DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH : 'LOVE STORY' GOES TIME MACHINE
Sutradara : Hanny R. Saputra
Produksi : MD Pictures, 2011
Semoga Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) yang sudah tenang di alam sana tak murka dengan adaptasi terbaru dari novelnya di tahun 1936 ini. Dibesut dengan biaya, kabar-kabarnya, entah benar atau tidak, 25 M, dengan barisan bintang-bintang senior sampai junior dan pembangunan set Ka'bah lifesize, Di Bawah Lindungan Ka'bah tak hanya mengkhianati esensi novel aslinya yang jadi literatur wajib Sastra Indonesia, namun juga dengan seenaknya menggubah adaptasi yang dicantukmkan jelas-jelas 'based on' itu dengan timeline asal-asalan. Apa yang hadir kemudian adalah seperti film terakhir Hanny R. Saputra, 'Love Story', tentang sebuah kasih tak sampai lengkap dengan kincir angin kayu raksasanya itu yang dipindah set saja. Kalau memang begitu kenapa susah-susah mencatut nama harta karun kesusasteraan kita itu? Tak hanya menodai karya aslinya, versi terbaru ini juga merusak adaptasi pertamanya yang dulu bermasalah di era pemerintahan Soeharto hingga diganti judul menjadi 'Para Perintis Kemerdekaan', yang cukup setia pada novelnya, dan baik pula secara filmis. Tolong jangan bela novel akan beda ketika diadaptasi ke film karena ada satu kata kunci yang harus ada dengan pencatutan nama 'based on' tersebut. Bukan hanya sekedar meminjam dialog, namun bahwa esensinya harus tertuang walau plotnya diubah sedemikian rupa. Ini tak lebih dari jualan kisah cinta Hamid dan Zainab sebagai bagian dari karya asli HAMKA yang dipoles dengan segala klise-klise bumbu lovestory terlarang akibat beda status sosial yang mengharu biru ala Indonesia (dan memang, catat, disukai penonton kita), ditambah sedikit bumbu dakwah untuk tendensi peredarannya di momen lebaran. Padahal, rencana awalnya banyak dianggap baik karena ada niat untuk memperkenalkan kembali karya-karya sastra kita yang sudah makin luntur ditelan zaman. Apalagi, masih tersisa sedikit keseriusan penggarapan dan ini yang selalu jadi masalah. Bagaimana aktor-aktris senior dan yang punya bakat akting luarbiasa bagus itu bisa diyakinkan untuk tampil superserius atas skenario yang sesungguhnya tak serius? Wallahualam. Allah knows best.
Berset di Padang tahun 1920an, oleh pasangan Haji Ja'far (Didi Petet) dan istrinya (credited as Widyawati Sophiaan), tempat ibunya (Jenny Rachman) bekerja, anak yatim Hamid (Herjunot Ali) sejak kecil disekolahkan hingga melanjutkan pendidikan agama. Otaknya yang cerdas dan pintar mengaji membuatnya jadi salah satu dari tiga lulusan Thawalib (sekolah agama) yang disegani disana. Namun ia tak bisa menahan hatinya untuk mencintai putri majikannya, Zainab (Laudya Cynthia Bella) yang tengah dijodohkan dengan Arifin (Ajun Perwira), putra Haji Rustam (Leroy Osmani). Zainab pun memiliki perasaan sama dengannya, namun keduanya sadar, status berbeda itu akan menyulitkan mereka. Hamid dan Zainab sama-sama memendam perasaan sampai akhirnya sebuah kecelakaan membuat Hamid seketika mendapat ilmu dari masa datang. Zainab yang nyaris tenggelam diresusitasinya dengan mouth to mouth ventilation sehingga selamat (Oh ya, silahkan bongkar semua sejarah medis bangsa ini dan tunjukkan satu bukti bahwa mouth to mouth ventilation yang di luar saja baru populer di era Perang Dunia sudah sampai ke Indonesia, di kampung kecil pula). Berteriaklah semua tetua agama dan penduduk kampung, walaupun Haji Ja'far mengaku Allah menjawab doanya untuk menyelamatkan Zainab melalui Hamid. Hamid yang memegang teguh agamanya terpaksa menerima hukuman. Ia diusir dari desanya, terpisah dengan sang ibu, dan kemudian bekerja di logistik stasiun kereta api. Beberapa kejadian mulai dari meninggalnya Haji Ja'far dalam perjalanan haji sampai ibunya yang meninggal setelah digambarkan batuk darah (yang ini boleh-boleh saja meskipun klise mengingat setnya memang di tahun 1920an dimana TBC masih jadi momok menakutkan yang sulit disembuhkan) membuat Hamid kembali ke desa itu namun belum lagi diterima. Hubungan terpendamnya dengan Zainab makin kompleks, apalagi istri Ja'far membujuknya mendekati Zainab agar mau dijodohkan dengan Arifin. Mereka berpisah lagi, dan kali ini Hamid berangkat ke Mekkah. Hanya ada satu surat di ambang keputusasaan Zainab yang dititipkannya pada sahabat Hamid yang berangkat haji tanpa tahu Hamid ada disana, dengan harapan bahwa Allah akan kembali menyatukan mereka.
