|
haluuu...aku kurang berpengetahuan tentang hal peristiwa/tragedi mihnah nih.yang aku tahu cuma general knowledge je pasal peristiwa nih iaitu antara muktazillah dengan ahlul sunni.
kalau boleh nk taw detail lagi semasa peristiwa tersebut berlaku,kenapa,bagaimana,apakah..dan jugak kesan2 terhadap umat islam secara umum..
harap otai bod ni dapat membantu.... |
|
|
|
|
|
|
|
Reply 1# 5229
Pada abad ke-8 M/1 H, di kalangan umat Islam, khususnya penganut aliran Khawarij dan Murjiah terjadi perdebatan yang sangat sengit. Khawarij adalah sekte atau aliran ketiga dalam Islam, di luar Suni dan Syiah. Sedangkan, aliran Murjiah merupakan aliran Islam yang tak sepaham dengan sekte Khawarij.
Kedua aliran dalam Islam itu berdebat tentang status seorang mukmin yang berdosa besar. Kalangan penganut Khawarij berpendapat, seorang Muslim yang berdosa besar (kabirah) adalah murtad dari Islam dan tak boleh lagi berada di bawah perlindungan hukum Islam. Sekte ini berpendapat Muslim yang berada di luar Khawarij adalah kafir.
Pendapat itu ditentang oleh ulama dan pengikut aliran Murjiah. Menurut pandangan aliran ini, seorang Muslim yang berdosa besar tetaplah seorang Muslim, bukan kafir. Dalam pandangan aliran ini, yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT.
Di tengah perbedaan yang sangat sengit dan kontroversial itu, muncullah seorang ulama bernama Wasil bin Ata, seorang murid dari ulama terkemuka di Basra, Irak, yang bernama Hasan al-Basri. Ia berpendapat bahwa seorang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir.
"Tegas, orang itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya," tegas Wasil bin Ata, seperti ditulis Ensiklopedi Islam. John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford, menyebutkan, kelompok teolog yang dirintis Wasil bin Ata itu berpendapat, di tengah-tengah pendapat Khawarij dan Murjiah.
Wasil bin Ata berpendapat, di akhirat kelak, orang Muslim yang berdosa besar tak ada tempat di antara surga dan neraka, sehingga dimasukan ke dalam neraka, tetapi siksaannya lebih ringan dari siksaan terhadap orang kafir. Dengan doktrin itulah, Wasil bin Ata mendirikan aliran Muktazilah pada 100 H/718 M.
Istilah Muktazilah, menurut Imam As-Syahristani, muncul dari ucapan guru Wasil bin Ata, yakni Hasan al-Basri. Setelah melontarkan pendapat untuk menengahi perselisihan antara Khawarij dan Murjiah, Wasil lalu meninggalkan gurunya dan membentuk kelompok sendiri.
Hasan al-Basri berkata, "I'tazala'anna Wasil (Wasil menjauhkan diri dari kita)." Menurut as-Syahristani, istilah Muktazilah lahir dari ucapan Hasan al-Basri. Sehingga, Muktazilah diartikan sebagai orang yang memisahkan diri, tetapi tak selalu berarti memisahkan diri secara fisik.
"Muktazilah juga dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya, karena pendapatnya memang berbeda dengan pendapat sebelumnya," tulis Ensiklopedi Islam. Aliran ini dikenal bersifat rasional dan liberal. Pandangan-pandangan teologisnya ditunjang oleh dalil-dalil akal.
Aliran ini sempat memiliki pengaruh yang besar pada abad ke-8 M hingga ke-10 M. Muktazilah berkembang ketika peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya di era keemasan Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Kontribusi aliran ini terhadap kemajuan dunia Islam dalam berbagai bidang, tak bisa dinafikan. Begitu Dinasti Buwaihi ambruk, aliran itu pun tergeser dari panggung sejarah. -republika.co.id-
Sumber : http://www.rumahsakinah.com/ruang-tamu/177-muktazilah-apa-dan-siapa-bag1-.html
|
|
|
|
|
|
|
|
DOKTRIN DAN AJARAN MUKTAZILAH
Lawan aliran Muktazilah menyebut kelompok itu sebagai golongan Free Will dan Free Act karena mereka dianggap menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.
Muktazilah dikenal sebagai aliran teologis Islam yang paling rasional. Betapa tidak, pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak menggunakan dalil-dalil 'aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis. Tak heran jika aliran ini kerap disebut sebagai aliran rasionalis Islam.
"Selain dikenal sebagai Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl at-Tauhid (golongan pembela tauhid) atau Ahl al-Adl (pendukung paham keadilan Tuhan,'' tulis Ensiklopedia Islam. Ada pula yang menjulukinya sebagai kelompok Kadariah.
