View: 9422|Reply: 17
|
Menyingkap Fajar Sejarah Sumatra dan Nusantara
[Copy link]
|
|
GUA HARIMAU - Menyingkap Fajar Sejarah Sumatera dan Nusantara
Jumat, 29 Oktober 2010; KOMPAS/KENEDI NURHAN
Kegiatan ekskavasi untuk melacak jejak hunian manusia prasejarah di Gua Harimau di wilayah Desa Padang Bindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan
Akhir September 2010 ”Kompas” berkesempatan mengikuti kegiatan penelitian arkeologi prasejarah oleh tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional di kawasan perbukitan karst di wilayah Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Catatan dari kegiatan ekskavasi untuk menguak peradaban masa silam Pulau Sumatera tersebut disajikan sebagai laporan ”Fokus” edisi kali ini.
***
Daun dan semak di sepanjang jalan setapak menuju perbukitan karst itu masih basah oleh embun pagi. Kokok ayam dari kampung terdekat terdengar kian sayup. Di pertigaan jalan setapak yang licin itu, ketika jalan mulai menanjak, dua anggota rombongan memutuskan berpisah.
Pindi dan Fadhlan sudah ditunggu penunjuk jalan yang akan membawa mereka ke satu ceruk gua di bukit sebelah timur. Dua hari sebelumnya diperoleh informasi dari seorang penduduk penjaga sarang walet tentang keberadaan beberapa gua yang diduga menyimpan jejak hunian manusia, jauh di masa lampau.
”Tengah hari nanti kami akan menyusul ke Gua Harimau,” kata Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), yang juga ahli lukisan gua prasejarah.
Fadhlan S Intan, geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas), hanya berpesan kepada Nurhadi Rangkuti—Kepala Balai Arkeologi Palembang yang baru bergabung dengan tim sehari sebelumnya—agar berhati-hati menapaki jalan licin menuju Gua Harimau. ”Licin, terjal, dan banyak pacet,” kata Fadhlan setengah berteriak, sebelum ’menghilang’ di tikungan jalan menanjak yang bersemak perdu.
Temuan Istimewa
Gua Harimau, itulah nama yang diberikan penduduk di sana. Gua Harimau, itu pula nama resmi yang sejak tiga tahun lalu masuk dalam peta penelitian arkeologi prasejarah Indonesia. Masyarakat setempat dan kalangan ilmuwan memang menggunakan kata ”gua” (juga dalam pelafalannya, seperti juga tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan bukan ”goa” (istilah yang sebetulnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia baku sehingga seharusnya dihindari, tetapi masih kerap dipakai) untuk menyebut liang atau lubang besar di kaki perbukitan.
Disebut Gua Harimau, konon—menurut para penduduk setempat—gua ini pernah menjadi tempat harimau berdiam. Lokasi gua cukup tersembunyi di lereng perbukitan karst, tertutup pepohonan tinggi dan penuh semak belukar di jalan setapak yang terjal menutup lereng bukit. Di bawahnya, sungai kecil (penduduk menyebutnya Aek Kaman Basah) mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan.
Gua Harimau hanyalah satu di antara puluhan gua di daerah ini yang diindikasikan sebagai lokasi hunian manusia prasejarah. Namun, bagi para ahli arkeologi, Gua Harimau jadi istimewa karena—dari hasil ekskavasi sementara—selain ditemukan belasan rangka manusia purba, juga terdapat lukisan prasejarah.
Terkait keberadaan lukisan gua (art rock) itu, Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, bahkan menyebutnya sebagai temuan yang sangat spektakuler. Sebab selama ini ada semacam keyakinan di kalangan arkeolog bahwa di bagian barat Indonesia (baca: Jawa dan Sumatera) tidak tersentuh budaya lukisan gua. Anggapan itu didasarkan pada hasil penelitian sejak puluhan tahun lalu dan mereka hanya menemukan lukisan gua di wilayah Indonesia bagian timur.
”Akan tetapi, penemuan ini telah membalikkan anggapan tersebut, bahkan mengubah pandangan lama terkait zona sebaran lukisan gua di Asia Tenggara,” kata Truman Simanjuntak.
