View: 9947|Reply: 32
|
ulangtahun 100 tahun kematian wanita perkasa dari aceh
[Copy link]
|
|
100 TAHUN: WAFATNYA CUT NYA' DHIEN
“Lihatlah... Tempat ibadah kita dirusak.
Mereka telah mencoreng muka kita.
Sampai kapan kita akan begini?
Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda.”
160 Tahun silam 1848, di pelosok aceh tepatnya diLampadang, Aceh Besar lahir seorang wanita yang diberi nama Cut Nyak Dhien.
Beliau wafat/dimakamkan di Gunung Puyuh pada 6 November 1908 Sumedang, Jawa Barat.
Cut Nya' Dien adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama. Ayahnyabernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18, dimana Aceh pada saat itu diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Karena itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien adalah keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.Sewaktu kecil, ia memperoleh pendidikan pada bidang agama yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama, rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari) yang dididik baik oleh orang tuanya. Dan juga, banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Sehingga pada usia 12 tahun, dia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Sehingga meletuslah Perang Aceh. Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:“ Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?.” Saat itu, Kesultanan Aceh dapat memenangi
perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan. Dan Kohler tewas tertembak pada April
1873.
Namun pada perang kedua (1874-1880), dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten. Daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan
lainnya pada tanggal 24 Desember 1875, dimana suaminya bertempuruntuk merebut kembali daerah VI Mukim. Namun, Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Setelah itu, Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Tadinya Cut Nyak Dhien menolak, namun karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang. Cut Nyak Dien akhirnya menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir).
Pada saat Perang ketiga (1881-1896) meletus, perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi''sabilillah. Hal buruk terjadi untuk Aceh, Teuku Umar mulai mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Cut Nyak Dhien dan rakyat Aceh khawatir akan hal ini, sampai Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Tapi, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Dan juga, pada saat orang Belanda datang ke rumahnya, Cut Nyak Dhien selalu menyingkir dari situ. Lalu pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu, Belanda memberi Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Teuku Umar mengikuti perintah Belanda dengan merebut daerah pejuang Aceh. Namun, akhirnya Teuku Umar menunjukan bahwa dia hanya menipu Belanda dalam sandiwara untuk mendapatkan senjata-senjata dengan mengkhianatinya saat ia dan pasukannya diberi senjata oleh Belanda.
Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar). Akibat dari penghianatan ini, Belanda mencabut gelarnya dan membakar rumahnya. Dan Belanda terus mengejar keberadaannya, sampai Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Karena hal ini, Cut Nyak Dien memimpin pasukan pada usianya yang ke 50 tahun melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir).Pada Perang keempat (1896-1910), Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Tetapi, tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok. Selain itu jumlah pasukannya terus berkurang, dan sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. Sehingga, salah satu pasukannya bernama Pang Laot melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba. Lalu, segera, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien. Sebelum ditangkap, Cut Nya Dien mengambil rencong dan hendak membunuh Pang Laot dengan rencong, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda.
lSetelah tertangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan ia dirawat disitu. Penyakitnya berangsur-angsur sembuh. Namun, karena Belanda takut kehadirannya membuat semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya Belanda kesal dan akhirnya ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Akhirnya pada tanggal 6 November 1908, ia meninggal karena usianya yang sudah tua. Karena perjuangannya, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964.
[ Last edited by amazed at 9-11-2008 08:22 AM ] |
|
|
|
|
|
|
|
tokoh ni sangat popular di acheh...
aku pon ade penah dengo kisah die ni..semoga menjadi tauladan buat kite semua tentang semangat beliau |
|
|
|
|
|
|
|
aku mmg kagum cara indonesia menentang belanda... |
|
|
|
|
|
|
|
Cut Nyak Dhien; Sebuah Akhir di Tanah Sepi
Tanggal 11 Desember 1906, Pangeran Aria Suriaatmaja, Bupati Sumedang waktu itu, kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan dari pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua, renta, rabun serta menderita encok. Seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih berumur 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tetap kelihatan tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.
Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria Suriaatmaja tidak menempatkannya di penjara. Melainkan memilih menempatkannya disalah satu rumah milik tokoh agama setempat. Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta dan menderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 08 November 1906 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan tua itu.
Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan tua itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang diketahui penduduk, karena kesehatannya yang sangat buruk perempuan tua itu nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajari mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung.
Sesekali mereka membawakannya pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu yang belakangan karena penguasaanya terhadap ilmu-ilmu agama disebut dengan Ibu Perbu. Waktu itu tak ada yang menyangka bila perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah The Queen of Aceh Batlle dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Ya, hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah air dan orang-orang yang dicintai.
Gadis kecil cantik dan cerdas bernama Cut Nyak Dhien. Dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teeku Nanta Setia yang merupakan keturunan perantau Minang yang datang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.
Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat ketat membuat gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Pada usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII. Dari perkimpoiannya itu belakang dia dikarunia seorang anak laki-laki.
Suasana perang yang bergelanyut diatmosfir Aceh pecah ketika 1 April 1873, F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh. Dan Tjoet Nyak Dhien tentu ada disana, ditengah tebasan rencong, pekik perang dan dentuman meriam.
Dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan di bakar tentara Belanda.
“Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?”
Perang Aceh adalah cerita tentang keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir, begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap harinya waktu dihabiskan untuk berperang, berperang dan berperang melawan Kapke Ulanda.Tetapi perang juga lah yang mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul gugur dalam pertempuran di Gle Tarum 29 Juni 1070. Dua tahun kemudian, Cut Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.
Tetapi bagi Tjoet, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, Teuku Cek Ibrahim Lamnga suaminya bukan juga monopoli Teeku Nanta Setia ayahnya atau para lelaki Aceh saja. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak Dhien, dia tetap mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.
Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiran putri bangsawan itu hanya dicurahkan pada perang. Berpindah dari satu persembunyian ke persembunyian yang lain, kurang makan dan kurangnya rawatan kesehatan membuat kebugarannya merosot. Kondisi pasukannyapun tak jauh berbeda. Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada pada 16 November 1905 sepasukan Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya, Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak.
Dengan usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan Tjoet memang tak bisa berbuat banyak. Rencongpun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya, Cut tertangkap dan dibawa ke Banda Aceh lalu dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. |
|
|
|
|
|
|
|
Reply #6 jf_pratama's post
bang jf...ada tak film pasal wanita perkasa ni?. |
|
|
|
|
|
|
|
Dulu NTV 7 Ade nak tayangkan cerita ni..tapi last2 tak jadi..sebab masa tu tengah panas ngan Reformasi...hurm.... |
|
|
|
|
|
|
|
cuk nyak dien ni namanya ada diabadikan pada kapal angkatan laut republuik indonesia ,KRI kan? P. Ramlee pun orang acheh tau.. |
|
|
|
|
|
|
|
Cut Nyak Dhien
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk film Indonesia tahun 1988, lihat Tjoet Nja' Dhien
Cut Nyak Dhien
Lahir 1848
Lampadang, Indonesia
Meninggal 6 November 1908
Sumedang, Indonesia
Agama kepercayaan Islam
Suami/Istri Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
Anak Cut Gambang
Cut Nyak Dhien (Lampadang, 1848 – 6 November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan Aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
[sunting] Kehidupan awal
[sunting] Latar belakang keluarga
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau[4][2]. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
[sunting] Masa kecil
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[4][2], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
[sunting] Perlawanan saat Perang Aceh
[sunting] Belanda menyerang Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Perang Aceh meletus. Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:
“ Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?[2] ”
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.
Van Heutsz sedang memerhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
[sunting] Pendudukan VI Mukim
Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
[sunting] Kematian Ibrahim Lamnga
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]
[sunting] Pernikahan dengan Teuku Umar
Setelah itu, Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang bernama Cut Gambang.