Now I'm gonna tell you what's not in the novel yang seharusnya menuangkan esensi Islami di tengah perjuangan para pemuda di daerah Minangkabau itu melawan penjajahan, lengkap dengan pandangan gender dan kesetaraan status. Jawabannya adalah hampir semua. Hanya ada nama-nama karakter, sebagian line dialog dan perbedaan status sebagai ganjalan sempalan kisah cinta tadi. Gambaran gender dari pandangan Islam hanya disiratkan lewat sebuah adegan singkat lomba debat yang entah iya atau tidak sudah disebut itu di tahun 1920an, dan penjajahan Belanda cuma ditunjukkan dari satu bos bule dengan tentara-tentara pengantar surat di daerah mereka. Aura relijius yang dalam novel digambarkan dari keteguhan mereka memandang Islam sebagai resepsi konflik-konflik yang ada hanya tertuang lewat kisah cinta yang dangkal. Selebihnya adalah cerita berbeda yang terasa sekali mengulang esensi kisah cinta terlarang dalam film Hanny terakhir, Love Story. Kalau Love Story terasa wajar karena setnya memang fiktif, apa yang ada disini justru jadi bombastis tanpa arah, kalau perlu dengan seenaknya melakukan turnover tanpa survei, salah satunya ya di adegan 'mouth to mouth ventilation' yang justru jadi pemicu konflik utamanya itu. This is that 'Love Story' goes on a time machine to 1920s. Masih ada yang lebih parah?
Jawabannya, ada. Dan itu terletak di dialog yang dipilih para penulis skenario bersama Hanny disini. Jangan lupa, bahwa set ini adalah Padang. Satu daerah dimana adat istiadat termasuk dialeknya termasuk unik karena masih dipegang teguh sampai sekarang. Menggunakan bahasa-bahasa Minang seperti wa'ang (kamu), duo (dua), dan lainnya, tanpa sama sekali ada dialek Minang, dan memilih bahasa baku ala novel menjadi pengantarnya, itu adalah suatu kekonyolan yang sangat-sangat mengganggu. Ini seperti bila Anda menutup mata dan hanya mendengar suara, apa yang kemudian terdengar tak lebih seperti film asing yang didubbing. Melewati batas 20 menit film bergulir, entah mengapa, sebagian pendukungnya termasuk Widyawati tapi bukan Junot dan Bella sebagai pemeran utamanya, mulai mencoba-coba menggunakan dialek meskipun tidak pas. Ini jadi tak konsisten secara, silahkan tanya ke orang Minang manapun yang masih merasakan hidup di zaman itu di kampungnya, apakah ada yang berbicara tanpa dialek tapi menggunakan bahasa daerahnya. Film aksi seperti Merantau saja lebih tahu perlunya dialek ini untuk menggambarkan latarnya. Saya jadi berpikir mungkin dalam syuting mereka disyut dua kali dengan dialek dan tidak kemudian dicampuradukkan dalam editing yang tak juga tampil rapi karena seringkali menghilangkan ekspresi dalam sambung-sambungan adegannya. Dan ini juga mengkaburkan karakterisasi dan aura relijiusnya sekaligus dengan sangat sukses. Kadang mereka terlihat seperti orang tangguh, tiba-tiba jadi bodoh tanpa alasan. Masih ada lagi yang lebih parah?
Jawabannya, ada, yaitu di pencitraan iklan sebagai sponsornya. Berkali-kali, bahkan belum lagi film memasuki masa putar 5 menit, sudah tampil kotak cerutu dengan merk Chocolatos terpampang jelas. Itu pun ternyata bukan cerutu, tapi sama dengan snack coklat yang kita konsumsi sekarang. Kasar tak kepalang. Setelah itu, ada adegan Hamid membeli kacang dengan mengatakan, 'Kacang Garuda, duo' dan belakangan muncul pula bungkus kacang Garuda yang sama dengan sekarang, namun dengan ejaan lama bertuliskan 'Garuda Katjang Koelit'. Belum lagi obat nyamuk yang dibakar diatas bungkus Baygon yang lagi-lagi, sama dengan zaman sekarang. Saya tak tahu cuci otak macam apa yang dipaksakan pihak sponsor untuk pencitraan produknya ke pembuat film ini sampai mereka mau-maunya membuat iklan itu tidak lagi tampil terselubung. Astaghfirullah!
And so, Di Bawah Lindungan Ka'bah versi baru ini, saya malu menyebut karya besar itu sebenarnya dalam review ini, hanya menyisakan set yang lumayan cantik meski dengan dejavu kincir angin kayu di Love Story (mungkin ini propertinya Hanny), skor yang megah dari Tya Subiyakto meski strings latarnya sedikit plagiat, plus beberapa adegan yang memang sangat catchy. Salah satunya adalah tempat rendezvouz Hamid dan Zainab yang saling berbicara terhalang sebuah tembok kayu. Ini indah untuk menggambarkan hubungan terlarang secara puitis, paling tidak. Kalaupun mau menyebut satu lagi, adalah akting cemerlang dari para pendukungnya yang bisa menyelamatkan sedikit bagian pertengahan untuk mengalir dengan cukup runtut. Adegan Hamid melepas ibunya yang tengah sekarat dengan Junot yang menangis begitu lepas, itu hebat, kalau saja tak dirusak sedikit dengan editing yang tak rapi. Lagi-lagi, saya kembali bingung. Bagaimana bakat-bakat luarbiasa ini bisa dipaksa untuk menampilkan akting begitu baik di tengah skenario Titien Watimena dan Armantono yang terkesan asal jadi dan seenaknya itu. Forgive me for being this rude, tapi mencatut karya sebesar itu untuk jadi roman yang akhirnya jadi se-picisan ini, rasanya tak ada yang lebih tepat ketimbang mengusir Anda dari sebuah desa. (dan)
danieldokter.wordpress.com