Sebelumnya, dari sekitar 20 gua di kawasan ini yang telah dieksplorasi oleh tim Puslitbang Arkenas bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perancis untuk Pembangunan (Institut de Recherche pour le Developpement/IRD) pada awal tahun 2000-an, tidak satu pun yang menyimpan lukisan gua. Temuan yang diperolah hanya jejak-jejak hunian manusia dari rentang 9.000-2.000 tahun lalu.
Baru pada penelitian tahun 2009, arkeolog E Wahyu Saptomo yang bertindak sebagai ketua tim secara tidak sengaja menemukan sejumlah guratan di dinding dan langit-langit bagian timur laut Gua Harimau. Setelah diamati lebih cermat, guratan-guratan merah kecokelatan yang tak begitu jelas bentuknya itu tak lain adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai lukisan prasejarah.
Sementara dari kegiatan ekskavasi di lantai gua, tim yang telah mengupas lapisan tanah hingga kedalaman 90 sentimeter menemukan belasan rangka manusia. Hasil identifikasi Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran, menunjukkan bahwa manusia prasejarah yang terkubur di Gua Harimau adalah ras Mongoloid.
Dua jenis temuan (rangka manusia dan lukisan prasejarah) ini, berikut artefak-artefak pendukungnya, dinilai sangat penting sebagai bahan dasar untuk merekonstruksi sejarah peradaban prasejarah di kawasan ini pada khususnya dan Sumatera pada umumnya.
Sang Pendahulu
Berbeda dibandingkan dengan keberadaan manusia prasejarah di Pulau Jawa pada umumnya—sebutlah seperti Pithecanthropus erectus ataupun Homo soloensis dan Homo mojokertensis sebagai bagian dari Homo erectus—yang populasinya diperkirakan musnah pada kala Pleistosen, daur hidup ras Mongoloid dari Gua Harimau justru terus berlanjut. Begitupun manusia ras Mongolid prasejarah di wilayah Nusantara lainnya, yang masuk ke Nusantara sejak 4.000 tahun lalu.
Ras Mongoloid yang membawa budaya tutur Austronesia ini pada tahap evolusi berikutnya membangun peradaban baru: meninggalkan gua dan mulai mengembangkan tradisi bercocok tanam di perladangan. Tentu dalam wujud yang paling sederhana, sembari tetap meneruskan tradisi para pendahulunya sebagai manusia pemburu-peramu.
Sisa-sisa gerabah di antara alat-alat serpih dari rijang dan obsidian, serta batuan lain yang ditemukan dalam ekskavasi, menunjukkan bahwa mereka sudah memiliki kemampuan memanfaatkan alam lingkungan sekitar untuk kehidupan sehari-hari. Dikaitkan dengan temuan kubur-kubur yang berorientasi timur-barat sebagai simbol siklus kehidupan, juga keberadaan lukisan yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua, menguatkan dugaan bahwa mereka sudah mengenal kehidupan yang lebih kompleks daripada sekadar manusia pemburu-peramu.
Oleh karena itu, baik Harry Widianto maupun Truman Simanjuntak sepakat bahwa kehadiran mereka sekaligus menandai awal keberadaan nenek moyang bangsa ini. Kelompok ras Mongoloid yang tiba di Sumatera pada 4.000-3.500 tahun lalu, setelah kedatangan migrasi pertama kelompok ras Australomelanesid pada akhir Zaman Es sekitar 11.000 tahun lalu, inilah yang menghadirkan budaya tutur Austronesia; cikal bakal nenek moyang bangsa ini.
”Mereka adalah leluhur bangsa Indonesia sekarang,” kata Truman Simanjuntak. ”Saya percaya sisa-sisa (rangka) manusia dari Gua Harimau termasuk para penghuni awal manusia di Sumatera,” kata Harry Widianto.
Kenyataan ini seharusnya makin menumbuhkan kesadaran ke-”bhinekatunggalika”-an kita sebagai bangsa. Dalam persebarannya di Nusantara, tiap kelompok beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda sehingga lambat laun melahirkan keragaman fisik dan budaya. Terjadi apa yang kemudian kini dikenal sebagai masyarakat yang plural dan multikultur.
