Jakarta (ANTARA News) - "Ia adalah seorang yang luar biasa di bidangnya," kata pakar dirgantara Adi Sadewo Salatun saat menyampaikan kesannya terhadap pakar aerodinamika, Prof DR Said Djauharsjah Jenie, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat pukul 07.48 WIB.
Menurut Salatun, yang Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), bidang dinamika wahana antariksa berbadan besar yang elastis yang ditekuni Said adalah bidang yang sangat rumit dan disegani.
"Karyanya yang paling menonjol adalah N-250, pesawat pertama di dunia kelas two-engine, fly by wire (terkomputerisasi) dengan 50 penumpang, yang dirancangnya dari mulai disain hingga terbang," ujarnya.
Doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat (AS) itu, menurut Salatun, bahkan tidak segan-segan turut terbang ke udara pada percobaannya. Saat itu, Said masih menjabat sebagai Direktur Teknologi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang kemudian menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI).
Salatun juga menyesalkan, maha karya tersebut terpaksa dihentikan setelah dibuat dua unit. Padahal, ia menilai, permintaan masyarakat dunia dan domestik untuk pesawat sekelas N-250 itu tinggi, apa lagi harganya bersaing.
"Alasannya adalah situasi krisis keuangan dalam negeri yang tidak memungkinkan," ujarnya.
Selain N-250, Said juga menjadi salah seorang tokoh untuk pesawat hasil kerjasama dengan Casa Spanyol, CN-235 yang kemudian sangat laku di pasar dunia, termasuk Angkatan Udara AS yang membeli 50 unit untuk versi Casa.
"Tidak ada orang Indonesia seahli dia, selain teorinya kuat, praktiknya pun kuat. Kita kehilangan putera terbaik di bidang kedirgantaraan yang banyak menyumbangkan keahliannya dalam soal pesawat dan roket," katanya.
Sementara itu, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Kusmayanto Kadiman, berkomentar bahwa Said Djauharsjah Jenie adalah sosok yang sangat pendiam, namun akan menjadi sangat cerewet jika dipancing untuk bicara seluk-beluk teknologi dirgantara, baik mengenai sejarahnya sampai pada hal-hal yang futuristik.
Said juga memegang teguh nilai-nilai luhur dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) khususnya soal validitas, ujar Kusmayanto, sehingga ia tidak pernah terperangkap pada berita selentingan, rumor dan cerita isapan jempol.
"Sebagai insinyur, beliau selalu mengatakan bahwa jangan pernah mengaku insinyur, jika tak punya kemampuan dan pengalaman merancang karya teknologi, yang dia pegang teguh dan sungguh-sungguh diterapkannya di BPPT dan PT Dirgantara Indonesia," katanya.
Sebagai pengajar, Said yang wafat pada usia 58 itu sangat disiplin, dan terkenal sebagai orang yang mengajar sepenuh hati dengan menyampaikan teori-teori lengkap dengan contoh-contoh nyata sesuai pengalamannya, tambah Kusmayanto.
Said mengawali karirnya sebagai staf pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak 1974, hingga akhirnya menjadi Kepala Lab Ilmu-ilmu Fisika Terbang Jurusan Teknik Mesin ITB, dan menjadi Ketua Jurusan Teknik Penerbangan hingga Guru Besar ITB sampai akhir hayatnya.
Alumni ITB Jurusan Teknik Penerbangan sejak 1973 itu meneruskan kuliahnya ke perguruan tinggi bergengsi di MIT Jurusan Aeronautics and Astronautics yang mendapat gelar master pada 1978, dan kembali meneruskan studi di tempat yang sama di jurusan astrodynamics hingga lulus pada 1982 bergelar doktor.
Selama kuliahnya di AS, Said juga sempat menjadi asisten dosen dan menjadi asisten penelitian di universitas ternama itu, bahkan bersama MIT sempat bekerjasama dengan Badan Antariksa AS (NASA).
Pada masa mudanya itu, ia juga sempat menjadi peneliti di Divisi Riset Independen Charles Stark Draper Lab di AS, dan peneliti di universitas tekbik (TU) Delft, Belanda.
Said meski ditinggal wafat ayahnya sejak usia setahun, bersama Prof DR Umar Anggara Jenie, saudara kembarnya yang Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang lahir di Solo 22 Agustus 1950, dan dua saudaranya yang lain, tetap berprestasi.
