Imigrasi ilegal Pemusnahan massal dan sistematis bangsa Yahudi di Eropa membuat sejumlah organisasi Yahudi mencoba melakukan imigrasi ilegal. Setidaknya 100.000 orang Yahudi menggunakan 120 kapal dalam 142 pelayaran mencoba menyelundup ke Palestina. Namun, Inggris yang menempatkan delapan kapal perangnya untuk memblokade perairan di sekitar Palestina berhasil menggagalkan sebagian besar upaya imigrasi ilegal itu. Para imigran yang gagal masuk Palestina itu kemudian dibawa dan ditahan di kamp pengungsi di Siprus. Beberapa ribu lainnya ditahan di Palestina dan Mauritius. Sebanyak 50.000 imigran ditahan Inggris dan sekitar 1.600 imigran tewas tenggelam, serta hanya beberapa ribu orang yang berhasil lolos ke Palestina di masa-masa itu. Salah satu insiden terkenal di masa-masa imigrasi ilegal ini adalah insiden kapal Patria. Pada akhir 1940-an, kebijakan Nazi atas bangsa Yahudi adalah mendeportasi mereka dari Eropa ke tempat lain, belum sampai pada taraf memusnahkan. Untuk mengeluarkan bangsa Yahudi dari Eropa, Nazi Jerman menyewa tiga kapal di Romania, yaitu Atlantic, Pacific, dan Milos, yang secara total mengangkut 3.600 orang Yahudi. Kapal-kapal ini meninggalkan Pelabuhan Tulcia, Romania, menuju Palestina. Seperti telah diduga, ketiga kapal ini dicegat kapal-kapal perang Inggris dan penumpangnya dipindahkan ke kapal Patria dan akan dibawa ke Mauritius. Nah, rencana memindahkan warga Yahudi ke Mauritius ini diketahui Haganah—pasukan paramiliter Yahudi di Palestina. Untuk mencegah pemindahan itu, aktivis Haganah memasang sebuah bom kecil di kapal Patria dan berharap bisa merusak mesin kapal itu sehingga kapal itu akan tertahan di Pelabuhan Haifa. Celakanya, pada saat 130 penumpang terakhir masuk ke Patria, bom meledak dan menimbulkan lubang besar di lambung kapal. Akibatnya, kapal itu tenggelam dengan cepat dan menewaskan 267 penumpangnya. Meski di masa Perang Dunia II ini imigrasi Yahudi ke Palestina tidak terlalu mudah, tetapi beberapa ribu orang Yahudi masih bisa masuk ke Palestina dan selamat dari pembantaian yang dilakukan Hitler. Saat Inggris Menjadi Musuh Zionisme Matson Photo Service Demonstrasi menentang dokumen White Paper di dekat King David Hotel, Israel, tahun 1939. White Paper membatasi imigrasi warga Yahudi ke Palestina. Pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina yang dituangkan dalam White Paper 1939, ternyata membuat Organisasi Zionis berang. Akibatnya, para pemimpin Zionis berkumpul di New York pada 1942 tepatnya di Hotel Biltmore. Saat itulah secara resmi para pemimpin Zionis menetapkan Palestina sebagai wilayah Persemakmuran Yahudi. Selain itu para pemimpin Yahudi kini menganggap Inggris sebagai musuh yang harus diperangi. Status Inggris yang pernah menjadi ‘harapan’ bangsa Yahudi saat menerbitkan Deklarasi Balfour 1917 seketika berubah. Berbagai kelompok bersenjata Yahudi seperti Haganah, Irgun dan Lehi yang awalnya bersaing kini bersatu dengan tujuan sama yaitu mendongkel kekuasaan Inggris di Mandat Palestina. Kelompok-kelompok bersenjata ini tak jarang melakukan aksi terorisme seperti pembunuhan dan penculikan para petinggi Inggris hingga meledakkan kereta api milik Inggris. Salah satu insiden yang patut dicatat adalah pembunuhan Menteri Negara Urusan Timur Tengah, Lord Moyne pada 6 