|
Kes Bunuh Kopi Beracun: Anak Perempuan Orang Kaya Dipenjara 20 tahun
[Copy link]
|
|
Peninjauan Kembali atau disingkat PK adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia.[1][2] Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat Mahkamah Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).[2]PK tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila putusan itu berupa putusan yang menyatakan terdakwa (orang yang dituntut dalam persidangan) bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.[3][2] Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, Peninjauan Kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia.[4] Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu persidangan pada Pengadilan Negeri, sidang bandingpada Pengadilan Tinggi, dan kasasi pada Mahkamah Agung.[2] Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara.[2] Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap.[5] PK dapat diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapatkesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.[4]
Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula[sunting | sunting sumber]Prinsip ini diatur dalam Pasal 266 ayat 3 KUHAP yang berbunyi Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.[2] Mahkamah Agung tidak diperkenankan menjatuhkan putusan yang hukuman pidananya melebihi putusan pengadilan yang diajukan PK.[2] Prinsip ini sesuai dengan tujuan diadakannya Lembaga PK yaitu untuk memenuhi hak pemohon untuk mencari keadilan.[2] Dengan upaya PK, terpidana diberikan kesempatan untuk membela kepentingannya agar terbebas dari ketidakbenaran penegakan hukum.[2] PK tidak menangguhkan atau mengehentikan eksekusi[sunting | sunting sumber]Secara normatif undang-undang mengatur bahwa PK tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi (pelaksanaan putusan).[14] Berdasarkan Pasal 23 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2004 dan Pasal 67 UU MA, objek permohonan upaya hukum PK adalah suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap (BHT).[8] Hal ini berarti bahwa saat putusan BHT dijatuhkan, terdakwa telah berubah status hukumnya menjadi terpidana.[8] Putusan pengadilan yang BHT demikian tidak terpengaruh dengan proses PK yang diajukan sehingga tetap dilaksanakan.[8] PK dapat dilakukan berkali-kali[sunting | sunting sumber][size=12.3704px]
Antasari Azhar, pemohon uji materi Pasal 268 ayat 3 KUHAP
Dalam Pasal 268 ayat 3 KUHAP, dijelaskan bahwa PK terhadap suatu putusan pengadilan hanya dapat dilakukan satu kali.[4] Pada tahun 2013 Antasari Azhar mengajukan uji materi Pasal 268 ayat 3 KUHAP ke Mahkamah Konstitusi (MK).[15] Uji materi ke MK dilakukan untuk menilai apakah suatu pasal atau undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).[15]Antasari yang merupakan terpidana 18 tahun dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain merasa dirinya belum mendapat keadilan dengan upaya PK yang pernah Ia lakukan.[15][16] Dalam persidangan uji materi tersebut terdapat perdebatan mengenai keadilan dan kepastian hukum. Apabila PK dapat dilakukan berkali-kali maka kepastian status hukum seseorang sukar ditentukan.[17]Yusril Ihza Mahendra yang tampil sebagai saksi ahli dalam sidang uji materi di MK menerangkan bahwa PK berkali-kali adalah dalam rangka mencari keadilan materil.[18] Pada 6 Maret 2014 MK memutuskan mengabulkan permohonan Antasari Azhar yakni PK dapat dilakukan berkali-bali.[19] Putusan ini mendapat respon yang kurang baik dari Mahfud MD yang merupakan mantan KetuaMahkamah Konstitusi.[20] Mahfud berpendapat bahwa putusan MK terkait PK berkali-kali menimbulkan kepastian hukum seseorang menggantung.[20] Terkait putusan MK tersebut, maka secara otomatis Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang mengatur bahwa PK hanya bisa diajukan satu kali sudah tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 45.[19] Yang dapat mengajukan PK[sunting | sunting sumber]Pasal 263 ayat 1 KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya.[4] Namun, dalam perkembangan praktik peradilan saat ini terdapat tiga pihak yang dapat mengajukan PK yaitu terpidana, ahli waris, atau kuasa hukum terpidana.