CariDotMy

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

Author: thessailly

Kawruh @ Falsafah Jawa

[Copy link]
Post time 30-6-2010 06:30 PM | Show all posts
Reply  nobito

haha..ok la..aku yg stress..at least dlm stress aku pun ada gak bagi link yg suppo ...
thessailly Post at 30-6-2010 18:01


Hummm..Raja sendiri x kenal ke???
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 30-6-2010 06:36 PM | Show all posts
tong tong tong tong tong!!!!
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 30-6-2010 09:08 PM | Show all posts
Reply 202# thessailly


tetiba teringat kat naen..  dia ni sungguh bijak n 'bercahaya' n degil...... weh naen..meh la bagi pendapat barang sepam dua...

-try panggil dia guna telepati..
n a e n !!!
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 1-7-2010 11:50 AM | Show all posts
nampaknya di tak peduli..hmm....tak kisah la..sambung;
(ini sambungan kepada definisi kejawen (post# 187 - penulis yg sama, blog yg sama)



Kejawen, Ritual, Klenik, dan Penyelewengan-penyelewengan itu


Namun, pola hidup ini tidak identik dengan ritual. Orang yang ingin hidup bersahaja hanya perlu menerapkan kebersahajaan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak perlu dilalui dengan ritual tertentu yang berpeluang menjadi topeng kepalsuan. Ritual berbagi rejeki untuk saling membantu, hanya akan menjadi kepalsuan bila dalam kesehariannya dikenal sebagai orang yang pelit dan kikir.

Justru ritual-ritual yang palsu seperti ini pada dasarnya bukan asli Jawa, melainkan bawaan dari budaya asing melalui asimilasi budaya Hindu, Budha, dan Islam. Bahkan budaya Kristen pun ikut-ikutan berasimilasikan dan mengaku sebagai budaya Jawa, dan dapat dilihat di berbagai wilayah di sekitar Magelang atau Kediri.




Ritual-ritual hasil asimilasi ini yang seringkali tidak dipahami "filsafat dan ilmu"-nya oleh orang Jawa, sehingga terjadilah ritual-ritual tanpa ilmu yang akhirnya menjadi klenik. (Tentang klenik, ada di posting sebelumnya)
Tanpa landasan pemahaman ilmu dan filsafat yang melatarbelakanginya, pehamanan akan bergeser. Jika ingin menempa diri agar kuat dan peka, maka pemahaman atas "kuat" ini menjadi bermacam-macam. Lelaku prihatin yang awalnya agar menjadi kuat dalam menjalani hidup (kuat mental, kuat jiwa, kuat spiritual, kuat keyakinan, kuat dalam niat dan kemauan, sembada, kuat dalam pengendalian diri, dan seterusnya), termasuk kuat dalam arti fisik (kekuatan olah ragawi dan kekuatan hasil olah kanuragan), kemudian bergeser hanya satu sisi saja, misalkan hanya dipahami kuat dalam arti olah kanuragan. Akhirnya, proses lelaku yang dijalani pun menjadi berbeda niatnya, dan lahirlah klenik.

Ketika hidup bersama alam, ditemukan adanya keseimbangan dan kehamonisan, dan ini yang kemudian menjadi landasan dalam tatanan kehidupan, hidup yang harmonis. Dalam usaha untuk memahami kehidupan, masyarakat Jawa menemukan bahwa kehidupan itu tidak lepas dari hidup bermasyarakat. Sehingga, penghormatan atas hadirnya individu lain, kesantunan, dan hidup saling membutu*kan adalah syarat untuk harmoni dalam masyarakat. Sikap hidup yang sesungguhnya menggambarkan adanya sikap egaliter dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Namun, ada beberapa hal yang kemudian dipahami secara salah. Hamonis kemudian dipahami secara salah menjadi antikonflik. Menghormati orang lain dipahami secara salah menjadi rendah diri yang berlebihan dan penjilatan kepada yang lebih berkuasa atau berharta.