Karir Said di luar dosen juga mengagumkan, dari mulai menjadi Kepala Program Uji Terbang Pengembangan dan Sertifikasi CN-235 di IPTN pada 1982 sampai menjadi Direktur Teknologi di IPTN pada 1999, juga menjadi Staf Ahli Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) sejak 1989, dan Instruktur Guidance and Control Program Roket Kendali di Pusat Teknologi Dirgantara Lembaga Antariksa Nasional (Lapan) sejak 1987.
Di BPPT, ia mengawali karir menjadi Kepala Tim Pengembangan Laboratorium Mekanika Terbang pada 1987 sampai menjadi pejabat tertinggi di badan tersebut sampai dengan tutup usia.
Said juga menjadi anggota dari berbagai organisasi nasional dan internasional, seperti Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), hingga Institut Aeronotika Astronautika Indonesia (IAAI).
Selain itu, ia juga tercatat menjadi anggota Society of Flight Test Engineers (SFTE), American Institute of Aeronautics and Astronautics (AIAA), Planetary Society, dan Institute for Electrical and Electronics Engineer (IEEE) yang semuanya di AS.
Berbagai aktivitasnya itu membuat Said menerima berbagai tanda kehormatan, antara lain Adhi Cipta Rekayasa oleh Persatuan Insinyur Indonesia pada 1994, ASEAN Engineering Award pada 1994, Bintang Jasa Nararia dari Pemerintah RI pada Agustus 1995 hingga bintang jasa Utama dari presiden pada 2007.
Ilmuwan besar tersebut kini telah tiada setelah menghembuskan nafas terakhirnya di RS Boromeus Bandung dan akan dimakamkan di pemakaman Pasarena, Yogyakarta.
Ia tidak saja meninggalkan seorang istri, Sadarijah Laksmi Saraswati, dan dua anak Acih Nurul Jenie dan Gita L. Jenie, tetapi juga rakyat Indonesia yang masih membangun dan membutu*kan banyak ilmuwan perekayasa sekelasnya. (*)
JAKARTA, kompas..com - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) akan mencoba mengorbitkan roket RX-420 untuk pertama kalinya pada 2 Juli 2009. RX-420 merupakan cikal bakal roket peluncur satelit.
Demikian dikatakan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman, di Jakarta, Kamis (11/6). Menristek dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR-RI mengatakan, pengorbitan roket RX-420 dengan jarak jangkau 100 kilometer tersebut akan dilakukan karena Lapan sudah berhasil melakukan uji coba peluncuran roket RX-320 pada 2008. Menurut dia, RX 420 pada dasarnya memiliki daya jangkau yang lebih tinggi mencapai 190 kilometer seandainya struktur roket bisa dibuat lebih ringan.
"Daya jangkau roket ini bisa kita ibaratkan bila diluncurkan dari Jakarta bisa menembus Bandar Lampung," kata dia. Rencananya, uji coba akan dilanjutkan pada 2010 dengan roket yang diluncurkan merupakan gabungan dari RX 420-420 dan 2011 giliran gabungan 420-420 - 320 dan SOB 420.
Pada 2014 seluruh uji coba peluncuran roket selesai dan roket siap mengantarkan satelit dengan nama Nano Satelit dengan ketinggian 300 kilometer dan kecepatan 7,8 kilometer perdetik. "Uji coba akan terus dilanjutkan hingga 2014 dan seluruh roket siap mengantarkan Nano satelit," kata dia.
Bila seluruh uji coba orbit berhasil dilaksanakan, kata dia, maka ini akan menjadi prestasi pertama luar biasa yang bisa dipersembahkan putra terbaik bangsa.
Sementara itu, Ketua Lapan, Adi Sadewo, mengatakan, sebelumnya Lapan juga melakukan uji coba peluncuran roket dua tingkat RX-150/120 dengan bekerjasama dengan Lapan, TNI-AD dan PT Pindad. Roket dengan daya jangkau 24 kilometer tersebut berhasil diluncurkan dari wahana bergerak (Panser) pada 31 Maret 2009.
Lapan juga telah melakukan uji coba peluncuran roket RX D230 (RX122) dengan daya jangkau 14 kilometer dapat diluncurkan dengan launcher tabung. Roket berdaya jangkau 10 kilometer yang berfungsi untuk mengetahui kondisi lapangan sebelum seorang marinir diterjunkan itu diuji coba peluncurannya pada 5 Mei 2009.