”Inilah hakikat penting belajar prasejarah, yakni untuk memahami latar belakang keberadaan kita pada masa sekarang serta memberi arah dan nilai pada kehidupan masa depan,” ujar Truman Simanjuntak.
Jadi? Mari terus kita rajut Nusantara! (KEN) |
|
|
|
|
|
|
|
KAWASAN BERSEJARAH - Setelah Banjir Bandang Berlalu...
Jumat, 29 Oktober 2010
Lebih dari 28 tahun lalu kawasan Desa Padang Bindu dan sekitarnya dilanda bencana hebat. Banjir bandang meluluhlantakkan sejumlah desa yang ada di bagian hulu tepian Sungai Ogan itu. Tercatat 200 lebih orang tewas terseret air bah. Beberapa di antaranya hilang hingga kini, tidak bisa dilacak di mana kuburnya.
Ratusan rumah panggung yang ada di sana pun ikut disapu arus yang naik dan melimpas desa begitu cepat. Ulak Pandan dan Batanghari—dua desa yang mengapit Padang Bindu, di hilir dan hulunya—tercatat menderita paling parah.
”Waktu itu saya masih kelas II SD. Kami, tujuh bersaudara, hanya dua yang selamat. Lima saudara saya yang lain meninggal, satu di antaranya hilang. Sampai hari ini tidak terberitakan kalau-kalau ada orang yang menemukan mayatnya di daerah hilir sana,” tutur Zarkoni (36), penduduk Desa Ulak Pandan.
Padang Bindu dan sekitarnya, yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, memang rawan banjir. Sungai Ogan merupakan daerah limpasan air yang turun dari gugusan perbukitan di lereng timur Pegunungan Bukit Barisan.
Begitu banyak mata air di sana, membentuk sungai-sungai kecil dan semua mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan sebagai ”induk”-nya. Sungai Ogan sendiri, bersama delapan sungai besar lain yang ada di Sumatera Selatan, pada akhirnya mengalir dan bermuara ke sungai yang lebih besar lagi: Sungai Musi!
Sejak tragedi tahun 1982 itu, peristiwa banjir dalam skala serupa memang tidak pernah terjadi. Akan tetapi, seiring perubahan bentang alam kawasan ini, ketika hutan-hutan di perbukitan terus dibuka untuk perladangan dan wilayah ”hutan larangan” sebagai daerah tangkapan hujan di hulunya mulai diincar pemodal besar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, ancaman banjir bandang dalam skala yang mungkin lebih besar bukan suatu kemustahilan akan berulang. Lebih-lebih di tengah perubahan iklim global seperti sekarang.
”Takut nian, Pak, kami kalau sampai hutan di hulu sana ’dijual’ oleh pemerintah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sebab, kabarnya daerah ’hutan larangan’ itu sudah akan dibuka, tinggal menunggu waktu,” kata salah seorang penduduk Padang Bindu.
Di tengah kekhawatiran sebagian kecil warga yang paham akan risiko banjir bandang yang mungkin suatu saat akan terulang, di tengah kian rusaknya kawasan perbukitan di pinggang timur Pegunungan Bukit Barisan di wilayah ini, sejak 10 tahun terakhir sebuah aktivitas kecil oleh tim penelitian dari Puslitbang Arkenas mencoba mengeksplorasi jejak-jejak hunian prasejarah di daerah mereka.
Hanya beberapa kilometer di seberang desa mereka, dipisah oleh Sungai Ogan yang berair keruh-pekat—tanda di bagian hulu terjadi erosi terus-menerus—terbentang gugusan perbukitan karst yang diselang-selingi tanah datar. Jauh lebih ke belakang, Pegunungan Bukit Barisan menjadi semacam penyekat bagian timur dan barat Pulau Sumatera.
Hasil penelitian awal cukup mencengangkan. Dari kotak-kotak galian di Gua Harimau saja sudah 18 individu manusia prasejarah ras Mongoloid yang berhasil diidentifikasi. Jarak antara satu individu dan individu yang lain sangat dekat. Lokasi kuburan pun menyebar di seluruh kotak yang digali, mengindikasikan Gua Harimau sebagai lokasi penguburan.