[2] Terpidana atau ahli waris[sunting | sunting sumber]Terpidana dan ahli waris memiliki kedudukan yang sama dalam mengajukan PK.[2] Hal ini berarti bahwa sekalipun terpidana masih hidup, ahli waris dapat langsung mengajukan PK.[2] Apabila terpidana meninggal dunia pada saat permohonan PK diajukan maka ahli waris berperan menggantikan posisi terpidana dalam mengajukan PK.[2] Kuasa hukum[sunting | sunting sumber]Dasar hukum diperbolehkannya PK ialah aturan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP yang tertuang dalam bentuk Lampiran Keputusan Menteri KehakimanNo. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983.[2] Aturan tersebut memperbolehkan terdakwa pada suatu kasus untuk memberi kuasa kepada kuasa hukum (pengacara) dalam upaya mengajukan kasasi.[2] Berdasarkan penggunaan tersebut, Mahkamah Agung secara konsisten menggunakan dasar yang sama untuk diterapkan dalam syarat permohonan upaya hukum PK.[2]
Alasan pengajuan PK[sunting | sunting sumber]Suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan upaya hukum PK dengan menyertakan alasan yang jelas.[2] Keadaan Baru[sunting | sunting sumber]Salah satu alasan yang dapat diterima untuk pengajuan PK berdasar undang-undang ialah adanya atau ditemukannya bukti baru (sering disebut novum) yang belum pernah dihadirkan dalam persidangan.[2] Bukti baru ini dapat berupa benda ataupun saksi yang bersifat menimbulkan dugaan kuat.[2] Menimbulkan dugaan kuat yang dimaksud ialah jika seandainya bukti baru tersebut ditemukan saat sidang berlangsung, maka: (1) dapat membuat terpidana dijatuhi putusan bebas atau lepas dari seluruh tuntutan hukum, (2) dapat membuat putusan yang menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, atau (3) dapat membuat hakim menggunakan pasal yang lebih ringan dalam memutus terpidana.[2] Kesalahan atau kekhilafan hakim[sunting | sunting sumber]Sebagai seorang manusia, sangat dimungkinkan hakim dalam membuat putusan pengadilan melakukan kesalahan maupun kekeliruan.[2] Dalam praktik peradilan, putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dikoreksi dengan cara banding ke pengadilan tingkat dua (Pengadilan Tinggi) maupun ke tingkat tiga (Mahkamah Agung).[2] Koreksi terhadap putusan dalam sistem peradilan berjenjang tersebut terkadang tetap menghasilkan suatu putusan yang keliru baik dalam hal penerapan pasal maupun pertimbangan hukum. Terhadap putusan-putusan seperti ini upaya hukum PK dapat diajukan.[2] Proses PK[sunting | sunting sumber][size=12.3704px]
Mahkamah Agung (MA), lembaga Tinggi Negara yang berwenang memutus PK.
Permintaan pengajuan PK[sunting | sunting sumber]Peninjauan Kembali diajukan oleh pemohon dalam hal ini terpidana atau ahli waris kepada panitera (petugas administrasi pengadilan) Pengadilan Negeri yang memutus perkara untuk pertama kali.[2] Permintaan pengajuan PK dilakukan secara tertulis dilengkapi dengan alasan-alasan yang mendasari diajukannya PK.[2] Panitera pengadilan yang menerima permintaan PK mencatat permintaan PK tersebut dalam suatu surat keterangan yang disebut Akta Permintaan Peninjauan Kembali.[2]Tidak ada batas waktu dalam pengajuan PK, yang lebih diutamakan ialah terpenuhinya syarat-syarat pengajuan PK yang diatur UU dan KUHAP.[2] Pada Pengadilan Negeri[sunting | sunting sumber]Sebelum permohonan PK diserahkan ke Mahkamah Agung, sesuai dengan KUHAP Pengadilan Negeri bertugas untuk memeriksa perkara PK terlebih dahulu.[2] Dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk membentuk majelis hakim yang akan memeriksa permohonan.[2]Majelis hakim yang dibentuk akan melakukan pemeriksaan terhadap materi PK terdakwa maupun saksi atau barang bukti yang diperlukan.[2] Pemeriksaan pendahuluan di Pengadilan Negeri bersifat resmi dan terbuka untuk umum.[2] Setelah pemeriksaan selesai, majelis hakim akan membuat pendapat terhadap PK yang diajukan.[2] Pendapat tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pendapat yang turut dilimpahkan bersama berkas PK ke Mahkamah Agung.[2] Pada Mahkamah Agung[sunting | sunting sumber]Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk memutus permohonan PK.[2] Berita Acara Pendapat dari Pengadilan Negeri yang diperoleh dari pemeriksaan pendahuluan PK tidak selalu menjadi pertimbangan hakim MA dalam memutus perkara.[2] Pada saat memeriksa permohonan PK, majelis hakim MA terdiri dari minimal tiga orang hakim agung. Putusan dibacakan dan ditandatangani oleh hakim agung yang melakukan pemeriksaan permohonan PK.[2] Putusan PK oleh Mahkamah Agung dapat berupa: (1) permintaan dinyatakan tidak dapat diterima, (2) menolak permintaan Peninjauan Kembali, atau (3) menerima Peninjauan Kembali.[2]