Sedangkan, lawan aliran teologi itu menyebutnya sebagai golongan Free Will dan Free Act karena mereka dianggap menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat. Muktazilah memiliki lima ajaran dasar dan doktrin yang sangat populer dan menjadikannya berbeda dengan aliran teologis yang lain.
Pertama, at-Tauhid ( Tauhid), yaitu meyakini sepenuhnya tentang keesaan Allah SWT. Menurut Muktazilah, Dia merupakan Zat yang unik dan tidak ada satu pun di dunia ini yang serupa dengan-Nya. Para penganut Muktazilah menegasikan atau menafikan segala sifat yang sering disematkan pada Tuhan.
Maksudnya, Tuhan tidak memiliki sifat yang berdiri di luar Zat-Nya. Sifat-sifat itu dianggap bisa membawa pada adanya yang kadim selain Tuhan sehingga sifat-sifat apa pun yang coba dilekatkan oleh golongan atau penganut mazhab lain pada Zat Tuhan dianggap oleh golongan Muktazilah sebagai bukan sifat Tuhan.
Kalau Tuhan dikatakan mempunyai sifat Maha Mengetahui, dalam pandangan Muktazilah Maha Mengetahui itu bukan sifat-Nya, melainkan Zat-Nya. Karena sangat tegas menolak adanya sifat pada Tuhan itu, kaum Muktazilah menganggap konsep tauhid merekalah yang paling murni sehingga mereka menyebut diri mereka sebagai Ahl at-Tauhid (pembela tauhid).
Selain menolak adanya sifat pada Tuhan, paham Muktazilah menegasikan antropomorfisme Tuhan. Menurut pengikut aliran ini, Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya (seolah-olah memiliki tangan dan muka). Jadi, tidak mengherankan jika ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat tajasum) harus ditakwilkan sedemikian rupa. Karena tidak bisa dipersamakan dengan makhluk-Nya, paham ini menganggap Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala ketika manusia sudah berada di akhirat kelak.
Kedua, al-'Adl (keadilan). Muktazilah memandang bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim kepada hamba-Nya. Prinsip ini didefinisikan bahwa semua perbuatan-Nya adalah baik. Dia tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak baik.
Tuhan wajib berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia. Salah satu di antaranya adalah Tuhan tidak boleh memberi beban yang terlalu berat kepada manusia. Tuhan juga wajib mengirimkan rasul dan nabi-nabi untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi. Serta, Tuhan wajib memberikan daya kepada manusia agar dapat mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dari prinsip itulah muncul ajaran as-salah wa al-aslah.
Menurut aliran Muktazilah, Allah tidak berdusta dalam firman-Nya dan kedustaan tidak boleh menjadi hukum-Nya. Allah tidak menyiksa anak-anak orang musyrik karena dosa orang tuanya. Allah tidak memberikan mukjizat kepada orang-orang yang banyak berdusta. Allah pasti memberikan balasan yang baik kepada manusia yang menjalankan kewajibannya secara baik dan benar.
Aliran ini juga memandang bahwa rasa sakit dan sakit yang ditimpakan Allah atas orang mukalaf adalah untuk kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau tidak, Dia berarti telah meninggalkan kewajiban-Nya. Pandangan Allah tentang hamba-Nya mengenai hal-hal yang berkenaan dengan agama, tugas, serta kewajiban adalah lebih baik daripada pandangan mereka sendiri mengenai hal itu.
Ketiga adalah al-Wa'd Wa al-Wa'id (janji dan ancaman). Prinsip ini didefinisikan bahwa Allah berjanji untuk memberikan ganjaran kepada orang yang taat dan mengancam untuk menyiksa orang-orang yang durhaka. Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga dan menepati ancamannya mencampakkan orang kafir dan orang berdosa besar ke dalam neraka.
Dalam pandangan aliran ini, meskipun Tuhan sanggup memasukkan orang berdosa besar ke dalam surga dan menjerumuskan orang mukmin ke dalam neraka, Allah mustahil melakukan itu karena bertentangan dengan keadilan-Nya.
Paham ini erat kaitannya dengan pandangan mereka bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya melalui daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian, konsekuensinya manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika mereka ingkar dan berbuat dosa, ancamannya adalah neraka, tetapi jika mereka beriman dan berbuat baik, surga ganjarannya.
Kempat adalah al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi). Prinsip ini muncul setelah terjadinya perbedaan pendapat antara Wasil bin Ata dan gurunya Hasan al-Basri. Perbedaan pendapat itu terkait posisi seseorang yang telah melakukan dosa besar.
Menurut sang guru, orang tersebut dianggap munafik sekaligus fasik, bahkan bisa dianggap kafir sehingga ia harus dikeluarkan dari komunitas masyarakat Muslim. Namun, bagi kelompok Muktazilah, orang yang berdosa besar bukan termasuk kafir dan bukan pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya. Posisi itu disebut fasik.