Di lokasi galian juga didapati distribusi artefak—berupa alat serpih terbuat dari rijang, obsidian, dan batu gamping kersikan—dalam sebaran yang cukup signifikan. Ini mengindikasikan fungsi gua tak hanya untuk pemakaman, tetapi sekaligus tempat hunian.
Jejak hunian masa lampau itu kini mulai terkuak. Akankah kawasan bersejarah itu rusak akibat keserakahan manusia masa kini? (ken) |
|
|
|
|
|
|
|
LUKISAN PRASEJARAH - Cerita dari Dinding Gua
Jumat, 29 Oktober 2010; KOMPAS/KENEDI NURHAN
Arkeolog prasejarah E Wahyu Saptomo dari Puslitbang Arkenas memperlihatkan salah satu lukisan prasejarah yang ada di dinding dan langit-langit Gua Harimau di perbukitan karst wilayah Desa Padang Bindu, Sumatera Selatan.
Hingga lepas tengah hari, Pindi dan Fadhlan belum juga muncul. Sejak berpisah di jalan setapak yang licin di bawah bukit, saat embun pagi masih menempel di daun-daun kopi, pencarian mereka untuk mengeksplorasi jejak peradaban prasejarah di perbukitan karst itu belum juga berakhir.
Pindi Setiawan adalah ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB), adapun Fadhlan S Intan adalah seorang geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas). Hari itu, Pindi dan Fadhlan berniat mengeksplorasi sejumlah ceruk di tebing-tebing perbukitan karst di kawasan Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Sementara itu, arkeolog Nurhadi Rangkuti sudah bersiap-siap turun dari ceruk di sisi timur bukit. Di sana, di ceruk besar yang tersembunyi di antara rimbun pepohonan tinggi menjulang, yang oleh penduduk sekitarnya dikenali sebagai Gua Harimau, tim dari Puslit Arkenas masih terbenam dalam kegiatan masing-masing.
Beberapa peneliti melanjutkan pendataan dan pemetaan hasil temuan di 10 kotak ekskavasi. Sejumlah tenaga lokal mulai memotong-motong papan yang khusus didatangkan dari desa terdekat, Padang Bindu, untuk dijadikan kotak penutup belasan rangka manusia purba yang ditemukan selama ekskavasi pada kedalaman 0,5-1 meter dari permukaan tanah.
Sedikitnya 18 rangka manusia prasejarah yang berhasil disingkap dalam proses penggalian itu memang harus didokumentasikan, sebelum lubang-lubang galian (masing-masing berukuran 1,5 x 1,5 meter) yang memanjang membentuk huruf L tersebut dipendam kembali ke perut bumi. Selain sebagai upaya pengamanan dari ulah tangan-tangan jahil dan binatang liar, juga untuk menghindari proses pelapukan yang lebih cepat akibat bersentuhan dengan udara luar.
Namun, kekhawatiran yang paling dirisaukan justru menyangkut keberadaan sejumlah ”lukisan” prasejarah yang ditemukan di dinding dan langit-langit gua. Kakhawatiran itu sangat beralasan. Baru setahun setelah lukisan prasejarah di Gua Harimau itu diketahui keberadaannya oleh arkeolog E Wahyu Saptomo, tahun 2009, pada penelitian tahun berikutnya (20 September-3 Oktober 2010) beberapa guratan yang membentuk pola gambar itu sudah terkikis di sana-sini. Bahkan sudah muncul torehan baru oleh tangan-tangan jahil manusia masa kini.
Bentuk guratan yang terpusat di pojok timur laut gua itu memang masih sangat sederhana. Hanya berupa garis-garis datar sejajar, vertikal, atau gabungan keduanya sehingga saling bersilang, dan ada pula berupa lingkaran konsentris bersusun tiga. Beberapa di antaranya berbentuk seperti jala ataupun menyerupai anyaman tikar.