Selain itu, kerja sama pembuatan roket dengan beberapa lembaga lainnya juga tengah dikembangkan yaitu, roket penangkal petir untuk melindungi fasilitas penting dan roket untuk membuat hujan buatan.
Kulit luarnya bisa saja terlihat halus mulus tanpa cacat. Tapi siapa tahu, sisi dalamnya keropos (rapuh). Ketidakpastian inilah yang dihadapi industri pesawat terbang sampai 40 tahun lalu. Pemakai dan produsen sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi pesawat terbang masih andal dioperasikan. Akibatnya memang bisa fatal. Pada awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi. Kelelahan (fatique) pada bodi masih sulit dideteksi dengan keterbatasan perkakas. Belum ada pemindai dengan sensor laser yang didukung unit pengolah data komputer, untuk mengatasi persoalan rawan ini.
Titik rawan kelelahan ini biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang atau antara sayap dan dudukan mesin. Elemen inilah yang mengalami guncangan keras dan terus-menerus, baik ketika tubuhnya lepas landas maupun mendarat. Ketika lepas landas, sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Ketika menyentuh landasan, bagian ini pula yang menanggung empasan tubuh pesawat. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (krack).
Titik rambat, yang kadang mulai dari ukuran 0,005 milimeter itu terus merambat. Semakin hari kian memanjang dan bercabang-cabang. Kalau tidak terdeteksi, taruhannya mahal, karena sayap bisa sontak patah saat pesawat tinggal landas. Dunia penerbangan tentu amat peduli, apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari propeller ke jet. Potensi fatique makin besar.
Pada saat itulah muncul anak muda jenius yang mencoba menawarkan solusi. Usianya baru 32 tahun. Postur tubuhnya kecil namun pembawaannya sangat enerjik. Dialah Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, laki-laki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936.
Habibie-lah yang kemudian menemukan bagaimana rambatan titik krack itu bekerja. Perhitungannya sungguh rinci, sampai pada hitungan atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini lantas dinamakan krack progression. Dari sinilah Habibie mendapat julukan sebagai Mr. krack. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya lebih mudah dan murah.
Sebelum titik krack bisa dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF). Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutu*an teoritisnya. Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja. Namun setelah titik krack bisa dihitung maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25% setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat. Namun pengurangan berat ini tak membuat maksimum take off weight-nya (total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Sehingga secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.
Faktor Habibie ternyata juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun.
Riwayat keilmuan Habibie dimulai ketika ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Technische Hochschule Die Facultaet Fue Maschinenwesen, Aachen, Jerman, pada 1956. Selama setahun sebelumnya, Habibie tercatat sebagai mahasiswa ITB. Setelah mengantongi gelar diploma ingenieur jurusan konstruksi pesawat terbang, tahun 1960, sambil melanjutkan kuliahnya, ia menjadi asisten Riset Ilmu Pengetahuan Institut Konstruksi Ringan di kampusnya.
Otak Habibie makin kelihatan encer kala gelar doctor ingenieur-nya disabet dengan predikat suma cumalaude pada 1965. Rata-rata nilai mata kuliahnya 10. Presatsi ini membuatnya dipercaya jadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di Hamburger Flugzeugbau (HFB). Tugas utamanya adalah memecahkan persoalan kestabilan konstruksi bagian belakang pesawat Fokker 28. Luar biasa, hanya dalam kurun waktu enam bulan, masalah itu terpecahkan oleh Habibie.
Ia meraih kepercayaan lebih bergengsi, yakni mendesain utuh sebuah pesawat baru. Satu diantara buah karyanya adalah prototipe DO-31, pesawat baling-baling tetap pertama yang mampu tinggal landas dan mendarat secara vertikal, yang dikembangkan HFB bersama industri Donier. Rancangan ini lalu dibeli oleh Badan Penerbangan dan Luar Angkasa Amerika Serikat (NASA).
Habibie hanya sampai tahun 1969 saja di HFB, karena dilirik oleh Messerschmitt Boelkow Blohm Gmbh (MBB), industri pesawat terbesar yang bermarkas di Hamburg. Di tempat yang baru ini, karier Habibie meroket. Jabatan Vice President/Direktur Teknologi MBB disabetnya tahun 1974. Hanya Habibie-lah, orang diluar kebangsaan Jerman yang mampu menduduki posisi kedua tertinggi itu.