https://id.wikipedia.org/wiki/Peninjauan_Kembali
|
|
|
|
|
|
|
|
Putusan-putusan PK kontroversi[sunting | sunting sumber]PK Pollycarpus[sunting | sunting sumber]Pollycarpus Budihari Priyanto adalah terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) bernama Munir.[21] Oleh Pengadilan Negeri Ia divonis 14 tahun penjara.[22] Pada tahapan kasasi Pollycarpus diputus bebas oleh Mahkamah Agung.[22] Atas putusan tersebut jaksa mengajukan PK kemudian diterima oleh Mahkamah Agung hingga akhirnya Pollycarpus divonis 20 tahun penjara.[22] Putusan PK tersebut merupakan hal yang tidak lazim karena sejatinya PK adalah hak terpidana yang lahir atas permasalahan Sengkon dan Karta bukan hak jaksa.[23] PK Sudjono Timan[sunting | sunting sumber]Sudjiono Timan adalah mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang menjadi terpidana kasus korupsi senilai Rp 369 Miliar.[24]Dalam kasus tersebut Sudjiono Timan divonis 15 tahun penjara pada tingkat kasasi namun kabur dan menjadi buron.[24] Pada tahun 2013 Mahkamah Agung Membebaskan Timan dari hukuman pidana melalui PK yang diajukan oleh istrinya.[24] Perdebatan timbul dikalangan ahli hukum karena istri (ketika suami masih hidup) bukan merupakan ahli waris sebagaimana syarat atau hak pengajuan PK adalah oleh terpidana atau ahli warisnya.[24]
https://id.wikipedia.org/wiki/Peninjauan_Kembali
|
|
|
|
|
|
|
|
PK (peninjauan Kembali)
Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 hari sesudah penetapan atau putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak di ketemukan bukti adanya kebohongan atau bukti baru, dan bila alasan pemohon PK berdasarkan bukti baru (Novum) maka bukti baru tersebut dinyatakan di bawah sumpah dan di sahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UU No. 14 tahun 1985, yang telah di ubah dengan UU No. 5 tahun 2004) Yang ingin saya tanyakan apabila kita mendapatkan NOVUM berupa akta Jual beli ataupun SHM, apa yg harus kita lakukan dengan bukti baru tersebut, mengingat sesuai dengan ketentuan di atas "dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yg berwenang" ? mekanisme untuk memenuhi ketentuan tersebut bagaimana ?? terima kasih sebelumnya, dan mohon dengan sangat untuk diberikan solusi dan atau komentar, mengingat perkara ini menyangkut milik orang yg tak punya dan dalam persidangan di PN pada tahun 2005 orang tersebut dikalahkan dengan alasan waris, padahal data yg ada bahwa orang tersebut perolehan tanahnya berasal dari jual beli sesuai dengan akta jual belinya
Jawaban :
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, maka terlebih dahulu perlu diperhatikan secara seksama ketentuan yang mengatur mengenai Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Pasal 67 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut : ”Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut; d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.” Selanjutnya, Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan : “Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hariuntuk : a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang; c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.” Merujuk kepada uraian dan pertanyaan yang diajukan di atas, maka jelas bahwa yang ditanyakan hanyalah terkait dengan ketentuan pada Pasal 67 huruf b jo. Pasal 69 huruf b UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Menurut M. Yahya Harahap di dalam bukunya berjudul “Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata”, terdapat 4 (empat) bagian yang dapat dijelaskan terkait dengan Pasal 67 huruf b jo.Pasal 69 huruf b tersebut, yaitu : 1. Penerapan alasan permohonan peninjauan kembali (PK) ini terbatas hanya pada bentuk Alat Bukti Surat. 