View: 20693|Reply: 16
|
KISAH SEPOTONG KAIN DARI NUSANTARA
[Copy link]
|
|
Post Last Edit by jf_pratama at 22-3-2010 19:56
KAIN BATIK
Motif kain adat dapat dilihat sebagai salah satu sarana komunikasi tradisional yang memuat lambang-lambang atau simbol-simbol budaya tertentu. Simbol-simbol adat sesungguhnya dapat berlaku sebagai pranata karena dengan makna dibalik simbol itu, setiap penerima simbol akan menyadari sesuatu yang harus dan tidak harus dijalankannya. Sehingga motif batik tradisional merupakan pesan nonverbal.
Masyarakat Jawa sampai sekarang masih mempunyai kepercayaan terhadap “batik tradisional” yang bermotif tertentu. Adapun kepercayaan ini antara lain tercermin pada upacara adat pernikahan Jawa, dimana mereka memiliki kepercayaan bahwa batik sebagai salah satu alat perlengkapan pernikahan adat dianggap mempunyai kekuatan magis, dan pernikahannyapun menurut aturan-aturan tertentu yang tidak boleh dilangggar begitu saja. Disamping itu pada sementara orang Jawa masih pula hidup pemikiran bahwa motif batik tradisional yang sering digunakan sebagai alat perlengkapan upacara pernikahan adat Jawa memiliki mitologi tertentu yang memberikan arti khusus dan harus mendapatkan perhatian yang khusus pula bagi para pemakainya. Pemakaian motif batik-batik tradisional tertentu baik oleh pengantin pria dan pengantin wanita, orang tua dari kedua belah pihak maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan pada proses pelaksanaan tersebut secara menyeluruh, mulai dari awal sampai akhir dari rangkaian upacara pernikahan itu, umumnya juga didasari oleh pemikiran-pemikiran tersebut diatas.
Ada 7 macam motif dalam batik tradisional yaitu: motif Sawat, motif Gurda, motif Meru, motif Semen, motif Bango Tulak, motif Sindur, motif Gadhung Mlati
Pengertian Batik
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”(www.wikipedia.com).
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan pengolahan jati diri melalui praktek-praktek meditasi dan mistik dalam mencapai kemuliaan adalah satu sumber utama penciptaan corak-corak batik tersebut selain pengabdian sepenuhnya kepada kekuasaan raja sebagai pengejawantahan Yang Maha Kuasa di dunia. Sikap ini menjadi akar nilai-nilai simbolik yang terdapat di balik corak-corak batik menurut Djajasoebrata (dalam Anas, Biranul, 1995: 64). Pola, motif dan warna dalam batik, dulu mempunyai arti simbolik. Ini disebabkan batik dulu merupakan pakaian upacara ( kain panjang, sarung, selendang, dodot, kemben, ikat kepala ), oleh karena itu harus dapat mencerminkan suasana upacara dan dapat menambah daya magis. Karena itu diciptakanlah berbagai pola dan motif batik yang mempunyai simbolisme yang bisa mendukung atau menambah suasana religius dan magis dari upacara itu. “ Jadi batik tidak hanya untuk memperindah tubuh dan menyenangkan pandangan mata saja, tapi merupakan bagian dari upacara itu sendiri bersama dengan alat-alat upacara yang lain” ( Iwan Tirta, 1985: 3). “Motif-motif batik tidak sekedar gambar atau ilustrasi saja namun motif-motif batik tersebut dapat dikatakan ingin menyampaikan pesan, karena motif-motif tersebut tidak terlepas dari pandangan hidup pembuatnya, dan lagi pemberian nama terhadap motif-motif tersebut berkaitan dengan suatu harapan”
( Kuswadji, K, 1985:10-11).
Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.
Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majapahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit. |
|
|
|
|
|
|
|
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.
Jaman Perkembangan Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagangan.
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin. |
|
|
|
|
|
|
|
KAIN BASUREK - BENGKULU
Kain besurek adalah salah satu kain batik hasil kerajinan tradisional daerah Bengkulu yang telah diwariskan secara turun – temurun dari generasi ke generasi. Meskipun kain besurek diyakini sebagai hasil budaya fisik masyarakat Melayu Bengkulu, tapi pada motifnya terlihat pengaruh unsur-unsur kebudayaan Islam, yaitu motifnya yang bernuansa kaligrafi Arab. Dalam perkembangan selanjutnya motif-motif tersebut dimodifikasi dengan menambahkan raflesia, bunga kibut.
Motif asli atau dasar kain besurek terdiri dari tujuh motif, antara lain:
1. Motif Kaligrafi Arab, Arti motif kaligrafi Arab artinya motif pada kain besurek berupa tulisan Arab.
2. Rembulan – Kaligrafi Arab, Motif rembulan dipadu dengan kaligrafi Arab menggambarkan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
3. Kaligrafi Arab – Kembang Melati, motif ini selain menunjukkan adanya pengaruh Islam (kaligrafi Arab) juga menggambarkan kehidupan flora. Bunga melati adalati salah satu jenis tanaman yang banyak terdapat serta digunakan di Bengkulu sejak dulu.