Belum ada gambar yang secara tegas bisa diidentifikasikan sebagai wujud hewan atau aktivitas manusia, misalnya. Keragamannya pun tidak sekaya motif lukisan gua seperti yang ditemukan di Sulawesi ataupun Kalimantan. Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, baru sebatas menyebutnya sebagai lukisan figuratif dan non-figuratif.
Akan tetapi, temuan ini sangat penting bagi dunia arkeologi. Selain merupakan temuan pertama keberadaan lukisan gua di Sumatera (dan Jawa), temuan ini sekaligus bisa mematahkan pandangan lama atas zona sebaran lukisan prasejarah di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Nusantara.
Lebih dari itu, dikaitkan keberadaan sisa-sisa rangka manusia berikut tradisi yang mereka bangun di kawasan ini, teori migrasi ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang mereka bawa dari daratan Asia—sebelum akhirnya menyebar ke selatan melalui jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi—juga bisa berubah.
Masih Misteri
Ditemukan menyebar di bidang datar pada dinding dan langit-langit pojok timur laut gua, lukisan berwarna merah-kecoklatan itu dibuat menggunakan oker dari campuran butiran hematit dan tanah merah yang banyak terdapat di kawasan ini. Namun, hingga sejauh ini tim peneliti belum berani membuat kesimpulan sementara terkait fungsi dan makna guratan yang tertera di sana.
”Kemungkinannya banyak, tetapi satu hal yang bisa dikatakan adalah bahwa keberadaan gambar-gambar di Gua Harimau pasti terkait ritual tertentu. Ini bisa dilihat dari keletakan gambar dan keberadaan temuan rangka manusia yang ada di sana,” kata Pindi.
Ahli komunikasi visual yang telah bertahun-tahun mendalami fenomena lukisan gua (Pindi sendiri menghindari penggunaan istilah lukisan ataupun seni untuk terjemahan rock art, ia lebih memilih istilah ”gambar cadas”) ini menduga, tiap gambar yang ada di Gua Harimau dibuat untuk upacara tertentu dan hanya dipahami oleh si pembuatnya. Artinya, anggota yang terlibat dalam ritual itu pun sesungguhnya tidak mengetahui makna gambar tersebut.
Mengingat masyarakat prasejarah belum mengenal konsep tentang huruf, gambar cadas adalah suatu sarana bagi mereka berkomunikasi melalui rupa. Konsep ini tentu berbeda pada mereka yang sudah mengenal aksara (apa pun bentuknya) tetapi mencoba mengomunikasikan ide dan gagasannya melalui lukisan, misalnya. Begitu pun logika komunikasinya. Akan tetapi, satu hal yang pasti, ciri utama komunikasi pada umumnya adalah adanya pola yang berulang.
”Pola berulang itulah yang diwujudkan pada gambar cadas, yang kemudian pola informasi yang diguratkan pembuatnya itu akhirnya dipahami manusia prasejarah lainnya pada masa itu,” ujar Pindi.
Seperti gambar cadas pada umumnya, keberadaan gambar- gambar prasejarah di Gua Harimau pun diyakini mengandung imaji-imaji yang mewakili pesan tertentu. Hanya saja, dari bentuk yang terpapar, Pindi menduga jenis imaji yang ditorehkan pada dinding dan langit-langit Gua Harimau lebih bersifat spontan. Bentuknya tidak mewakili apa yang dilihat mata (imaji mimetis), juga tidak merujuk pada apa yang dikhayalkan orang ataupun mencerminkan suatu konsep yang ada di benak.
Namun, apa pun bentuk dan seribu kemungkinan makna yang bisa ditafsir dari garis-garis merah kecoklatan itu, suatu cerita sudah diguratkan oleh para pendahulu kita: nenek moyang bangsa ini! (KEN) |
|
|
|
|
|
|
|
GAMBAR CADAS - "Suara" yang Diam dari Masa Silam
Jumat, 29 Oktober 2010
Keberadaan lukisan gua di perbukitan karst tak jauh dari Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, boleh dibilang sebagai temuan sangat spektakuler. Temuan lukisan (atau apa pun istilahnya) di Gua Harimau itu, seperti dikatakan oleh Truman Simanjuntak—ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas—akan mengubah paradigma tentang lukisan gua di Indonesia.