[sunting] Rencana Teuku Umar
Teuku Umar, suami kedua Cut Nyak Dhien
(sumber: foto-foto.com)
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda untuk menipu orang Belanda, sehingga saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:
“ Mereka menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin membayar kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh [1] ”
Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.[1][2] Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda, namun, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Teuku Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.[1] T
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar).
[sunting] Reaksi Belanda
Teuku Umar yang menghianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.[1][2] Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan terbaik dari Belanda dan mengembalikan identitasnya menjadi pasukan gerilyawan. Mereka mulai menyerang Belanda sementara jendral Van Swieten diganti. Penggantinya, jendral Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan untuk pertama kalinya.[1] Selain itu, Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.[2]
[sunting] Pembantaian Jendral Van Der Heyden
Dien dan Umar menekan Belanda dan menduduki Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar) dan Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.[1] Pasukan gerilyawan kuat yang dilatih dan dibuat dan memimpil hal ini sukses.[1] Sejarah yang mengerikan bagi orang Belanda terus terjadi, tetapi, jendral Van Der Heyden ditugaskan dan tidak pernah dilupakan oleh orang Aceh. Pembantaian yang berdarah dilakukan terhadap laki-laki, wanita dan anak-anak pada desa, ketika jendral Van Der Heyden masuk kedalam unit "De Marsose". Mereka dianggap biadab oleh orang Aceh dan sangat sulit ditaklukan, selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya, termasuk rumah dan orang-orang.[1] Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van Der Heyden membubarkan unit "De Marsose".[1] Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan Jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1] |
|
|
|
|
|
|
|
Kematian Teuku Umar
Jendral Van Heutz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Hal ini diketahui karena diinformasikan oleh informan yang bernama Teuku Leubeh.[1] Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien mendengar kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan Dien berkata:
“ Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah "Shaheed"[1] ”
[sunting] Bertempur bersama pasukan kecil
Akibat kematian suaminya, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 dan berisi laki-laki dan wanita karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh, selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya, termasuk salah satu pasukannya bernama Pang Laot Ali yang melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba, selain itu, agar Belanda mau memberinya perawatan medis dan membawa Belanda ke markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.[3][2]
[sunting] Ditangkap Belanda
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan menjadi orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya.[1] Akibat Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda.[5] Ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).[6] Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah dilakukan ayah dan ibunya.[1]
== Masa tua Setelah ia ditangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan membuat semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya Belanda kesal, jadi ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.
[sunting] Dibuang di Sumedang
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja, selain itu, tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Sampai kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak Dhien yang mereka sebut "Ibu Perbu" (Ratu).[6] Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien yang tidak dapat bicara bahasanya merupakan sarjana Islam, sehingga ia disebut Ibu Perbu.[1] Ia mengajar Al-Quran di Sumedang sampai kematiannya pada tanggal 8 November 1908. Saat Sumedang sudah beralih generasi dan gelar Ibu Perbu telah hilang pada tahun 1960-an, dari keterangan dari pemerintah Belanda, diketahui bahwa perempuan tersebut merupakan pahlawan dari Aceh yang diasingkan berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).
[sunting] Kematian
Setelah ia dipindah ke Sumedang, pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan.[6] Pada tahun 1960, orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu Perbu", telah meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda pada "Nederland Indische", ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa "Ibu Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang, Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu Jihad" dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[1][2]
[sunting] Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.[6] Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan, dan pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.[6] Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran, selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani Ibrahim Hasan, Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Sumedang tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beson dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama besar dari Sumedang yang pernah dibuang ke Ambon yang bernama H. Sanusi, dan juga keluarga H. Sanusi merupakan pemilik tanah kompleks makam Cut Nyak Dhien.[6]
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surat At Taubah dan Al Fajar serta hikayat cerita Aceh.
Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia sehingga mengurangi jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien, selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat, bahkan tidak ada yang tahu letak makam Cut Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh.[6]
Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.[6]
[sunting] Apresiasi
[sunting] Biografi dalam seni
Poster Film Tjoet Nja' Dhien
Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Rudy Wowor sebagai Snouck Hurgronje dan Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar. Film ini memenangi Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Biografinya juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak Ananda.
[sunting] Pengabadian
* Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.
* Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp. 10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
* Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
* Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.
[sunting] Lihat pula
* Perang Aceh
* Teuku Umar
* Tokoh Indonesia
* Tjoet Nja' Dhien
[sunting] Referensi
[sunting] Catatan kaki
1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Tjoet Njak Dien (Cut Nyak Dhien).
2. ^ a b c d e f g h i j k Armand, Deddi. Cut Nyak Dien. Penerbit: Pustaka Ananda
3. ^ a b Tentang Cut Nyak Dien di tokohindonesia.com
4. ^ a b Tentang Cut Nyak Dhien di situs resmi pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
5. ^ Sudarmanto, Y.B. 1999. Jejak Pahlawan Indonesia. Penerbit: Grasindo.
6. ^ a b c d e f g h sinarharapan.co.id: Makam Cut Nyak Dhien Sepi Akibat Perang Saudara
[sunting] Daftar pustaka
* Armand, Deddi. Cut Nyak Dien. Penerbit: Pustaka Ananda.
* Sudarmanto, Y.B. 1999. Jejak Pahlawan Indonesia. Penerbit: Grasindo.
* Muhazir. 1984 .Pahlawan Repulusi Aceh
[sunting] Pranala luar
* (id)Biografi Cut Nyak Dhien di tokohindonesia.com
* (id)Biografi Cut Nyak Dhien di Website Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam |
|
|
|
|
|
|
|
Reply #9 HangPC2's post
thanx abg pc.... |
|
|
|
|
|
|
|
tabik pada org2 indonesia, sebab jatidiri mereka kuat sampai sekarang. tgokla kalau apa2 berlaku kat org mereka habis keluar demo, bakar bendera, artis2 luar mereka tak layan sgt. beza dgn malaysia, jatidiri kurang , kurang patriotik, dah kemerdekaan indonesia ditegakkan dgn darah pejuang2 mereka |
|
|
|
|
|
|
|
Originally posted by sekngucing at 7-11-2008 08:07 PM
tabik pada org2 indonesia, sebab jatidiri mereka kuat sampai sekarang. tgokla kalau apa2 berlaku kat org mereka habis keluar demo, bakar bendera, artis2 luar mereka tak layan sgt. beza dgn malay ...
alaa....orang indonesia org malaysia jugak, orang malaysia orang indonesia jugak...darah, budaya dan kulit semua sama cuma bendera,kerajaan,kepercayaan serta sikap jer yg berbeza...huhuhuhuh |
|
|
|
|
|
|
|
nama mereka mesti bunyi pelik sikit...ade tak nama macam org melayu sikit...Cut Nyak Dien..
kalau dlm dailek kelantan
cut----->biar atau kendurkan
nyak---->nyek atau tekan tindih (nafas lemah atau mengah...nyak-nyak)
dien----> ini macam sleng mat salleh sebut diam !
|
|
|
|
|
|
|
|
pernah tengok citer ni dulu, rasanya ada dalam bentuk VCD...ini kira-kira macam srikandi Acheh menentang penjajahan. |
|
|
|
|
|
|
|
askar2 yang diupah belanda utk perang aceh ni pon adalah orang indonesia sendiri, jadi aku tak heran la kalau ade pemberontakan kat sana.
Tapi sejarah menunjukkan jugak yang the same thing pernah jadi kat malaysia. tak salah aku polis2 yang lawan dengan tok janggut dulu pun orang melayu jugak.. |
|
|
|
|
|
|
|
Marechaussee (1904)
kebanyakan Marechaussee nih dari Orang Kristian Ambon, Batak, Madura dan Jawa.... dikenali sebagai '' Black Dutch '' |
|
|
|
|
|
|
| |
|