4. Kaligrafi Arab – Burung Kuau, lukisan burung kuau dan kaligrafi Arab pada kain besurek menggambarkan kehidupan fauna. Burung kuau adalah hasil ciptaan pengrajin sejak dulu.
5. Pohon Hayat – Burung Kuau – Kaligrafi Arab, kain besurek dengan motif ini bisa dikatakan lebih berkembang dari yang disebutkan sebelumbya, karena terdiri dari tiga jenis motif/gambar. Motif kain ini menggambarkan kehidupan flora, fauna, dan pengaruh Islam.
6. Kaligrafi Arab - Kembang Cengkeh – Kembang Cempaka. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Kembang cengkeh dan bunga cempaka adalah jenis tanaman yang banyak terdapat di Bengkulu.
7. Kaligrafi Arab – Relung Paku – Burung Punai. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Relung paku adalah jenis tanaman yang banyak dijumpai di Bengkulu pada jaman dahulu. Oleh karena itu tanaman inipun mengilhami para pengrajin kain besurek untuk melukisnya di atas kain.
-------
Eny Christyawati, dan Siti Rohanah, Motif dan Makna Kain Basurek bagi Masyarakat Bengkulu. Padang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004. |
|
|
|
|
|
|
|
KAIN TAPIS - LAMPUNG
Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 - 1700 .
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan.
Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.
Jenis Tapis Lampung Menurut Asal pemakainya:
Tapis Lampung dari Pesisir :
Tapis Inuh
Tapis Cucuk Andak
Tapis Semaka
Tapis Kuning
Tapis Cukkil
Tapis Jinggu
Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :
Tapis Jung Sarat
Tapis Balak
Tapis Laut Linau
Tapis Raja Medal
Tapis Pucuk Rebung
Tapis Cucuk Handak
Tapis Tuho
Tapis Sasap
Tapis Lawok Silung
Tapis Lawok Handak
Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :
Tapis Jung Sarat
Tapis Balak
Tapis Pucuk Rebung
Tapis Halom/Gabo
Tapis Kaca
Tapis Kuning
Tapis Lawok Halom
Tapis Tuha
Tapis Raja Medal
Tapis Lawok Silung
Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:
Tapis Dewosano
Tapis Limar Sekebar
Tapis Ratu Tulang Bawang
Tapis Bintang Perak
Tapis Limar Tunggal
Tapis Sasab
Tapis Kilap Turki
Tapis Jung Sarat
Tapis Kaco Mato di Lem
Tapis Kibang
Tapis Cukkil
Tapis Cucuk Sutero
Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :
Tapis Rajo Tunggal
Tapis Lawet Andak
Tapis Lawet Silung
Tapis Lawet Linau
Tapis Jung Sarat
Tapis Raja Medal
Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung
Tapis Cucuk Andak
Tapis Balak
Tapis Pucuk Rebung
Tapis Cucuk Semako
Tapis Tuho
Tapis Cucuk Agheng
Tapis Gajah Mekhem
Tapis Sasap
Tapis Kuning
Tapis Kaco
Tapis Serdadu Baris
Tapis Jung Sarat
Jenis Tapis Lampung Menurut Pemakainnya
Tapis Jung Sarat
Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat. Tapis Raja Tunggal
Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.
Tapis Raja Medal
Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.
Tapis Laut Andak
Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.
Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Silung
Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.
Tapis Laut Linau
Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget).
Tapis Pucuk Rebung
Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.
Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Cucuk Andak
Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.
Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan.
Tapis Limar Sekebar
Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.
Tapis Tuho
Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
Tapis Agheng/Areng
Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari.
Tapis Inuh
Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.
Tapis Dewosano
Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Kaca
Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.
Tapis Bintang
Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil
Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Bintang Perak
Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara. |
|
|
|
|
|
|
|
KAIN BALAPAK, BACATUA - PANDE SIKEK (SUMATRA BARAT)
Kain balapak atau kain bacatua merupakan kain songket yang berasal dari Pandai Sikek Sumatera Barat. Kalau menyebut Pandai Sikek, tentu ingat songket. Pandai Sikek sudah identik dengan songket. Namun orang Pandai Sikek nya sendiri tidak menyebutnya songket tetapi tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, yang kemudian kita kenal dengan nama kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan. Benang katun dan emas ditenun dengan tangan di atas alat yang disebut panta, menghasilkan kain balapak atau kain bacatua yang dipakai Pai Baralek, yaitu pada pesta perkawinan dan pada setiap upacara adat. Dengan kata-kata adat Minangkabau diabadikan dalam nama-nama motifnya, kain tenun ini merupakan pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti.
Bagi orang Minangkabau, yang menyebut diri mereka sebagai orang yang beradat, kain tenun adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari upacara-upacara adat istiadat, mulai dari yang dipakai sebagai sarung dan selendang, sebagai tingkuluk dan tokah bagi perempuan, dan sebagai sisamping, salempang dan cawek bajambua bagi laki-laki.
Kain tenun juga diberikan sebagai tando pada upacara adat pertunagan dan pada waktu kusuik ka disalasaikan-karuah ka dipajaniah. Selain itu kain-kain tenun yang menjadi koleksi suatu kaum akan dipajang pada seutas tali yang direntangkan diantara tiang-tiang utama rumah yang baru melaksanakan upacara batagak rumah gadang.