Muktazilah meyakini bahwa orang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi karena telah menyimpang dari ajaran Islam, tapi belum bisa digolongkan kafir karena masih memercayai Allah SWT dan rasul-Nya. Jika orang fasik ini meninggal dalam keadaan belum bertobat, dia akan dicampakkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya. Namun, siksaan yang diberikan lebih ringan dibandingkan dengan siksaan terhadap orang kafir.
Kelima, al-Amr bi al-ma'ruf wa an-nahy'an al-munkar (perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat). Setiap Muslim, menurut Muktazilah, wajib melakukan perbuatan yang makruf serta menjauhi perbuatan yang mungkar. Berpegang pada doktrin ini, pernah suatu waktu kaum Muktazilah memaksakan pendapat bahwa Alquran merupakan makhluk dan diciptakan Tuhan. Dan, Alquran tidak kadim. Siapa pun yang menentang pendapat tersebut wajib dihukum. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan peristiwa mihnah.
Itulah kelima pokok ajaran dan doktrin aliran teologis Muktazilah yang dibentuk Wasil bin Ata. Meski begitu, penjelasan dan interpretasi terhadap masing-masing doktrin bisa berbeda karena Muktazilah mendasarkan pola ajaran yang memberikan peranan besar pada akal manusia. ed; heri ruslan
|
|
|
|
|
|
|
|
Pusat pengembangan aliran Muktazilah terdapat di dua kota utama di Irak, yakni Basra dan Baghdad. Muktazilah sendiri muncul atau dicetuskan di Basra. Di Kota Basra, aliran Muktazilah dikembangkan oleh Wasil bin Ata, Amr bin Ubaid, Abu Huzail al-Allaf, an-Nazzam, al-Jahiz Abu Usman bin Bahar, dan al-Jubba'i.
Sedangkan di Baghdad, Muktazilah dikembangkan oleh Mu'ammar bin Abbad, Bisyr al-Mu'tamir, Abu Musa al-Murdar, Hisyam bin Amr al-Fuwati, Sumamah bin Asyras, dan al-Khayyat. Berikut ini beberapa ulama yang mengembangkan aliran Muktazilah:
" Wasil bin Ata
Dialah orang yang meletakkan dasar Muktazilah. Tiga ajaran pokok yang dipopulerkannya adalah paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariah (paham yang diambil dari dua tokoh aliran Kadariah, Ma'bad dan Gailan), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Terkecuali paham Kadariah, semuanya masuk menjadi doktrin dasar paham Muktazilah.
" Abu Huzail al-Allaf
Ia merupakan seorang filsuf Islam. Pengetahuannya itu memudahkannya untuk menyusun ajaran Muktazilah yang bernuansa filsafat. Di antara karyanya adalah penjabarannya tentang nafy as-sifat, yaitu tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan. Sifat itu justru akan memunculkan banyak kadim, yang pada akhirnya dianggap membawa kemusyrikan.
" An-Nazzam
Ia adalah tokoh yang sempat melontarkan pendapat terpenting dalam konsep keadilan Tuhan. Menurut dia, Tuhan itu Mahaadil, Dia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Selain berpendapat soal konsep keadilan Tuhan, dia juga mengungkapkan pemikirannya tentang mukjizat Alquran yang justru terletak pada kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa) dan balagah (retorika).
" Mu'ammar bin Abbad
Ia merupakan pendiri Muktazilah di Baghdad. Pendapatnya yang penting adalah tentang kepercayaan pada hukum alam. Yaitu, Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al'arad (sesuatu yang datang pada benda-benda) adalah hasil dari hukum alam. Menurut dia, sebuah batu yang dilempar ke dalam air, gelombang yang tercipta adalah hasil dari kejadian itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
" Bisyr al-Mu'tamir
Ia dalah tokoh yang mengungkapkan pendapat tentang pertanggungjawaban perbuatan manusia. Baginya anak kecil tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena belum mukalaf. Menurut dia, seseorang yang berdosa besar lalu bertobat, tetapi melakukan dosa besar lagi, ia akan mendapatkan siksa ganda di akhirat.
" Sumamah bin Asyras
Ia merupakan tokoh golongan Muktazilah yang berpendapat bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya karena dalam dirinya telah tersedia daya untuk berbuat. Tentang daya akal, ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum turunnya wahyu dapat mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui perbuatan baik serta perbuatan buruk. Wahyu turun untuk memberikan konfirmasi.
(-) ed; heri ruslan -republika.co.id-
Sumber : http://www.rumahsakinah.com/ruang-tamu/178-doktrin-dan-ajaran-muktazilah-bag2-.html
|
|
|
|
|
|
|
|
so yg mana yg betul yg mana yg salah? |
|
|
|
|
|
|
|
bab ni yg aku malas nih..... |
|
|
|
|
|
|
|
bab ni yg aku malas nih.....