2. Alat Bukti Surat, yang memenuhi alasan permohonan peninjauan kembali (PK) ini, harus bersifat menentukan. 3. Hari dan tanggal alat bukti surat itu ditemukan, harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan penjabat yang berwenang. 4. Alat bukti surat itu telah ada sebelum proses pemeriksaan perkara. Terhadap bagian 3 tersebut di atas, maka pada hari dan tanggal ditemukan alat bukti surat itu, pemohon PK harus menyatakan di bawah sumpah dimana : · pernyataan sumpah itu dibuat secara tertulis yang menjelaskan bahwa pada hari dan tanggal tersebut telah menemukan alat bukti surat in casu Akta Jual beli ataupun Sertipikat Hak Milik dengan menyebut tempat atau kantor dimana alat bukti surat itu ditemukan. · selanjutnya surat pernyataan sumpah itu disahkan oleh pejabat yang berwenang. Kedua syarat ini bersifat imperatif dan kumulatif. Artinya, apabila penemuan surat itu tidak dituangkan dalam bentuk surat pernyataan di bawah sumpah, kemudian surat pernyataan sumpah itu tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka alat bukti surat itu tidak memenuhi syarat sebagai alasan permohonan PK. Sementara itu, pernyataan sumpah saja oleh Pemohon PK tanpa disahkan oleh pejabat yang berwenang juga mengakibatkan alat bukti surat tersebut tidak sah sebagai alasan permohonan PK. Secara sederhana, pernyataan di bawah sumpah tersebut dapat langsung dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, dan pengesahannya dilakukan oleh pejabat tersebut pada surat yang bersamaan di tempat pembuatan pernyataan sumpah. Adapun terhadap pengertian ”pejabat yang berwenang” pada Pasal 69 huruf b tersebut tidak diberikan penjelasan. Oleh karena tidak diberikan penjelasan, maka tidak terdapat pembatasan atas ”pejabat yang berwenang” dalam melakukan pengesahan atas alat bukti surat tersebut. Namun demikian, pada umumnya, jika suatu surat yang akan dijadikannovum berkaitan erat dengan pejabat tertentu, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dilakukan di hadapan dan oleh pejabat tersebut. Dikaitkan dengan perkara ini, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa akta jual beli, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh notaris. Sementara itu, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novumadalah berupa sertipikat hak milik, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).
[size=13.3333px]http://www.hukumonline.com/
|
|
|
|
|
|
|
|
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang ingin mencari keadilan yang ditujukan kepada Mahkamah Agung. Pasal 1 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tatacara pengajuan permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak disebutkan: "Permohonan Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus kembali Putusan Pengadilan Pajak". Namun dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Peninjauan Kembali, maka apa dampak yang akan terjadi dengan permohonan Peninjauan Kembali sehubungan dengan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak maupun oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak. Sebenarnya UU Pengadilan Pajak telah mengatur segala sesuatunya mengenai pengajuan Peninjauan Kembali dengan sangat jelas, antara lain yakni hanya dapat diajukan satu kali saja. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku bagi Peninjauan Kembali atas Putusan Banding yang diterbitkan oleh Pengadilan Pajak? Keyword: Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, upaya hukum luar biasa, satu kali Pendahuluan Upaya hukum luar biasa "Peninjauan Kembali" diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, salah satunya diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disingkat UU Pengadilan Pajak). Pasal yang mengatur mengenai Peninjauan Kembali dalam UU Pengadilan Pajak antara lain Pasal 77, Pasal 89, dan Pasal 91.
Akhir-akhir ini Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa demi rasa keadilan, upaya hukum Peninjauan Kembali boleh dilakukan berkali-kali. Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan Uji Materi yang diajukan oleh terpidana Antasari Azhar atas Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan Peninjauan Kembali hanya bisa diajukan satu kali.