Tidak ada sejarah yang pasti tentang kapan tenun songket mulai dikembangkan di Minangkabau atau di Pandai Sikek. Akan tetapi kepandaian menenun tetuntulah sudah dibawa oleh nenek moyang kita bangsa Austronesia atau yang disebut juga Malayo-Polynesia, dari Tanah Asal, ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan tumur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian dan pertukangan dan senjata, dan sebagainya. Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni. Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan demikian, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang Minang, terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih.
Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya beretahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun.
Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai Pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas. Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, dari India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable.
Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikla-bakal kebudayaan Melayu. Bertahun-tahun daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal. Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal. Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan.
Kalau sebelumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang membuat pakaian dari benang yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di tempat pemukiman mereka, seperti serat kulit pohon, dengan perkembangan perdagangan orang-orang India memperkenalkan bahan dari serat kapas dan linen, juga benang yang disalut dengan lempengan emas tipis. Pedagang Cina membawa benang sutra yang berasal dari kepompong ulat sutra, juga benang yang dibungkus dengan emas kertas kemudian dikenal dengan nama emas prada sehingga bisa diperkirakan bahwa pedangang India pun banyak memperdagangkan bahan tersebut.
Pada tahun 1347 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu dari Darmasyraya ke Pagaruruyung, dan kawasan di sekitar gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang pada waktu itu terdiri dari Luhak nan Tigo dan Rantaunya yang Tujuh Jurai, menjadi terkenal sebagai Alam Minangkabau, dengan beberapa pusat pemerintahan yang tersebar di Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Pagaruryung, Batipuh, Sumanik, Saruaso, Buo, Biaro, Payakumbuh, dan lain-lain.
Alam Minangkabau dengan falsafah alam yang dianut masyrakatnya, alur dan patut serta alam takambang jadi guru, sangat memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangya kebudayaan dan kesenian dengan pengkayaan dari unsur-unsur budaya asing. Susunan masyarakat yang bersuku-suku eksogami dan, yang lebih utama lagi, aturan sumando manyumando, telah mengeliminir konflik antar kelompok sehingga kedamaian dapat terwujud dalam jangka waktu yang panjang dan memberi kesempatan bagi anak nagari untuk memperlajari dan memperhalus ilmu-ilmu dan keterampilan termasuk keterampilan bertenun.
Daerah Batipuh, sebagai salah satu pusat pemerintahan, kedudukan Tuan Gadang Batipuh sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dapat diduga menjadi salah satu daerah yang amat penting pada masa kejayaan Minangkabau dahulu, bersama daerah-daerah lain yang tersebut diatas. Sejalan dengan keadaan itu, masyarakatnya tentu mandapat kesempatan yang lebih banyak pula untuk melakukan kegiatan ekonomi dan budaya termasuk keterampilan tenun sehingga mutu dan corak kain tenun semakin tinggi dan halus. Gadis-gadis menenun kain sarung dan tingkuluk dengan benang emas untuk dipakai ketika mereka menikah, dan perempuan lainnya menenun kain untuk dijual.
Adat istiadat di Minangkabau mendorong kegiatan bertenun ini lebih jauh lagi karena pada setiap kesempatan upacara adat, kain tenun selalu wajib dipakai dan dihadirkan. Kata-kata adat dinukilkan di dalam nama-nama motif sehingga menjadi buah bibir dan diucapkan setiap saat. Kain tenun menjadi pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti. Dimasa inilah, dimasa kejayaan Turki Usmani dan Asia Tengah, pada puncak kebesaran Dinasti Mongol di India ketika Sultan Akbar, 1556-1605 sangat memajukan seni dan ilmu pengetahuan, pada masa kejayaan Dinasti Ming dan Manchu di Cina: ketika itu pertukaran perdangangan dan budaya sedang sangat pesat dan melibatkan Minangkabau sebagai suatu kawasan yang menjadi lintasan perdagangan dan juga negri yang mempunyai komoditi dagang yang penting yaitu rempah-rempah dan emas, seni menenun kain dangan sutra dan benang emas di Sumatra, bersamaan dengan suji dan sulaman pun mencapai puncak kemajuannya dan menemukan ciri khasnya tersendiri.
Hampir semua pelosok Minangkabau, dari Luhak sampai ke rantau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji dan sulaman. Masing-masih mengembangkan corak dan ciri-cirinya sendiri, hal yang sangat dikuasai oleh para pedagang barang antik dan kolektor. Beberapa nagari yang terkenal sekali dengan kain tenununya dan sangat produktif pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang, dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang melanjutkan tradisi warisan menenun hari ini adalah nagari yang termasuk Batipuh Sapuluh Koto juga yaitu Pandai Sikek.
Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakain pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan juga dipajang atau digelar pada waktu batagak rumah.
Sulit mengatakan siapa yang dapat dikatakan sebagai master tenun hari ini; tetapi diantara ahli tenun yang terkenal pada generasi sebelum kita ada nama-nama Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.