Di tempat ini pula Habibie menyusun rumusan asli di bidang termodinamika, konstruksi ringan, aerodinamika dan krack progression. Dalam literatur ilmu penerbangan, temuan-temuan Habibie ini lantas dikenal dengan nama Teori Habibie, Faktor Habibie dan Metode Habibie. Paten dari semua temuan itu telah diakui dan dipakai oleh dunia penerbangan internasional.
Pesawat Airbus A-300 yang diproduksi konsorsium Eropa (European Aeronautic Defence and Space) tak lepas dari sentuhan Habibie. Maklumlah dalam konsorsium ini tergabung Daimler, produsen Mercedes-Benz yang mengakuisisi MBB. Sehingga Habibie berhak atas royalti dari teknologi yang dipakai dalam kendaraan udara berbadan lebar itu. Selain dari Airbus, Habibie juga mendapat royalti dari produsen-produsen roket di banyak negara, yang banyak menggunakan teknologi konstruksi ringannya.
Tahun 1978, Habibie dipanggil pulang ke Tanah Air oleh Presiden Soeharto dan sejak itu kemudian berkiprah dalam upaya pengembangan teknologi kedirgantaraan di Indonesia, Hasilnya antara lain pesawat terbang pertama buatan Indonesia CN-235 dan N-250.
Prestasi keilmuan Habibie mendapat pengakuan di dunia internasional. Ia menjadi anggota kehormatan berbagai lembaga di bidang dirgantara. Antara lain di Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l扐ir et de l扙space (Prancis) dan The US Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sedangkan dalam bentuk penghargaan, Habibie menerima Award von Karman (1992) yang di bidang kedirgantaraan boleh dibilang gengsinya hampir setara dengan Hadiah Nobel. Dan dua tahun kemudian menerima penghargaan yang tak kalah bergengsi, yakni Edward Warner Award. (Hidayat Gunadi, Hatim Ilwan)
bodoh punya indon. duit buat roket tu baik guna beli nasik ataupun baiki jalan je. inilah nasionalisme aneh ala Jawa. lanjut ke sini www.penipuan-jawa.blogspot.com
Alamak bro...kalo buat roket tp Spec yg same hanya upgerade dari segi saiz pon x gune ...Kebanyakkan roket yg ader kt dalam page you yu semua Similar ngan Korea punyer roket juz roketnye cume boleh hanya utk terbang tanpa membawa ape2 item..Hanya mampu buat prototaip yg x berape tp di heboh kan seolah2 macam membuat Roket pelancar Nuklear...F.Y.I..Malaysia sudah lame membuat Roket yg mampu membawa peledak nuklear and mampu terbang ke orbit dgn kelajuan yg pantas..cuma buat mase it still Private and Confidential......and Semua org tahu tentera asia yg paling lemah adlah Indonesia,,Mereka Cuma Hanya Menpunyai Bala TEntera yg ramai tp Tiada Equipment ketenteraan yg Cukup or sesuai ....
Originally posted by PersonaGerek at 14-6-2009 12:32
Alamak bro...kalo buat roket tp Spec yg same hanya upgerade dari segi saiz pon x gune ...Kebanyakkan roket yg ader kt dalam page you yu semua Similar ngan Korea punyer roket juz roketnye cume b ...
x kisah lar... janji diaorang ada kesungguhan dan keazaman....persekutuan tanah melayu patut ambik iktibar...huhuhuhu
Saya dengar juga katanya malaysia juga mampu membuat pesawat tempur paling canggih dengan bahan bakar air ... bahkan AS mengemis-ngemis minta alih teknologi pesawat tersebut. Sayangnya pesawat tersebut disembunyikan dari publik .. maklum Private & Confidential
bangga gk la dgn indon buat benda ni...kalau mereka design from the concentual till commisioning stage...
walaupun x seberapa pencapaiannya...gempak je lebih..
sepatutnya dgn penduduk yg seramai> 200 juta mereka banyak pilihan..kalau 10% saja orgh yg pintar di indon ni..mereka harus invent macam2....contohnya india..penduduk ramai....negara juga x kaya..tp ramai indians yg jadi inventor...walaupun ramai yg miskin..tp sebab banyak pilihan..ramai juga yg pandai.....even bnayk buku rujukan engineering dari india...tp indon ni habibi je la sorang yg outstanding..tu pun nak kecoh sampai kiamat...
yg aku nampak indon cuma bole produce artis ..sinetron..pelacur..tu je yg majority.....
sorang buat roket mainan ni pun dah kecoh satu dunia
JAKARTA - Kabar bahwa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) akan mengorbitkan roket RX-420 di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, pada 2 Juli mendatang merupakan kabar gembira.