AbukRokok Post at 20-12-2011 22:53
awat malas abu? |
|
|
|
|
|
|
|
7teen Post at 20-12-2011 14:05
thenkiu 17 jadik bila berlkunya peristiwa mihnah nih?sapa yg mencetuskannya?kenapa sunni hebat menentang aliran nih? |
|
|
|
|
|
|
|
so yg mana yg betul yg mana yg salah?
masa_lalu Post at 20-12-2011 20:22
itulah..moh kita sama2 rungkaikan.. |
|
|
|
|
|
|
|
Reply 8# 5229
Kekalahan Khalifah terakhir Bani Umayyah Marwan bin Muhammad ( 127 - 132 H / 744 – 749 M ) pada pertempuran di sungai Zab, antara Mosul dan Arbil, 131 H / 748 M, menandakan berakhirnya dinasti Umayyah. Berdirilah Khilafah baru Bani Abbasiyah yang memberikan angin segar bagi perkembangan gerakan Mu'tazilah.
Aliran Mu'tazilah mencapai puncak keemasan pada zaman Khalifah Al-Ma'mun ( 198 – 219 H / 813 – 833 M ) yang kemudian berlanjut dengan Al-Mu'tashim ( 218 – 227 H / 833 – 841 M )dan Al-Watsiq ( 227 – 232 H / 841 – 846 M ), ketika aliran ini menjadi ideologi dan faham keagamaan resmi pemerintah. Kebijaksanaan Al-Ma'mun mendirikan Bait-al-Hikmah sebagai pusat kegiatan ilmiyah, mulai dari penerjemahan karya-karya Yunani kuno sampai pengkajian-pengkajian keilmuwan, telah membuat tumbuh dan berkembangnya pemikiran-pemikiran spekulatif.
Bersamaan dengan kecemerlangan bangkitnya kebebasan pemikiran liberal dan rasional, pada masa ini pulalah terjadi peristiwa memalukan, karena berlawanan dengan semangat liberal Mu'tazilah itu sendiri, yaitu mihnah ( inkuisisi ). Para para Qadhi atau hakim agama diperiksa. Orang yang mengakui Al-Quran itu qadim dianggap musyrik sehingga tidak berhak menjadi hakim. Ini pun berlaku bagi para saksi di pengadilan, yang tidak mengakui Al-Quran adalah mahluk tidak diterima kesaksiannya. Beberapa pemuka agama yang berpegang pada keqadiman Al-Quran akhirnya dibunuh. Di antara korban tindak represif rejim Abasiyah adalah imam para muhadditsin, yaitu Imam Ahmad bin Hambal. Beliau mengalami penyiksaan yang mengerikan dan dipenjara agar mengakui kemahlukan Al-Quran. Dengan keberanian dan keteguhannya beliau mempertahankan keyakinannya. Sikap Imam Ahmad ini menarik banyak pengikut dari kalangan orang-orang yang tidak sepaham dengan Mu'tazilah. Hal ini membahayakan, tetapi tidak ada yang berani membunuh Imam Ahmad bin Hambal.
Pendulum sejarah bergeser, Khalifah ke-10 Abbasiyah Ja'far Al-Mutawakkil ( 232 – 247 H / 846 – 861 M ) membatalkan pemakaian aliran Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara. Selesailah riwayat mihnah. Selanjutnya pengaruh Mu'tazilah semakin menurun. Peristiwa mihnah itu benar-benar merugikan Mu'tazilah. Apalagi mereka terkenal meragukan keoriginalan tradisi Nabi SAW dan shahabat sehingga tidak berpegang pada teguh padanya telah menimbulkan paradigma umum bahwa Mu'tazilah sama sekali berseberangan golongan ahli hadits yang menamakan dirinya juga Ahli Sunnah wal jama'ah. Titik balik ini, dengan dibatalkannya aliran Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara, menjadi akhir bagi Mu'tazilah sebagai sebuah aliran teologi. Para tokoh dan pengikut Mu'tazilah menjadi sasaran tindakan pembalasan. Terjadi pertumpahan darah, rumah pun menjadi puing-puing. Periode ini menjadi zaman kesengsaraan, kemalangan dan cobaan bagi kaum muslim. Sejak itu, Mu'tazilah sebagai sebuah aliran kalam tidak pernah bisa bangkit.
Sumber : http://habibie.coolpage.biz/me-mutazilah.php
|
|
|
|
|
|
|
|
Tak arif tentang benda ini dan tak berani komen banyak |
|
|
|
|
|
|
|
Selain Imam Ahmad bin Hambal, siapa lagi tokoh terkenal yg menentang kemakhlukan al-quran? setahu aku ramai tapi tak ramai yg berani bersuara spt Imam Ahmad. |
|
|
|
|
|
|
| |
|