Ada belasan orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman itu. Akan tetap kira-kira seratus tahun yang lalu diyakin beberapa wanita Pandai Sikek sangat aktif dibidang usaha dan kerajinan menenuni ini sehingga nama julukan mereka yang terambil dari peralatan tenun lebih dikenal sampai sekarang. Diantaranya, dikenal nama-nama Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok. |
|
|
|
|
|
|
|
KAIN CAPO - PAPUA
Asal Daerah/Kota: Papua, Propinsi: Papua
Capo merupakan sejenis kain tempa dengan hiasan pilin ganda. |
|
|
|
|
|
|
|
KAIN KOMBOUW - PAPUA
Kombouw
Asal Daerah: sekitar Danau Sentani, Papua
Deskripsi: Berupa lembar-lembar kain berukuran : 6Ox70 cm, terbuat dari kulit kayu tempa daerah danau Sentani, Irian Jaya, dihias dengan corak-corak dari zat pewarna, pigmen warna Putih terbuat dari kerang-kerangan, Hitam atau nokoman diperoleh dari jelaga, dan merah atau hasai yang dibuat dari tanah merah. |
|
|
|
|
|
|
|
mana kain dari msia?
-aku pun pernah tolong mak mencanting batik masa kecik2 dulu |
|
|
|
|
|
|
|
KAIN PINAWITENGAN - SULAWESI UTARA
Batu Pinawetengan menurut Cerita Rakyat.
Ceritera rakyat mengenai adanya batu Pinawetengan di temukan penulis J.G.F Riedel dari cerita rakyat tombulu yang di cetak dalam bentuk buku berjudul "AASAREN TUAH PUHUHNA NE MAHASA" terbit di tahun 1870 dalam bahasa Tombulu. Lokasi tempat batu Pinawetengan pada mulanya hanya disebut tempat berkumpulnya penduduk Minahasa yang terletak di tengah-tengah Tanah Minahasa. Kemudian disebut tempat Pahawetengan Posan, pembahagian tatacara beribadat agama suku. Lokasinya disebuah tempat yang bernama bukit AWOHAN (AWOAN) di Tompaso.
Istilah Watu Pinawetengan pada waktu itu belum ada, karena batu suci tempat upacara PAHAWETENGAN POSAN belum ditemukan karena sudah tertimbun dan masuk ke dalam tanah. Kemudian di tahun 1888 pada bulan Juni J.Alb.T. Schwarz seorang pendeta di Sonder membiayai penggalian batu Suci orang Minahasa tersebut, dan bulan Juli 1888 batu itu di temukan lalu lahirlah istilah "Watu Pinawetengan". Usia gambar-gambar di batu Pinawetengan di analisa penulis J.G.F Riedel berasal dari abad ke-7 (tujuh).
Analisa Arti Gambar Oleh J.Alb.T Schwarz.
Orang pertama yang menganalisa garis gambar di permukaan batu Pinawetengan adalah Pendeta J.Alb.T Schwarz, berdasarkan komentar Hukum Tua Kanonang Joel Lumentah. Keterangan Hukum Tua Kanonang dan seorang guru dari Sonder hanya mengenai bentuk segi-tiga adalah bentuk atap rumah pemimpin utama Minahasa yang memimpin upacara adat di batu Pinawetengan. Keterangan penting lainnya adalah gambar-gambar yang ada di tahun 1888 dan sekarang ini sudah hilang. Seperti gambar kelelawar, ikan hiu, buaya, jaring penangkap ikan. Hanya sampai disini uraian penulis J.Alb. Schwarz dalam bukunya "ETHNOGRAPHICA VIT DE MINAHASSA". Arti gambar manusia tidak dapat di analisa oleh Penulis J.Alb.T Schwarz.
Analisa Arti Gambar Oleh Jessy Wenas.
Penulis melanjutkan penelitian arti gambar batu Pinawetengan dengan melengkapi data cerita rakyat Tontemboan buku tulisan J.Alb.T.Schwarz "Tontembeansche Taksten" terbitan tahun 1907. bahwa pemimpin upacara adat di pinawetengan Maha dewa Muntu-Untu tidak hanya satu orang tapi ada beberapa orang dalam kurun waktu 800 Tahun. Kemudian membandingkan gambar manusia di Pinawetengan yang punya kesamaan dengan gambar manusia di gua Angano Filipina yang berusia 3000 tahun yang lalu, memberi data bahwa pembuatan gambar di batu Pinawetengan bukan hanya mulai dari abad ke-7 tetapi sudah di mulai sejak jaman sebelum Masehi. Untuk lebih mendalami penelitian simbol-simbol perbandingan gambar-gambar binatang dan benda lainnya dari sistim zodiak Minahasa dari buku " De alfoersche Dierenriem " tulisan pendeta berkebangsaan Belanda Jan Ten Hove cetakan Tahun 1887. Karena uraian simbol-simbol gambar zodiak buku JAN TEN HOVE tahun 1887 sangat jelas mengenai penggunaan simbolisasi itu. Maka bahan keterangan data itu digunakan penulis untuk menguraikan lebih jauh arti- arti gambar yang bukan gambar manusia di permukaan batu Pinawetengan. |
|
|
|
|
|
|
|
Tidak ada sejarah yang pasti tentang kapan tenun songket mulai dikembangkan di Minangkabau atau di Pandai Sikek. Akan tetapi kepandaian menenun tetuntulah sudah dibawa oleh nenek moyang kita bangsa Austronesia atau yang disebut juga Malayo-Polynesia, dari Tanah Asal, ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan tumur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian dan pertukangan dan senjata, dan sebagainya.
Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni. Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan demikian, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang Minang, terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih.
Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya beretahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun.
Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai Pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas. Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, dari India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable.
Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikla-bakal kebudayaan Melayu.
Bertahun-tahun daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal. Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal.
Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan.
;););) |
|
|
|
|
|
|
|
owh, ni bukan batik nusantara, ni batik Indonesia.. |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by jf_pratama at 23-3-2010 07:17
KAIN SASIRANGAN - BANJAR (KALIMANTAN SELATAN)
Kain sasirangan adalah sejenis kain yang diberi gambar dengan corak dan warna tertentu yang sudah dipolakan secara tradisional menurut citarasa budaya yang khas etnis Banjar di Kalsel.
Secara etimologis istilah Sasirangan bukanlah kata benda sebagaimana yang dikesankan oleh pengertian di atas, tapi adalah kata kerja. Sa artinya satu dan sirang artinya jelujur. Ini berarti sasirangan artinya dibuat menjadi satu jelujur.Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda). Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa.
Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama. Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat clipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih. Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar).
Merujuk kepada paparan yang ada di dalam Hikayat Banjar (selesai ditulis tahun 1635), kain langgundi sebagai cikal bakal kain sasirangan sudah dikenal orang sejak tahun 1365 M. Namun, sudah barang tentu kain langgundi yang dibuat pada kurun-kurun waktu dimaksud sudah tidak mungkin ditemukan lagi artefaknya.Menurut laporan Wulan (2006), kain sasirangan yang paling tua berusia sekitar 300 tahun. Kain sasirangan ini dimiliki oleh Ibu Ida Fitriah Kusuma, salah seorang warga kota Banjarmasin (Tulah Mata Picak Tangan Tengkong, SKH Mata Banua Banjarmasin, Senin, 13 November 2006, hal 1 bersambung ke hal 13). Konon, sejak Putri Junjung Buih mengenakan kain langgundi, maka sejak itu pula, warga negara Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi. Mereka khawatir akan kualat karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu menjadi raja putri junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi tidak lagi membuatnya, karena pangsa pasarnya memang sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian, kain langgundi ternyata tidaklah punah sama sekali. Beberapa orang warga negara Kerajaan Negara Dipa masih tetap membuatnya. Kali ini kain langgundi dibuat bukan untuk dijadikan sebagai bahan pembuat busana harian, tetapi sebagai bahan pembuat busana khusus bagi mereka yang mengidap penyakit pingitan. Penyakit pingitan adalah penyakit yang diyakini sebagai penyakit yang berasal dari ulah para arwah leluhur yang linggal di alam roh (alam barzah).Menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di Kalsel, konon para arwah leluhur itu secara berkala akan menuntut anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi. Begitulah, setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkannya dari penyakit pingitan itu kecuati mengenakan kain langgundi. Kain langgundi yang di pergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif itu dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan keperluan, seperti sarung (tapih bahalai), bebat (babat), selendang (kakamban), dan ikat kepala (laung).
Corak dan warna gambar kain langgundi sangatlah beragam (tidak melulu bercorak getas dan berwarna dasar kuning saja), karena setiap jenis penyakit pingitan menuntut adanya kain langgundi dengan corak dan warna gambar tertentu yang saling berbeda-beda. Sejak dipergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif inilah kain langgundi lebih dikenal sebagai kain sasirangan. Nama ini berkaitan dengan cara pembuatan, yakni disirang (kain yang dijelujur dengan cara dijahit kemudian dicelup ke dalam zat pewarna). Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutu*an jasmani seluruh warga negara.
Setelah Putri Junjung Buih, kemudian Pangeran Surianata, dan anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, kain langgundi hanya boleh dikenakan sebagai busana kebesaran para bangsawan kerajaaan. Rakyat jelata tidak berani mengenakannya sebagai busana harian karena, takut terkena tulah. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika, itu (sesudah tahun 1335) merujuk kepada fungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutu*an jasmani bagi para bangsawan kerajaan saja.Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14-15 kain sasirangan berubah menjadi kain yang dikeramatkan dan kain Pamintaan, yakni kain yang hanya dibuat berdasarkan permintaan anak, cucu, buyut, intah piat para bangsawan pengidap penyakit pingitan. Konon, diyakini tidak ada obat lain yang mujarab bagi para pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan kain sasirangan di kepala (ikat kepala, selendang), di perut (bebat), atau bahkan menjadikannya sebagai selimut fidur (sarong). Menurut penuturan nenek Jumantan (72 tahun), seorang juru sembuh terkenal di kota Banjarmasin, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya tidak lain adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah dengan nenek moyang mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari (Wulan, 2006). Patut diduga, nenek moyang para pasien nenek Jumantan tersebut tidak lain adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari 40 orang wanita perawan yang dulu berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan kain langgundi yang diminta oleh Putri Junjung Buih. Ini berarti fungsi kain sasirangan sudah bergeser.