Roket dengan daya jangkau hingga 190 kilometer ini merupakan karya anak bangsa yang canggih untuk saat ini. Dengan peluncuran ini menandakan sedikit demi sedikit Indonesia mulai menapaki teknologi penerbangan luar angkasa.
Namun dikatakan oleh Kepala Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, Yus Kadarusman Markis untuk mencapai target itu bukan tanpa kendala.
"Kita cukup jauh tertinggal dalam hal ini. Kami menargetkan akan meluncurkan satelit milik Indonesia sendiri. Oleh karenanya kami terpacu untuk mewujudkan target ini. Peluncuran roket RX-420 merupakan langkah awal untuk meluncurkan satelit," kata Yus saat dihubungi okezone, Jumat (19/6/2009).
Soal teknologi, Indonesia tidak kalah dengan negara lain yang telah maju. Namun ketika ditanya mengenai kendala yang dihadapi dalam mencapai target, Yus mengatakan faktor sumber daya manusia dan dana menjadi salah satu kendalanya.
"Kami telah mengajukan permohonan dana untuk proyek ini, namun masih belum maksimal. Sehingga kami hanya mengandalkan kemampuan dan dana yang kami miliki," kata Yus.
"Jika pemerintah mau membantu dengan menyisihkan dana untuk kepentingan ini, roket ini akan sangat berguna bagi pertahanan negara dan membantu pasukan keamanan. Setidaknya kita menunjukkan pada negara lain bahwa kita juga tak ketinggalan dengan teknologi ini" kata Yus.
Kendala utama Indonesia membangun industri roket adalah DANA, pemerintah tidak serius membiayai R&D roket ini, tapi dengan dana yang sangat terbatas kami tetap optimis tahun 2014 Indonesia akan meluncurkan satelit pertamanya, ya satelit yang dibuat oleh putra-putri terbaik Indonesia dan akan diluncurkan dengan roket (juga) buatan putra-putri Indonesia.
Kalian yang punya kelebihan dana seharusnya bisa lebih maju dibidang peroketan dari pada kami, tidak hanya bisa mengirim turis angkasa..
Roket Peluncur Satelit Diuji Cobakan di Garut
Kamis, 02 Juli 2009
TEMPO Interaktif, GARUT - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), hari ini melakukan uji coba peluncuran roket di Stasiun Peluncuran Roket Cilauteureun, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (2/7). Kali ini dua jenis roket yang dilakukan uji coba terbang itu, yakni roket Jenis RX-420 satu buah dan RX-100 dua buah.
Peluncuran dilakukan dengan pengamanan ketat aparat keamanan. Dalam kesempatan itu turut hadir Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman.
Ketiga roket itu berhasil diterbangkan dengan mulus. Roket pertama yang diluncurkan jenis RX-420 yang dilepaskan oleh Kepala LAPAN Dr Adi Sadewo. Peluncuran kedua disusul dua unit roket jenis RX-100 yang dilepas oleh Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Marzan A. Iskandar dan perwakilan dari PT Dirgantara Indonesia.
RX-420 merupakan roket terbesar yang dibuat LAPAN. Misi peluncuran kali ini untuk mengetahui kualifikasi sistem roket ini. Karena sebelumnya roket ini telah berhasil diuji static pada 23 Desember 2008 di Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut. “Roket ini disiapkan untuk roket pengorbit satelit,” ujar Elly Kuntjahyowati di Garut.
Roket berdiameter 420 milimeter ini dirancang sebagai booster atau roket pendorong satelit yang akan diluncurkan pada 2014 mendatang. Rangkaian uji terbang kali ini juga untuk memperoleh spesifikasi teknis persyaratan roket pengorbit satelit. Untuk meluncurkan satelit diperlukan empat tingkat roket.
Rencananya LAPAN akan menggunakan roket jenis RX-320 yang telah diuji coba pada tahun 2008 dan roket RX-420 yang disimpan disisi kanan dan kiri untuk mendorong satelit ke angkasa. Oleh karena itu, rencananya pada tahun depan LAPAN akan
melakukan uji coba RX-420 dengan dua tingkat. “Roket yang kami buat itu harus dapat mendorong satelit dengan daya jangkau minimal 3.600 kilometer,” ujarnya.