View: 3289|Reply: 1
|
Pasundan - Negeri Sanghyang Keresa dan Batara Tunggal
[Copy link]
|
|
Negeri Sunda...Berbangga Tanpa Candi
Muhammad Tamim Pardede
Fa-Hien menyebut keyakinan orang sunda asli sebagai “agama yang buruk” seperti tertuang dalam laporan berita Cina. Ungkapan “agama yang buruk” oleh Fa-Hien ini merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang yang taat pada suatu agama terhadap orang yang beragama lain.
Sebelum pengaruh hindu dan budha di Sunda, orang-orang Sunda telah mengenal tauhid. Stratifikasi sosial yang kastaistis para ningrat kerajaan telah membentuk pula system tata pemerintahan yang cukup baik Dalam konsepsi keyakinan orang Sunda pra hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah SANG PENCIPTA ( SANGHYANG KERESA ) dan YANG ESA ( BATARA TUNGGAL ) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. HYANG menguasai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. HYANG dihayati sebagai MAHA PENCIPTA dan PENGUASA TUNGGAL di alam. Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu ALLAAH, ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah HYANG (YANG TUNGGAL) sama dengan shalat menyembah ALLAAH YANG MAHA ESA dalam Dinul Islam. Baru setelah pada masa masuknya pengaruh hindu dan budha, konsep ke-esa-an HYANG yang selama ini terpelihara mulai mengubah faham monoteistis ini.Kedua keyakinan ini kemudian mengalami proses sinkretisasi.
Tergambar sanagt jelas dalam hirarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya sebagai berikut : “Anak satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu nanganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka Dewata; Dewata satia babakti ka HYANG.” Konsep HYANG merupakan konsep yang memang sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum adanya pengaruh Hindu dan Budha.
Konsep kahiyangan/ alam langit (pada Islam semacam al ‘Arsy) sangat abstrak alias tidak menyebut tempat fisik dan bangunan sebagai tempat khusus untuk melakukan ritual ibadah di suatu tempat di bumi. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam mulai dari para dewa lokapala , sampai pwah sanghyang sri, pwah naga nagini dan pwah soma adi yang menghuni jungjunan bwana ,bagi tradisi orang Sunda menyembah HYANG adalah salah alasan yang bisa menjelaskan dengan pasti atas kelangkaan candi di wilayah Sunda Priangan. Tradisi sesembahan orang Sunda pra hindu-budha tidak terpusat di candi tapi menyembah HYANG di kahiyangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap HYANG yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagai mana di tempat lain. Adapun satu dua ‘candi’ kecil yang ditemukan di Jawa Barat tampaknya sengaja dibangun lebih sebagai simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari Kerajaan Sunda.
Pada masyarakat Sunda, pola seperti god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan alam berfikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan mutlak karena dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi tidak ditemukan. Berbeda dengan kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai kebudayaan feodal yang hirarkis. Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran yang berfungsi sentral baik dalam agama, politik dan kebudayaan. sementara kebudayaan Sunda adalah kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan kesamaan derajat antar insan. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang tidak hierarkis pada masa pra-Mataram seperti terlihat dalam undak-usuk sekarang. Maka dari itu di Sunda raja tidak perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan Candi yang eksklusif dan kokoh jauh dari rakyatnya.
Keberadaan berdasarkan fungsi candi sebagai monumen kekuasaan sang raja seperti ini tidak ditemukan di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar Sunda hanya satu yaitu Kerajaan Sunda, cuma pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu. Tetapi –paling tidak hingga saat ini— keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, candi di Batujaya Karawang dan di Bojongmenje Rancaekek, Bandung, selain proses rekonstruksinya masih kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. Dengan demikian, kekuasaan tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di tatar Priangan.
Juga tidak seperti dalam seni pewayangan pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup beragama,berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etis yang menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan slogan ningrat dan wong cilik tadi.
Sedangkan pada masyarakat Sunda, seni pewayangan lebih sekedar merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan dengan etika Hindu-Budha seperti yang ditayangkan dalam pewayangan yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat egalitarian masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat inilah yang justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran TauhiduLLAAH baru yang sesuai dengan kultur dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa.
Maka daripada itu masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” kelangkaan candi di Jawa Barat selama ini sebagai sebuah indikasi rendahnya peradaban atau sebaliknya banyaknya candi sebagai indikasi prestasi peradaban. Persepsi ini justru sebuah sikap “minder kebudayaan” (cultural inferiority complex) dihadapan kebudayaan lain, justru sebaliknya ketika kelompok lain masih tenggelam dalam keawaman dan kesyirikan penyembahan terhadap yang selain ALLAAH, sementara itu pula kebudayaan Sunda memiliki sistem sosial kebudayaan sendiri yang sesungguhnya lebih berorientasi nilai-nilai, relijiusitas yang tepat dan logika. sesuai dengan kecenderungan kuat konsep keyakinanya yang monoteistik, tradisi pola komunikasi yang merakyat antara penguasa dan rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal yang sangat bersesuaian dengan Islam, kelangkaan dan bahkan ketiadaan candi di Tatar Sunda memang sebuah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Sunda. |
|
|
|
|
|
|
|
Manusia di nilai atas ketakwaan kepada Allah! |
|
|
|
|
|
|
| |
|