Perbedaan asal-usul geneologis nenek moyang antara anak, cucu, keturunan bangsawan berdarah biro menuntut perlakuan yang berbeda dalam hal proses penyembuhan. Proses penyembuhan penyakit yang dideritanya, keturunan rakyat jelata dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Sekadar meminum air putih yang sudah diberi mantra-mantra atau doa-doa oleh para jurusembuhnya.Sementara proses penyem¬buhan penyakit yang diderita oleh keturunan bangsawan sudah mengalami perumitan yang sedemikian rupa. Proses penyembuhan penyakit yang mereka derita harus dilengkapi dengan terapi mengenakan kain sasirangan yang harganya relatif mahal . Paparan ini merupakan petunjuk bahwa kain sasirangan pada zaman dahulu kala pernah menjadi simbol status sosial di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Kasus semacam ini masih terjadi hingga sekarang ini. Rakyat jelata yang hidupnya miskin hanya diberi fasilitas pengobatan setara dengan dana yang tersedia dalam program asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Sementara itu para pejabat bahkan para mantan pejabat diberi fasilitas pengobatan yang terbilang istimewa dan dirawat di rumah sakit berkelas dengan dana ditanggung negara. Menurut keterangan nenek Antung Kacit, siapa saja yang nenek moyangnya bukan keturunan bangsawan atau bukan keturunan pembuat kain sasirangan, akan kualat karena terkena tulah yang sangat menakutkan, yakni ninta picak tangan tengkong (bahasa Banjar, arfinya mata buta dan tangan mati rasa karena terkena stroke). |
|
|
|
|
|
|
|
KAIN KERAWANG - GORONTALO
Kain Kerawang
Asal Daerah/Kota: Gorontalo
Propinsi: Gorontalo
Kain kerawang biasanya terdapat corak yang tidak rata memenuhi pipa bidang, bahkan cederung hanya sebagai pemanis (aksen) keseluruhan kain. Pada teknik ini benang pakan pada bagian-bagian tertentu dipotong sehingga yang tersisa jajaran benang-benang lungsi saja. Lungsi-lungsi inilah yang disulam sehingga muncullah corak-corak tetentu. |
|
|
|
|
|
|
|
KAIN KAMBALA - SUMBA (NUSA TENGGARA TIMUR)
Kain Kambala
Asal Daerah/Kota: Sumba Timur
Propinsi: NTT
Deskripsi: Kain koleksi Biranul Anas, Bandung (65 x 200 cm).
Kain Kambala merupakan kain tempa kulit kayu dengan tingkat kelenturan lembar juga relatif rendah. yang berhiaskan corak-corak khas yang terdapat dalam alam kepercayaan masyarakat setempat. Teknik terapan yang digunakan adalah sulam dan rat pewarna bubukan (coletan) sederhana. |
|
|
|
|
|
|
|
KAIN ULOS - TAPANULI (SUMATRA UTARA)
Ulos
Pada zaman dahulu, sebelum orang Batak mengenal Tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Ulos pada umumnya terbuat dari sejenis benang yang dipintal dari kapas (randu), yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya, yang dapat merupakan ukuran dalam penentuan nilai sebuah ulos. Tingkat keahlian pembuatan ulos dilihat dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna yang diinginkan.
Ulos Jugia
Ulos ini disebut juga ulos na so ra pipot atau pinunsaan. Jenis ini menurut kepercayaan orang Batak tidak boleh dipakai kecuali oleh orang yang sudah saurmertua, yaitu semua anak laki-laki dan perempuan sudah menikah dan dari semua anaknya itu telah mempunyai cucu. Hanya orang yang demikianlah yang disebut na gabe yang berhak memakai ulos tersebut. Ulos ini sering merupakan barang warisan orangtua kepada anaknya dan nilainya sama dengan sitoppi (emas yang dipakai oleh istri raja-raja pada waktu pesta).
Ulos Ragi Hotang
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pangantin dan disebut Ulos Hela. Pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin kedua pengantin dapat teguh seperti rotan (hotang). Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin laki-laki setinggi bahu terus sampai ke sebelah kiri pengantin perempuan. Ujung sebelah kanan dipegang oleh pengantin laki-laki dan ujung sebelah kiri dipegang oleh pengantin perempuan, lalu disatukan di tengah dada seperti terikat. Dahulu rotan dipergunakan sebagai tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Falsafah inilah yang dilambangkan oleh ulos Ragi Hotang tersebut.
Ulos Sadum
Ulos ini penuh dengan warna-warni yang ceria sehingga sangat cocok dipakai untuk suasana sukacita. Di Tapanuli Selatan misalnya ulos ini biasanya dipakai sebagai Ulos Panjangki (parompa) bagi keturunan “Daulat, Baginda atau Raja”. Untuk mengundang (marontang) Raja-raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas pinggan godang (burangir/haronduk panyurduan). Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan yang dilarang memakai ulos ini. Karena motifnya yang indah di daerah lain ulos ini sering diberikan sebagai kenang-kenangan atau dibuat sebagai hiasan dinding.
Ulos Runjat
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau terpandang sebagai Ulos Edang-Edang (pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu di luar Hasuhoton Bolon, misalnya oleh Tulang, Pariban dan Pamarai. Ulos ini dapat diberikan pada waktu mengupa-upa atau waktu ulaon si las ni roha (acara gembira).