Temuan ini sekaligus mengisyaratkan keberadaan lukisan gua dari masa prasejarah lainnya di Sumatera (juga mungkin di Jawa). Selama ini ada keyakinan di kalangan arkeolog bahwa Indonesia bagian barat tidak tersentuh oleh tradisi lukisan gua.
Berpuluh-puluh tahun, lukisan gua hanya ditemukan di Indonesia bagian timur. Akan tetapi, lewat penemuan-penemuan baru di Kalimantan—khususnya di Kalimantan Timur—dalam beberapa tahun terakhir, keyakinan itu mulai goyah. Pandangan tadi kemudian direduksi hanya Sumatera dan Jawa yang tidak mengenal tradisi lukisan gua.
”Sekarang, melalui penemuan di Gua Harimau, anggapan bahwa Sumatera (barangkali juga Jawa) tidak mengenal tradisi lukisan gua tampaknya harus direvisi lagi,” kata Truman Simanjuntak.
Menurut catatan Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari ITB yang mendalami fenomena lukisan prasejarah, gambar cadas (istilah lain lukisan gua, rock art) merupakan warisan budaya gambar manusia paling tua, sekaligus paling lebar rentang waktunya. Sejak pertama kali dibuat pada sekitar 40.000 tahun lalu, gambar cadas tetap digambar hingga kini (baca: antara lain oleh masyarakat Aborigin di Australia).
Gambar cadas, kata Pindi, merupakan fenomena mendunia, dibuat oleh Homo sapiens yang belum mengenal semacam aksara dan tulisan. Namun, lewat gambar cadas yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua itu, Homo sapiens membuktikan bahwa mereka sudah punya kemampuan berimajinasi sekaligus mewujudkan imajinasinya dalam bentuk gambar.
”Tidak ada makhluk Tuhan lainnya yang memiliki kemampuan berimajinasi dan sekaligus mewujudkannya,” kata Pindi.
Kalangan ahli meyakini bahwa lukisan prasejarah, terutama yang banyak ditemukan di dinding dan langit-langit gua, merekam buah pikiran (intuisi) tentang kehidupan masyarakat pendukungnya. Karena itu, gambar-gambar tersebut sesungguhnya juga memiliki fungsi sosial.
Ada pesan dan makna yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Pesan dan makna itu kebanyakan dalam bentuk simbol komunikasi nonverbal, yang tentu saja berbeda dengan model komunikasi melalui gambar yang dibangun oleh masyarakat berbudaya tulis.
Itulah ”suara” dari masa silam. ”Suara” yang diam di tengah riuhnya kemajuan peradaban hari ini. (KEN) |
|
|
|
|
|
|
|
RAS MONGOLOID - Keropos Gigi, Warisan Para Leluhur
Jumat, 29 Oktober 2010
Arkeolog prasejarah E Wahyu Saptomo mengamati temuan rangka manusia di kotak galian dalam ekskavasi di Gua Harimau, Desa Padang Bindu, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Duduk berselonjor di antara sisa-sisa rangka manusia prasejarah yang begitu rapuh, Ngadiran tampak begitu menikmati pekerjaannya. Satu per satu rangka manusia purba itu ia gambar sesuai keletakannya. Inilah proses identifikasi akhir sebelum kotak galian ditutup kembali.
Hingga penggalian tahap kedua usai, sedikitnya 18 individu manusia penghuni gua yang sudah diidentifikasi. Sebagian besar rangka temuan dalam ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau—berada di perbukitan karst sekitar tiga kilometer dari Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan—itu relatif masih utuh. Satu di antaranya bahkan terlihat seperti orang menyeringai menahan rasa sakit.
”Lihat, ekspresinya persis kayak orang sakit gigi,” kata Nurhadi Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang, seraya menunjuk salah satu rangka di kotak galian nomor dua.
Meski sambil bergurau, Nurhadi Rangkuti sebetulnya tidak sedang bercanda. Hasil pengamatan Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran, menguatkan dugaan itu. Bahwa, salah satu penyakit yang terlihat pada rangka-rangka manusia prasejarah dari Gua Harimau adalah adanya keropos gigi (karies) yang cukup signifikan.