Peka berarti harus memahami segala sesuatu yang tidak biasa, agar kemudian bisa mawas diri. Ketika ada suatu kesalahan yang dilakukan, dan orang-orang di sekitarnya justru diam, harus bisa dipahami bahwa sikap diam itu adalah cara agar pelaku kesalahan menjadi peka atas apa yang telah dilakukannya. Mendiamkan ini adalah upaya untuk memperkecil konflik. Jika tidak peka, maka hal itu dianggap sebagai hal yang menyakitkan bagi orang lain. Semacam "kebangetan banget, sih. Kok tidak sadar juga". Untuk mereduksi konflik, sering kali orang Jawa bersikap: "ngalah, ngalih, ngamuk". Pertama kali adalah mengalah, mendiamkan agar tidak terjadi konflik yang tidak perlu. Jika masih belum sadar, maka "ngalih", menghindari, agar emosi tidak merusak suasana. Kemudian, jika masih belum sadar, langkah tegas diperlukan untuk itu, walau tidak harus berari "mengamuk".
Pemahaman yang salah terhadap hal ini juga sering terjadi, dan dikenalah orang Jawa secara salah sebagai orang yang pendiam, tetapi pendendam. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa dibalik sikap yang rendah hati dan menghormati, tersimpan pula sifat kasar dan ganas. (Mungkin pada dasarnya orang Jawa memang kasar dan ganas, dan oleh sebab itu ada kejawen untuk meredam dan mengarahkan)
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 1-7-2010 11:58 AM | Show all posts
Dalam mawas diri dan pembentukan kepekaan diri, dikenal ada istilah "guru sejati". Guru adalah yang dianggap mampu mendidik dan mengarahkan, dan guru yang harus bisa mendidik dan mengarahkan adalah diri pribadi. Guru sejati menjadi semacam "alter ego" yang mengawasi dan melakukan pengarahan terhadap "alter ego" yang lain. Dalam klenik, guru sejati hanya dipahami sebagai pembentukan "sosok lain", yang kemudian bersinggungan dengan "raga sukma", maupun kemunculan "kembaran" di tempat lain pada saat bersamaan.

Kepekaan diasah dengan usaha untuk bisa ikut merasakan sebagaimana yang dirasakan oleh yang lain. Kebersahajaan (meninggalkan kemewahan) dan lelaku prihatin (merasakan lapar dan kesusahan hidup), merupaan upaya untuk itu. Namun, kemudian muncul ritual-ritual, seperti bertapa dan berbagai jenis puasa (ngebleng, pati geni, mutih, ngrowot, dan seterusnya), yang jelas-jelas merupakan asimilasi dari budaya asing. Karena sebenarnya lelaku itu adalah keseharian, bukan ritual. Ritual yang dilakukan secara rajin, tetapi dalam keseharian masih bergelimang kemewahan dan tidak peduli akan kesusahan hidup yang dialami yang lain, hanyalah berupa topeng kepalsuan, dan tidak akan mengupayakan kepekaan.

Kepekaan diasah pula dengan mendekatkan diri dengan alam, agar bisa menangkap tanda-tanda yang diberikan oleh alam. Salah satu hasil mengasah kepekaan ini adalah "ilmu titen", yang "niteni", meneliti, mencermati berbagai tanda-tanda. Ilmu titen ini akan menjadi klenik, jika hanya didasarkan atas hitung-hitungan saja, sedangkan tanda-tanda alam tidak lagi dicermati.

Hal yang praktis dalam "titen" ini adalah, orang Jawa biasanya memetakan posisi dalam arah mata angin. Sehingga wajar jika menjelaskan posisi dalam arah mata angin ("lor"/ utara, "kidul"/ selatan, "wetan"/ timur, dan "kulon"/ barat) dan bukan dalam arah kiri atau kanan. Misalkan untuk lokasi rumah, maka bisa dijelaskan menjadi: dari perempatan terminal, ke utara, kemududian ada belokan, ke barat sedikit terus ke utara lagi. Sayangnya, seringkali jika tidak paham arah mata angin, maka akan merasa bingung dan disorientasi lokasi.

"Titen" yang lain, adalah memahami waktu tanpa bantuan jam. Jika pada siang hari hal ini dapat dilakukan dengan bantuan matahari, maka di saat malam hari pemahaman waktu dilakukan dengan mencermati kondisi alam dan isinya, misalkan perilaku binatang, perilaku orang-orang, perubahan suhu, angin, atau cuaca. Akan sangat kelihatan ketika berada di wilayah yang jauh dari keramaian. Jam 8 malam biasanya bayi/ anak kecil sudah tidur, jam 10 malam angin mulai reda (bila ada obor penerangan, api dan asap mulai lurus ke atas), jam 2 pagi suhu udara mulai turun secara signifikan, dan seterusnya.