Ulos Sibolang
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan suka dan duka. Untuk keperluan dukacita biasanya dipilih dari jenis warna hitam yang lebih menonjol, sedangkan untuk peristiwa sukacita dipilih jenis ulos dengan warna putih yang lebih menonjol. Ulos ini banyak dipergunakan orang untuk peristiwa dukacita. Misalnya untuk Ulos Saput atau Ulos Tajung harus dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain. Dalam upacara perkawinan, ulos ini biasa dipakai sebagai tutup ni ampang dan juga bisa disandang, akan tetapi harus dipilih dari jenis yang warna putihnya menonjol. Inilah yang disebut Sibolang Pamontari. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala keperluan adat, maka ulos ini terlihat paling banyak dipakai dalam upacara adat, sehingga dapat dikatakan lebih memasyarakat dengan harga yang relatif murah. Hanya saja ulos ini tidak lazim dipakai sebagai Ulos Pengupa atau Parompa.
Ulos Suri-Suri Ganjang
Ulos ini dinamai Ulos Suri-Suri Ganjang karena raginya berbentuk sisir memanjang. Ulos ini dapat diberikan sebagai Ulos Hela kepada pengantin baru. Dahulu ulos ini dipergunakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipergunakan oleh pihak hula-hula untuk manggabei pihak borunya. Karena itu ulos ini sering disebut juga ulos sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini, yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa, sehingga bisa dipakai sebagai ampe-ampe, bila dipakai dua lilit pada bahu kiri dan kanan maka akan terlihat si pemakai layaknya memakai 2 buah ulos.
Ulos Mangiring
Ulos ini mempunyai ragi yang saling beriringan yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Sering diberikan oleh orang tua sebagai Ulos Perompa kepada cucunya, agar seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir pula adik-adiknya sebagai temannya yang seiring dan sejalan. Sebagai pakaian sehari-hari ulos ini dapat dipakai sebagi tali-tali (detar) untuk laki-laki dan untuk wanita disebut saong atau tudung. Pada waktu upacara mampe goar ulos ini dapat pula dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan oleh pihak hula-hula kepada menantunya.
Ulos Bintang Maratur
Raginya menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang ini menggambarkan orang yang patuh, rukun dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal sinandongan (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang. Semuanya berada pada tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe) juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Nilai dan fungsinya sama dengan ulos pengiring.
Ulos Sitoluntuho
Ulos ini biasanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat, kecuali bila diberikan kepada sebagi seorang anak yang baru lahir sebagai Ulos Parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan yang dalam istilah adat dikatakan Ulos Panoropi yang diberikan oleh pihak hula-hula kepada pihak boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntoho karena raginya berjejer tiga merupakan tuho atau tugal, yang biasanya dipakai untuk melubangi tanah untuk menanam benih.
Ulos Jungkit
Ulos jenis ini juga disebut Ulos na Nidongdang atau Ulos Purada. Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para gadis dari keluarga Raja-raja yang merupakan hoba-hoba yang dipakai hingga batas dada. Juga pada waktu menerima tamu pembesar atau upacara perkawinan. Dahulu purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India lewat pelabuhan Barus. Akan tetapi pada pertengahan abad XX permata tersebut tidak lagi diperdagangkan, maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara majungkit benang ulos tersebut.
Ulos Lain-lain
Masih ada lagi ulos batak yang lain, namun sudah jarang dipergunakan dalam acara-acara adat biasa. Misalnya Ulos Lobu-lobu yang mempunyai keperluan khusus untuk orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Jenis ulos lainnya antara lain seperti Ragi Panei, Ragi Hatirongga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi Siimput ni Hirik, Ulos Bolean, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Lobu-lobu dan lain-lain. |
|
|
|
|
|
|
|
Nice thread to read ...
Just to share the modernization of "Tenun Ikat" from our Timorese in Nusa Tenggara Timur province.
How Ikat Got its Groove
It used to take up to 12 months to weave ikat before Oscar Lawalata came up with a system that effectively divided labor and cut down production time. (JG Photo)
A small hut made out of sago palm leaves led to the entrance of the Rumah Dua8 gallery, where an exhibition of traditional textiles featured in Oscar Lawalata’s latest collection was being held.
Inside the gallery, four elderly women sat on straw mats, their heads bowed over pieces of fabric, wrinkled hands adeptly tying knots and weaving threads. They were making ikat , a handwoven textile from East Nusa Tenggara, which was showcased during the just concluded exhibition, “Aku, Ikat, Mereka dan Kami” (“Me, Ikat, Them and Us”), which ran from March 27 to April 3.
“I’ve arranged the exhibition as a journey for visitors to experience the unique cultural riches of East Nusa Tenggara,” Oscar said during the opening.
The 33-year-old Jakarta designer is well known for designs that celebrate traditional textiles, such as ikat, batik and songket .
His handmade collections, which integrate traditional with contemporary designs, have given him an edge in the niche market of culture-based fashion houses in Hong Kong, Japan, Britain and the United States.