November 1944 di Kairo, Mesir, oleh dua anggota gerakan bawah tanah Yahudi, Eliyahu Bet-Zuri dan Eliyahu Hakim. Lord Moyne dikenal sebagai salah seorang pejabat Inggris yang sangat anti-Zionis dan sangat memegang teguh aturan pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina seperti diatur dalam dokumen White Paper 1939. Namun, pembunuhan Lord Moyne itu tidak mengubah kebijakan Inggris di Palestina. Justru, aksi itu malah berdampak buruk bagi gerakan Zionisme. Sebab, Lord Moyne adalah sahabat dekat Perdana Menteri Inggris saat itu Winston Churchill. Akibatnya, Churchill mempertimbangkan kembali dukungan Inggris terhadap Zionisme. Sementara itu, Inggris berhasil menangkap kedua pembunuh Lord Moyne dan keduanya dihukum gantung pada 1945. Mandat Inggris Berakhir Sementara itu, di Eropa, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jerman. Salah satu dampaknya adalah masih terdapat 250.000 orang Yahudi tersebar di berbagai kamp konsentrasi milik Jerman. Dan, para pemimpin Zionis ingin membawa rekan-rekan sebangsanya itu ke Palestina. Masalahnya, Inggris masih membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina sesuai mandat White Paper 1939. Situasi ini membuat perlawanan kelompok-kelompok bersenjata Yahudi di Palestina semakin keras dan semakin menebar teror. Mereka mengebom kereta api, stasiun kereta api bahkan markas militer Inggris di Hotel King David di Jerusalem pada 22 Juli 1946. Aksi teror yang dilakukan kelompok sayap kanan Zionis, Irgun ini menewaskan 91 orang dan 46 orang lainnya terluka. Kondisi yang semakin buruk di Mandat Palestina ini menjadi berita utama berbagai koran di Inggris. Akibatnya, para politisi mendesak pemerintah Inggris untuk segera mengatasi konflik di Palestina untuk menyelamatkan nyawa warga dan pasukan Inggris di Palestina. Desakan terhadap Inggris juga datang dari Amerika Serikat dan sejumlah negara yang meminta Inggris segera membuka keran imigrasi Yahudi yang selama ini ditutup. Berbagai investigasi pun digelar untuk memastikan kondisi sebenarnya di Palestina. Akhirnya sebuah Komite Gabungan Inggris-AS bentukan PBB pada 20 April 1946 merekomendasikan imigrasi 100.000 orang Yahudi bisa dilakukan sesegera mungkin ke Palestina. Rekomendasi ini ditolak para pemimpin Arab dan Inggris segera menyadari mereka tak mampu lagi mengatasi keadaan di Palestina. Akhirnya Inggris mengembalikan mandat mengelola Palestina yang mereka pegang sejak 1920 kepada PBB terhitung 14 Mei 1948. Inilah yang kemudian berujung pada berdirinya Negara Israel.
Revolusi Arab dan Sejumlah Upaya Solusi Sebuah bus dilengkapi besi pelindung untuk mencegah batu dan barang-barang lain yang dilemparkan oleh kelompok revolusioner Arab yang mengincar warga Yahudi. Konflik terbesar dalam sejarah Mandat Palestina adalah apa yang disebut dengan Revolusi Arab (1936-1939). Revolusi ini dipimpin Imam Besar Jerusalem Mohammad Amin al-Husayni. Konflik ini diawali terbunuhnya seorang ulama asal Suriah, Izz al-Din al-Qassam pada November 1935. Al-Qassam memang dikenal sebagi seorang ulama yang anti-Inggris dan anti-Zionisme. Dia merekrut para petani dan memberi mereka latihan militer. Pada November 1935, dua anak buah al-Qassam terlibat bentrok dengan polisi Inggris dan menewaskan seorang polisi. Akibatnya, polisi