Untuk urusan bercocok tanam, karena sangat ditentukan oleh musim, perubahan-perubahan kondisi alam menjadi hal yang dicermati, misalkan untuk memperkirakan kedatangan musim hujan, musim angin digunakan sebagai tanda, dan jika musim angin sudah mulai reda, maka musim hujan akan segera tiba. Musim kemarau biasanya ditandai dengan perilaku hewan "gareng pung", sebagaimana orang Jepang menandai musim semi berdasar perilaku cenggeret, hewan yang sejenis. Pendanaan-penandaan musim ini kemudian diwujudkan dalam sisem kalendar, dan Jawa adalah salah satu dari sedikit suku bangsa di dunia yang memiliki sistem kalendar sendiri (walau pada perkembangannya mengalami asimilasi dengan budaya lain), selain bahasa dan tulisan tersendiri. Namun, jika hanya menyandarkan diri pada perhitungan-perhitungan, dan tidak lagi mencermati tanda-tanda alam, maka terlahirlah lagi klenik, ritual-ritual yang meninggalkan filosofi dan ilmu yang melandasinya.

Mendekatkan diri dengan alam adalah upaya untuk mengasah kepekaan juga, agar mampu hidup harmonis dengan alam dan untuk keperluan-keperluan praktis, misalkan untuk orientasi lokasi, orientasi waktu, dan keperluan pertanian.

link - google -> odydasa.
----------------------------------------------------------------------------
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 2-7-2010 07:00 PM | Show all posts
Post Last Edit by thessailly at 2-7-2010 19:03

Sastra Jendra Hayuningrat

Menurut Ronggo Warsito, sastra jendra hayuningrat adalah jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan hidup. Apabila semua orang di dunia ini melakukannya, maka bumi akan sejahtera.


Nama lain dari sastra jendra hayuningrat adalah sastra cetha yang berarti sastra tanpa papan dan tanpa tulis. Walaupun tanpa papan dan tulis, tetapi maknanya sangat terang dan bisa digunakan sebagai serat paugeraning gesang.


Ada 7 macam tahapan bertapa yang harus dilalui untuk mencapai hal itu.

1. Tapa Jasad:
Tapa jasad adalah mengendalikan atau menghentikan gerak tubuh dan gerak fisik. Lakunya tidak dendam dan sakit hati. Semua yang terjadi pada diri kita diterima dengan legowo dan tabah.

2. Tapa Budhi:
Tapa Budhi memiliki arti menghilangkan segala perbuatan diri yang hina, seperti halnya tidak jujur kepada orang lain.

3. Tapa Hawa Nafsu:
Tapa Hawa Nafsu adalah mengendalikan nafsu atau sifat angkara murka yang muncul dari diri pribadi kita. Lakunya adalah senantiasa sabar dan berusaha mensucikan diri,mudah memberi maaf dan taat pada GUSTI ALLAH kang moho suci.

4. Tapa Cipta:
Tapa Cipta berarti Cipta/otak kita diam dan memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh atau dalam bahasa Jawanya ngesti surasaning raos ati. Berusaha untuk menuju heneng-meneng-khusyuk-tumakninah, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan siapapun dan selalu heningatau waspada agar senantiasa mampu memusatkan pikiran pada GUSTI ALLAH semata.

5. Tapa Sukma:
Dalam tahapan ini kita terfokus pada ketenangan jiwa. Lakunya adalah ikhlas dan memperluas rasa kedermawanan dengan senantiasa eling pada fakir miskin dan memberikan sedekah secara ikhlas tanpa pamrih.

6. Tapa Cahya:
Ini merupakan tahapan tapa yang lebih dalam lagi. Prinsipnya tapa pada tataran ini adalah senantiasa eling, awas dan waspada sehingga kita akan menjadi orang yang waskitha (tahu apa yang bakal terjadi).

Tentu saja semua ilmu yang kita dapatkan itu bukan dari diri kita pribadi, melainkan dari GUSTI ALLAH. Semua ilmu tersebut merupakan 'titipan', sama dengan nyawa kita yang sewaktu-waktu bisa diambil GUSTI ALLAH sebagai si EMPUNYA dari segalanya. Jadi tidak seharusnya kita merasa sombong dengan ilmu yang sudah dititipkan GUSTI ALLAH kepada kita.

-----------------------------------------------------------------------------------------

*dia cakap ada 7..tapi yg diberi 6 aje..mungkin yg satu lagi tu rahsia, @ dia tersilap.. (dia = penulis blog)
Reply

Use magic Report

Follow Us
 Author| Post time 7-7-2010 01:57 PM | Show all posts
sempena post #2000



selepas 4 tahun, selepas beribu2 page yg aku baca, SELEPAS #2000 POST,.. selepas byk kredit2 yg dipotong..hahaha.. i'm at this point.
terimas kasih CARI.com.my
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT


Forum Hot Topic

 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

19-12-2024 07:23 AM GMT+8 , Processed in 0.046604 second(s), 18 queries , Gzip On, Redis On.

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list