Menurut penulis tentu berbeda maksud dan tujuan antara Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Pengadilan Pajak. Putusan Mahkamah Konsitusi adalah mengatur ketentuan mengenai permohonan Peninjauan Kembali atas perkara pidana, bukan atas perkara atau sengketa pajak. Jadi tidak otomatis putusan Mahkamah Konsitusi tersebut berlaku bagi para pihak yang melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Peninjauan Kembali dalam UU Pengadilan Pajak
Dalam konsiderans UU Pengadilan Pajak menyebutkan, diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sitem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Salah satu usaha untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum adalah dengan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali.
Ada beberapa Pasal yang mengatur mengenai Peninjauan Kembali antara lain:
1. Pasal 77 ayat (1) dan (3)
Ayat (1): Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ayat (3): Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
Dari ketentuan di atas jelaslah ada aturan yang mengatur bahwa Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam ayat (3) juga ditegaskan bahwa upaya Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung masih dimungkinkan bagi kedua belah pihak baik pihak Wajib Pajak/Penanggung Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak. Tentu tidak serta merta semua Putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan Peninjauan Kembali, akan tetapi harus dengan alasan-alasan tertentu saja, yang artinya apabila alasan-alasan atau syarat-syarat tersebut tidak dapat dipenuhi para pihak maka Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak.
2. Pasal 91
Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Apabila Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menyambung komentar Pasal 77 di atas, apabila pihak Wajib Pajak/Penanggung Pajak atau pihak Direktorat Jenderal Pajak tidak mempunyai salah satu alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 91, seyogianya kedua belah pihak dengan rendah hati tidak perlu melakukan upaya Peninjauan Kembali karena tentu akan menghabiskan tenaga dan biaya yang tidak sedikit dalam mempersiapkan proses Peninjauan Kembali.
3. Pasal 89
(1) Permohonan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
(2) Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.
(3) Permohonan Peninjauan Kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.
Ayat (1) sudah sangat jelas menyebutkan bahwa permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja kepada Mahkamah Agung. Jadi apabila ada para pihak yang ingin menggugat ketentuan dalam Pasal 89 UU Pengadilan Pajak ini dan mengajukan permohonan Uji Materi kepada Mahkamah Konstitusi yang kemudian oleh Mahkamah Konstitusi dikabulkan permohonannya barulah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang diberlakukan dan berlaku untuk semua pihak yang bersengketa. Uji Materi Pasal KUHAP Mengenai Peninjauan Kembali
Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan uji materiil Pasal 268 ayat (3) Undang-udang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan ini menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun bunyi Pasal 268 ayat (3) KUHAP adalah: "permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja."
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia dan harus ditaati oleh siapapun meskipun permohonan uji materi tersebut hanya diajukan oleh seorang terpidana yang bernama Antasari Azhar. Meskipun putusan ini melahirkan pro dan kontra di masyarakat khususnya para ahli hukum karena ditafsirkan Peninjauan Kembali boleh diajukan berkali-kali sehingga menimbulkan perdebatan antara pencarian keadilan dan tercapainya kepastian hukum, namun dalam tulisan ini poin yang dibahas adalah apakah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku juga bagi pencari keadilan dalam sengketa pajak atau hanya berlaku bagi perkara pidana saja.
Masalah perpajakan atau sengketa pajak tentu berbeda dengan masalah pidana maupun sengketa perdata. Walaupun ketentuan mengenai permohonan Peninjauan Kembali semuanya ditujukan kepada Mahkamah Agung, namun syarat-syarat untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali ada sedikit perbedaan. Dalam Pasal 89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak sudah sangat jelas disebutkan bahwa Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak, dimana penjelasan Pasal 89 tersebut "Cukup jelas". Artinya pembuat Undang-undang berkeinginan agar pasal tersebut tidak perlu ditafsirkan lagi karena sudah cukup jelas adanya.