memburu dan menewaskan Al-Qassam di sebuah gua dekat Ya’bad, Tepi Barat. Kematian ini dengan cepat menyulut kemarahan warga Arab di Palestina. Faktor lain pemicu Revolusi Arab adalah penemuan kiriman senjata dalam jumlah besar di pelabuhan Jaffa yang ditujukan untuk Haganah, pasukan paramiliter Yahudi. Fakta ini memunculkan ketakutan bahwa Yahudi akan mengambil alih Palestina semakin meningkat. Pada 1935, angka imigrasi Yahudi ke Palestina juga meningkat, hanya beberapa bulan sebelum Revolusi Arab Pecah. Antara 1933-1936 lebih dari 164.000 imigran Yahudi tiba di Palestina. Pada 1936, populasi warga Yahudi mencapai 370.000 orang membuat hubungan antara warga Arab dan Yahudi semakin panas. Revolusi Arab benar-benar dimulai pada 15 April 1936, ketika konvoi truk dari Nablus menuju Tulkarm diserang dan menewaskan dua warga Yahudi. Sehari setelah serangan itu, kelompok bersenjata Yahudi balas menyerang dan membunuh dua pekerja Arab di dekat Petah Tikva. Aksi saling balas terus meluas dan sejumlah jenderal Arab menyatakan perang. Pemerintah Inggris akhirnya harus turun tangan untuk mengatasi keadaan. Pasukan Inggris di Palestina mendapat bantuan dari Haganah akhirnya bisa mengakhiri Revolusi Arab pada 1939. Akibat revolusi ini 5.000 warga Arab, lebih dari 300 warga Yahudi dan 262 tentara Inggris tewas. Selain itu, sedikitnya 15.000 warga Arab terluka. Imam Besar Amin al-Husayni yang menjadi pemimpin revolusi berhasil mendapatkan suaka di Lebanon, Irak, Italia dan akhirnya Nazi Jerman. Dampak Revolusi Arab Apa dampak Revolusi Arab yang gagal ini dalam perkembangan Palestina? Selama upaya dan usai memadamkan Revolusi Arab, Inggris menggelar sejumlah investigasi soal penyebab pertumpahan darah selama tiga tahun itu. Salah satu hasil penyelidikan yang cukup signifikan adalah Komisi Peel (1936-1937). Komisi ini adalah yang pertama kali mengajukan solusi dua negara. Komisi ini mengusulkan agar Palestina dibagi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab. Negara Yahudi, sesuai rekomendasi komisi, meliputi kawasan pantai, Lembah Jezreel, Beit She’an dan Galilea. Sementara Negara Arab akan meliputi Transjordania, Yudea, Samaria, Lembah Jordania dan Negev. Para pemimpin Yahudi di Palestina terbelah pendapatnya menanggapi rekomendasi ini. Sementara para pemimpin Arab dengan tegas menolak usulan solusi dua negara ini. Pada Mei 1939 -beberapa bulan sebelum Perang Dunia II pecah- Inggris kembali mencoba memberikan solusi di tanah Palestina. Kali ini adalah solusi satu negara Palestina. Di mana dalam jangka pendek pemerintah Inggris akan menentukan kuota jumlah imigran Yahudi yang bisa memasuki Palestina. Di masa depan, jumlah kuota ini akan ditentukan pemimpin Arab. Selain kuota, Inggris juga melarang imigran Yahudi membeli tanah dari warga Arab demi mencegah gesekan sosial antara kedua kubu. Aturan-aturan ini berlaku hingga masa mandat Inggris di Palestina berakhir yang hampir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II. Perang Dunia II yang diikuti holocaust alias pemusnahan masal bangsa Yahudi di Eropa membuat semakin banyak bangsa Yahudi yang mencoba meninggalkan Eropa. Akibatnya, para pemimpin Yahudi di Palestina merancang imigrasi ilegal ke Palestina yang menciptakan ketegangan lebih besar di kawasan tersebut.