At the three-story gallery in Kemang, South Jakarta, more than 100 ikat weavings were on display, showcasing textiles from the six main islands of East Nusa Tenggara — Timor, Rote, Flores, Savu, Alor and Sumba.
The first floor featured ikat textiles from the islands of Timor and Rote, distinguished by intricate geometrical patterns and dark colors, such as red, indigo and black, and produced from natural dyes derived from tropical herbs and spices found in the region.
The red dye, for example, is made from the leaves of the Mengkudu tree and the indigo dye from the leaves of the Nila tree. To absorb the colors, cotton and silk fibers are sometimes left to soak in the dye for days, creating the rich, dark hues.
The intricate motifs depict traditional local beliefs, as well as influences from foreign traders. The Uskenat tribe of North Biboki village on Timor Island, for example, describes the greatness of God by incorporating patterns of striking thunder in its ikat weavings. The elaborate geometrical patterns from Rote, on the other hand, mirror the Indian patola motif used in some sari designs.
“Women usually weave the ikat in their spare time,” said Victoria Nanggula, one of the weavers from Rote, who has been working with Oscar for five years. “When it’s finished, they usually keep it in their wardrobes for special occasions or they give it away to guests who come to their house.”
The gallery’s second floor showcased ikat from the islands of Flores, Savu and Alor. The brown, blue, black and white textiles featured motifs depicting daily activities and plant and animal life.
“Some of the floral patterns were copied from the embroidery books of the Dutch who occupied the island,” Oscar explained.
Ikat from Sumba occupied the gallery’s third floor. Here, the patterns were larger and rich in symbolism representing local traditions and values, like the andungu katalingu (three skulls) motif that symbolizes courage, heroism and triumph. The tiana (ark) pattern represents teamwork and unity in facing obstacles. Other motifs included the tau (human), representing protection from the ancestors, njara (horse) to signify the high social status of the wearer and the ruha (rooster), a symbol of power and masculinity.
“The patterns are very unique and elegant,” said Arti S Usman, secretary general of the Women’s Foundation, who visited the exhibition. “Who would have thought that people who live in remote villages in East Nusa Tenggara could produce such attractive fashion items?”
Oscar said that he wanted to present the fabrics in their original state before they were cut and sewn into clothes. “Without the cutting and stitches, guests can fully appreciate the beauty of ikat’s intricate motifs,” Oscar said.
During the weeklong exhibition, the gallery also hosted fashion shows to display Oscar’s recent collection of sarongs and modified traditional blouses made of silk and chiffon. “Hopefully, with this exhibition and the fashion shows, we can convince Jakarta’s urban society to include ikat as part of their daily wardrobe,” the designer said.
Oscar’s infatuation with ikat started in 2005 when he attended the Alor Festival in East Nusa Tenggara. He said he immediately fell in love with the region’s beautiful landscape and hardworking, cheerful people.
But among the province’s cultural riches, it was ikat that most captured his heart. “It was like finding a hidden treasure,” he said. “There were thousands of elaborate motifs, natural colors and weaving techniques that have never been explored before.”
Oscar at once recognized the skill and creativity of the ikat weavers and began collaborating with them, with the support of the Novanto Center, a nonprofit organization established by lawmaker Setya Novanto, who represents the province.
“We and Oscar share the same vision,” said Deisti A Novanto, Setya’s wife. “We want to introduce East Nusa Tenggara textiles to people outside the region by incorporating ikat into today’s fashion items, as well as to empower the weavers with proper trainings and education.”
The project, which now involves more than 250 weavers from around the region, has allowed women to improve their earnings.
“This community-based program can be a strong basis for their economy,” Oscar said.
Through the project, women have not only gained new textile-making skills and techniques, but also valuable management skills that have enabled them to work more productively and efficiently.
“We’ve learned a lot from Oscar,” said Desi, a weaver from the island of Alor.
“He divided the work groups into several divisions with different tasks; one division does the weaving, the other does the coloring and so on.”
The division of labor, she said, has allowed the weavers to finish a piece of ikat that in the past might have taken eight to 12 months, in one to three months.
Working with the designer has also introduced new lightweight cotton and silk threads for the weavers to replace their traditional stiff and inelastic materials. The project also has experimented with different trees, herbs and spices to generate vibrant colors.
Their latest discoveries include the bright and glossy purple color generated with a unique blend of secang wood and ashes. They have also concocted a formula, which includes turmeric and tamarind, to produce a bright yellow color.
“But I would never change the motifs,” Oscar said. “Each motif was originally created by skillful artisans in the past. In these ancient motifs lie the unique cultural heritage of East Nusa Tenggara.”
The end-products have been made into dresses, blouses, jackets and skirts under the Oscar Lawalata Culture label.
The collaboration became the beginning of Oscar’s “Weaving the Future” project, which earned him the prestigious International Young Fashion Entrepreneur award from the British Council in February 2009.
Today, hundreds of traditional weavers from South Sulawesi, Bali, East Nusa Tenggara and Cirebon in West Java are actively involved in the project.
“Fashion designers should help these traditional weavers by innovating and incorporating these traditional textiles into contemporary designs,” Oscar said. “In that way, we would be creating an industry that extends from the producers to the end-customers.” |
|
|
|
|
|
|
| |
|