antara mereka menetap di Jambi. Bahkan, menurut perkiraan salah seorang perantau yang menjadi narasumber Cik Hasan, ”Perantau Bugis asal Kalola di Jambi saja mungkin lebih banyak daripada penduduk Desa Kalola sekarang ini.”

Lebih 28 tahun kemudian, Kalola memang mengalami perubahan. Paling tidak, kini tak ada lagi sawah yang telantar. Saluran irigasi sudah sampai ke desa mereka, sehingga upaya peningkatan hasil usaha tani—yang sebelumnya jadi salah satu alasan perantauan, di samping karena dipicu kekacauan politik akibat pemberontakan DI/TII-nya Kahar Muzakkar—bisa dilipatgandakan.

Akan tetapi, keberhasilan usaha tani itu tidak serta-merta memperbaiki nasib dan meningkatkan status sosial mereka. Tidak mengherankan bila arus migrasi dari Desa Kalola masih berlangsung hingga kini, meski jumlahnya tidak lagi seperti ”eksodus” pada tahun 1960-an dan 1970-an.

”Pokoknya jauh berkurang. Ya, sekitar satu sampai tiga orang-lah,” kata Ansar Ala, pemuda setempat.

Menurut Kepala Desa Kalola Haji Ambo Ala, migrasi besar-besaran yang dilakukan orang-orang Bugis-Wajo asal Kalola kala itu lebih disebabkan karena terjadinya kekacauan politik pada tahun 1950-an hingga 1960-an. Akibat kekacauan itu, yang dipicu pemberontakan DI/TII, masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan guna memenuhi kebutu*an hidup sehari-hari.

”Pergi merantau akhirnya menjadi pilihan,” ujar Haji Ambo Ala. ”Tetapi, jangan lupa, mereka tetap ingat tana Bugis, kampung halamannya. Mereka masih ingat kerabat dan teman-teman sekampungnya. Biasanya mereka pulang sekali dalam 5-10 tahun. Saat pulang kampung, mereka memberikan bantuan baik untuk kerabat maupun bagi kepentingan umum,” tambahnya.

Menengok jauh ke belakang, perantauan orang-orang dari Kalola diperkirakan sudah berlangsung sejak abad XV. Sebagai satu di antara 65 kerajaan kecil di Tana Wajo, tidak aneh bila orang-orang Kalola juga terlibat dalam aktivitas sebagai pedagang-pelayar yang ikut membuka permukiman baru di luar Tana Wajo.

Arus perantauan orang-orang Bugis-Wajo—termasuk penduduk Kalola—makin meningkat sejak dihancurkannya Benteng Tosara oleh pasukan Bone yang dibantu Belanda pada 1670. Peristiwa itu hampir bersamaan dengan migrasi besar-besaran orang Bugis-Makassar setelah Kerajaan Gowa jatuh! (ken)
Reply

Use magic Report

Follow Us
 Author| Post time 16-1-2009 12:34 PM | Show all posts
MELAYU - BUGIS MAKASAR: Arus Balik Sejarah

Sesungguhnya, kehadiran bangsawan Bugis-Makassar di Tanah Melayu tak ubahnya seperti fenomena arus balik sejarah. Jauh sebelum mereka masuk ke jantung kekuasaan Melayu, orang-orang Melayu-lah yang lebih dahulu berperan dalam dinamika lokal di negeri Bugis-Makassar.

Menyusul kejatuhan Melaka ke tangan Portugis (1511), tidak sedikit kerabat istana yang pergi ke berbagai penjuru angin. Beberapa kelompok berkelana hingga ke Sulawesi. Di wilayah Kerajaan Gowa ini mereka bermukim di Salojo, daerah pesisir Makassar di perkampungan Sanrobone.

Hasil penelusuran Mukhlis PaEni, sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, memperlihatkan bahwa sampai 1615 roda perekonomian—khususnya perdagangan antarpulau melalui pelabuhan Makassar—dikuasai oleh orang Melayu. Baru pada 1621 orang-orang Bugis-Makassar ikut ambil bagian penting dalam dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara.

”Sejak kedatangan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa, peranan mereka tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tapi juga dalam kegiatan sosial-budaya, bahkan di birokrasi. Dalam struktur kekuasaan Kerajaan Gowa, banyak orang Melayu yang memegang peran penting di istana,” kata Mukhlis, yang juga adalah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).

Di zaman Raja Gowa X (1546-1565), misalnya, seorang keturunan Melayu-Makassar berdarah campuran Bajau yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang diangkat sebagai Syahbandar Kerajaan Gowa ke-2. Sejak saat itu, kata Mukhlis, secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu, sampai dengan Syahbandar Incek Husa ketika Kerajaan Gowa kalah dalam perang melawan VOC tahun 1669.

Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana, yakni ketika Incek Amin menduduki jabatan itu pada zaman Sultan Hasanuddin (1653-1669). Juri tulis di istana ini sangat terkenal melalui syairnya yang amat indah, Shair Perang Mangkasar, mengisahkan saat-saat terakhir Kerajaan Gowa tahun 1669.

Menurut Mukhlis, sumbangan utama orang-orang Melayu di wilayah timur Nusantara tidak terbatas di bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam, tetapi juga di bidang pendidikan dan kebudayaan. Pada masa itulah naskah-naskah keagamaan dan sastra berbahasa Melayu diterjemahkan ke bahasa Bugis.

Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke-19. Salah satunya, penulisan ulang I La Galigo—karya sastra Bugis yang disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar dari khazanah kesusastraan Indonesia—tahun 1860 oleh bangsawan Bugis dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate.

”Namun, siapa sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Ia adalah Ratna Kencana. Ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Incek Ali Abdullah Datu Pabean, Syahbandar Makassar abad XIX, yang tak lain keturunan Melayu-Johor berdarah Bugis-Makassar,” tutur Mukhlis.

Dalam proses akulturasi budaya dan perkawinan antara orang Melayu dan orang-orang Bugis-Makassar, lahirnya ”generasi baru” Bugis-Makassar keturunan Melayu. Mereka ini secara umum dikenal sebagai masyarakat golongan tubaji (Makassar) atau tudeceng (Bugis). Dalam struktur sosial kemasyarakatan mereka ini menempati posisi terhormat, bahkan tak sedikit yang masuk ke struktur golongan bangsawan.

Ketika Benteng Somba Opu jatuh dan Sultan Hasanuddin harus tunduk pada isi Perjanjian Bongaya, kelompok masyarakat ”Melayu-Bugis-Makassar” inilah sebagai motor penggerak migrasi di kalangan bangsawan Kerajaan Gowa. Namun, terlepas dari adanya semacam ”arus balik” tersebut, perkawinan campuran Melayu-Bugis-Makassar ini telah melahirkan apa yang disebut Mukhlis PaEni sebagai masyarakat baru Nusantara.

”Dalam diri para tubaji/tudeceng mengalir darah intelektual Melayu, bercampur heroisme Bugis-Makassar, dan kearifan Bajau. Sejarah mencatat, kehadiran masyarakat baru Nusantara ini berperan penting dalam sejarah Nusantara abad XVIII-XIX. Peran ini masih berlanjut hingga kini,” kata Mukhlis PaEni.

Diaspora Bugis-Makassar adalah sebuah keniscayaan, bagian dari sejarah bangsa ini menemukan keindonesiaannya. Dan memang, harus diakui, mereka adalah produk pluralistik yang lahir dari dinamika sejarah masyarakat Nusantara. (ken)
Reply

Use magic Report

Post time 16-1-2009 04:56 PM | Show all posts
aku rawa...hahahahha
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 25-1-2009 04:30 PM | Show all posts
Bugis, now and then...

Makassar, the new metropilitan city of Indonesia

I've been to many countries in Southeast Asia (except for Myanmar, Laos, Timor Leste, and Brunei....owwwppp....many left unvisited), and sometimes i tested people i met in the street or coffee shop or mosques, about BUGIS. Unexpetedly, they knew BUGIS ! Someone i met in Manila, said
Reply

Use magic Report

Post time 17-2-2009 01:32 PM | Show all posts
tempat lahirnya nenek moyangku...
Reply

Use magic Report

Post time 19-2-2009 08:00 PM | Show all posts
ekekeke....mak aku bugis makasar...
Reply

Use magic Report

Post time 22-2-2009 03:11 PM | Show all posts
Terkenangkan Almarhum Sasterawan Negara Arenawati bila cerita mengenai Makassar.Beliau pelaut Melayu-Makassar.Novel Sukma Angin nya mendatangkan semangat pelayaran bagi bangsa Melayu.
Reply

Use magic Report

Post time 22-2-2009 06:35 PM | Show all posts
Fuhhh....bangga gak sebab berdarah bugis...

Dan telah menjejakkan kaki ke tanah asal bugis di sulawesi selatan....rasa nak pergi lagi...
Reply

Use magic Report

Post time 22-2-2009 07:24 PM | Show all posts
idup bugis!ekekekeke.....bugis malaysia......!
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT


Forum Hot Topic

 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

18-12-2024 10:46 PM GMT+8 , Processed in 0.458149 second(s), 27 queries , Gzip On, Redis On.

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list