Akhir Mandat Palestina dan Berdirinya Israel Israel Ministry of Foreign AffairsDavid Ben Gurion membacakan deklarasi berdirinya Negara Israel di Tel Aviv 14 Mei 1948. Dalam deklarasi ini Israel tidak menyebutkan tapal batasnya dengan negara-negara Arab di sekitarnya. Aksi kekerasan yang terus terjadi di Palestina berujung pembentukan Komite Investigasi Anglo-Amerika pada 1946. Pembentukan komite ini diharapkan bisa menyelesaikan berbagai masalah, khususnya terkait imigrasi Yahudi ke Palestina. Komite ini kemudian menyetujui rekomendasi AS terkait pemindahan segera 100.000 pengungsi Yahudi di Eropa ke Palestina. Komisi ini juga merekomendasikan tak ada negara Arab atau Yahudi di Palestina. Namun, implementasi rekomendasi ini ternyata tak semudah yang dibayangkan. Bahkan Presiden AS Harry S Truman membuat Partai Buruh Inggris berang karena dukungannya terhadap imigrasi 100.000 pengungsi Yahudi namun menolak temuan komite lainnya. Kondisi inilah yang membuat Inggris mengumumkan niatnya menyerahkan Mandat Palestina ke tangan PBB. Akibat niat Inggris ini maka PBB membentuk Komite Khusus untuk Palestina (UNSCOP) pada 15 Mei 1947. UNSCOP yang terdiri dari 11 negara ini melakukan sidang dan kunjungan ke Palestina untuk melakukan investigasi. Pada 31 Agustus 1947, UNSCOP memaparkan laporannya. Dalam salah satu bagian laporannya, UNSCOP merekomendasikan kepada Sidang Umum PBB sebuah skema pembagian wilayah Palestina dalam masa transisi selama dua tahun yang dimulai pada 1 September 1947. Pembagian itu terdiri atas negara Arab merdeka (11.000 km persegi), negara Yahudi (15.000 km persegi). Sementara kota Jerusalem dan Betlehem akan berada di bawah kendali PBB. Usulan ini tidak memuaskan kelompok Yahudi maupun Arab. Bangsa Yahudi kecewa karena kehilangan Jerusalem. Namun, kelompok Yahudi moderat menerima tawaran ini, dan hanya kelompok-kelompok Yahudi radikal yang menolak. Sementara itu, kelompok Arab khawatir pembagian ini akan mengganggu hak-hak warga mayoritas Arab di Palestina. Dalam pertemuan di Kairo, Mesir pada November dan Desember 1947, Liga Arab mengeluarkan resolusi yang menyetujui solusi militer untuk mengakhiri masalah ini. Dalam kenyataannya, sejumlah negara Arab memiliki agenda tersendiri. Jordania ingin menguasai Tepi Barat, sementara Suriah menginginkan bagian utara Palestina, termasuk wilayah yang diperuntukkan bagi Yahudi dan Arab. Berdirinya Israel Lalu bagaimana dengan Inggris? Meski menerima usulan pembagian ini, Inggris enggan menerapkannya di lapangan, karena jelas-jelas tidak diterima kedua pihak. Inggris juga enggan memerintah Palestina bersama PBB di masa transisi. Pada September 1947, Inggris mengumumkan kekuasaan mereka di Mandat Palestina akan berakhir pada 14 Mei 1948 tengah malam. Sebagai respon pernyataan Inggris ini, Presiden AS Harry Truman mengajukan proposal baru yang membatalkan rencana pembagian Palestina. Dalam proposal itu, AS mengusulkan PBB langsung memerintah Palestina. Kekacauan tak terelakkan yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan di mana-mana. Hingga akhir Maret 1948 setidaknya 2.000 orang meninggal dunia dan 4.000 orang terluka. Pada 14 Mei 1948, atau sehari sebelum Mandat Inggris di Palestina berakhir Ketua Yishuv (Komunitas Yahudi di Palestina), David Ben Gurion di hadapan 250 orang undangan di Museum Tel Aviv mendeklarasikan berdirinya Negara Israel. Dalam deklarasi itu, Ben Gurion sama sekali tidak menyebutkan batas-batas negara Israel. Sejumlah catatan menyebut, para pendiri Israel sepakat tidak menyebutkan batas negara itu karena negara-negara Arab di sekitar Israel pasti tidak akan menyetujuinya. Beberapa hari setelah deklarasi berdirinya Negara Israel, sebanyak 700 orang Lebanon, 1.876 orang Suriah, 4.000 orang Irak dan 2.800 orang Mesir menyerbu Palestina. Sementara itu, sekitar 4.500 pasukan Transjordania dipimpin 38 perwira Inggris yang mengundurkan diri dari kesatuannya menyerbu Jerusalem. Perang Arab-Israel pertama.
|