Karena hingga saat ini sepanjang pengetahuan penulis belum ada para pihak yakni pihak Wajib Pajak/Penanggung Pajak maupun pihak Direktorat Jenderal Pajak yang mengajukan permohonan uji materi atas Pasal 89 ayat (3) UU Pengadilan Pajak ke Mahkamah Konstitusi, maka hingga saat ini Pasal 89 ayat (3) UU Pengadilan Pajak masih tetap berlaku. Artinya permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Banding hanya dapat dilakukan satu kali saja. Pihak Direktorat Jenderal Pajak apabila tidak menemukan alasan untuk melakukan upaya Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, sebaiknya tidak perlu mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Simpulan
Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Antasari Azhar atas Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan Peninjauan Kembali hanya bisa diajukan satu kali, sehingga Peninjauan Kembali dalam hukum pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Namun ketentuan ini tidak serta merta berlaku untuk hukum pajak karena Pasal 89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak mengatur bahwa Permohonan Peninjauan Kembali dalam hukum pajak hanya dapat diajukan satu kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Daftar pustaka:
- UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Pengadilan Pajak
- UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
- Putusan Mahkamah Konstitusi
- Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2002
- Info Hukum Vol. VI, Maret 2014
- Dr.H.Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/
|
|
|
|
|
|
|
|
malas nak baca artikel ..
banyak perkataan tak paham
tapi ada juga nengok tajuk youtube
ada yang ketara macam curiga tentang suami mendiang
tak ada kah bang .. pertuduhan yang melibatkan suami mendiang sepanjang kes ni?
|
|
|
|
|
|
|
|
banyak perkataan tak paham ?
google translate kan ada................
|
|
|
|
|
|
|
|
peguambela ada bawa isunya nmn ditolak hakim utk dipanjangkan .
taw2 je la,byk yg terlondeh nanti ....
|
|
|
|
|
|
|
|
GuaAnakMelaka replied at 30-10-2016 01:35 AM
Kalau dikatakan igama ikut mak, patutnya hindu lah kan, sebab orang Bali, tapi kenapa kristian? Ikut suami ke? |
|
|
|
|
|
|
|
x bc post dulu ?
AYAH ISLAM ,BINI KRISTIAN...MIRNA IKUT AGAMA IBUNYA KRISTIAN MAKCIK ..............
|
|
|
|
|
|
|
|
Edited by pyropura at 30-10-2016 06:23 AM
GuaAnakMelaka replied at 30-10-2016 06:15 AM
x bc post dulu ?
AYAH ISLAM ,BINI KRISTIAN...MIRNA IKUT AGAMA IBUNYA KRISTIAN MAKCIK .......... ...
Ok, sebab jarang sangat hindu bali masuk kristian, sebab nama pun Wayan, kembarnya nama Made, hindu vali banget |
|
|
|
|
|
|
|
apa ada pada nama kata William Shakespeare........
tgk dlm porum ni nama awek cun bila PM gambo kalah negro 99 % mereng.............
|
|
|
|
|
|
|
|
dah cuba ..
dah nama nya bahasa indonesia d translate ke bahasa Malaysia
tak ada perubahan
|
|
|
|
|
|
|
|
owh ..
memang ada la nama suami tersenarai sebagai suspek
baca-baca sahaja kat sini..
cam ada sesuatu ja suami tu
dan ada yang beria backup kata jessica tak salah
ada pula kata teori pembunuh tak perlu ada d situ
bila baca tang tu
teringat cerita katun Anime Penyiasat DDS ( Dan Detective School )
|
|
|
|
|
|
|
|
ok la tu ..
dari tak ada rupa langsung ha
|
|
|
|
|
|
|
|
Edited by cancer_files at 30-10-2016 09:42 AM
GuaAnakMelaka replied at 30-10-2016 04:17 AM
banyak perkataan tak paham ?
Google translate pun tak boleh bantu, tu bahasa teknis tingkat tinggi berkenaan hukum
PK tu jauh lagi... Dia masih lagi banding, lalu kalau tak puas dia ambil kasasi lalu PK
Jadi, urutannya : banding, kasasi, PK |
|
|
|
|
|
|
|
pening baca article indon ni |
|
|
|
|
|
|
|
bahasa english tak ada ke? article indon nie mcm all over the place penceritaan nya |
|
|
|
|
|
|
|
FanTasyCreaTioN replied at 30-10-2016 10:25 AM
owh ..
memang ada la nama suami tersenarai sebagai suspek
Acik2 kepam suka drama novela cintaku 200% so dalam apa jua kesah pasti ada yang nak main wayang dan buat plot cerita sendiri, dah faham sangat pemikiran acik2 kepam ini |
|
|
|
|
|
|
| |
|