Pada individu yang dirujuk Nurhadi, yang diidentifikasikan Harry sebagai laki-laki dewasa, kerusakan pada giginya terlihat begitu parah. Karies ini menyerang mulai dari mahkota gigi, akar gigi, dan berakibat pada bagian atas rawang bawah.
”Kondisi penyakit seperti ini akan memberikan rasa sakit luar biasa kepada si penderita,” ujarnya.
Rupanya, dari hasil pengamatan Harry Widianto selama bertahun-tahun bergelut dengan sisa-sisa rangka manusia prasejarah, penyakit karies gigi seperti ini sangat menonjol pada ras Mongoloid. Bahkan, pada ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang merupakan cikal-bakal sebagian besar manusia Indonesia (kecuali sejumlah kecil populasi di Indonesia bagian timur yang termasuk ras Australomelanesid) saat ini, fenomena karies gigi yang meluas tak hanya terjadi pada konteks prasejarah.
”Pada populasi manusia ras Mongoloid sekarang pun, seperti saya ini, juga banyak ditemukan mengidap penyakit karies gigi,” kata Harry.
Terkait pola makan
Berdasarkan ciri-ciri morfologis, kuburan massal manusia prasejarah di Gua Harimau memang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid. Kecenderungan umum pada kehidupan manusia prasejarah ras Mongoloid lebih bertumpu pada kegiatan meramu tumbuhan. Model pola makan inilah yang diduga menjadi penyebab utama karies gigi pada mereka.
Berbeda dengan Homo erectus yang hidup selama masa Pleistosen (lebih dikenal dengan sebutan zaman es) dan ras Australomelanesid pada pertengahan pertama masa Holosen (sesudah Pleistosen). Kedua ras manusia prasejarah ini adalah pemburu sejati dan hanya sedikit meramu tumbuhan. Oleh karena itu, pola makan mereka lebih bertumpu pada protein hewani dan hanya sedikit mengonsumsi karbohidrat.
Pengamatan Harry Widianto terhadap lebih dari 200 gigi-geligi Homo erectus dari Afrika, Asia, dan Eropa yang hidup sekitar 1,5 juta-300.000 tahun lalu menunjukkan tidak satu pun individu yang terserang penyakit karies gigi. Begitu pun pada ras Australomelanesid, yang hidup di gua-gua prasejarah di Pegunungan Sewu (membentang dari Kali Oya di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, hingga Teluk Pacitan di Jawa Timur) dan Kalimantan Selatan pada 13.000-5.000 tahun lalu, juga tidak ditemukan individu yang giginya keropos.
Sebaliknya, pada ras Mongoloid (baru muncul di Nusantara sejak 4.000 tahun lalu) dengan model alimentasi (diet, pola makan) lebih bertumpu pada makanan yang mengandung banyak karbohidrat, penyakit keropos gigi terlihat begitu menonjol. Lantas, di mana hubungan sebab-akibatnya?
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa jenis makanan yang banyak mengandung karbohidrat, seperti padi-padian, talas, dan umbi-umbian akan meninggalkan sisa makanan yang lebih melekat pada gigi. Selain melekat pada gigi, karbohidrat juga memberikan banyak zat gula, yang diketahui sebagai penyumbang munculnya karies gigi. Hal semacam itu tidak terjadi pada para pemburu dan peramu yang mengonsumsi daging hewan.
Dengan demikian, kata Harry, terdapat hubungan yang sangat logis antara keropos gigi di kalangan Mongoloid dan model pola makan mereka yang lebih banyak mengonsumsi karbohidrat. ”Besar kemungkinan pola makan tersebut, yang bertumpu pada ekonomi pertanian, yang telah memberikan penyakit gigi kepada kalangan Mongoloid,” papar Harry Widianto.
Pola dan kebiasaan makan manusia Mongoloid prasejarah yang lebih bertumpu pada karbohidrat itu diduga terus berkembang ketika mereka membangun peradaban baru di luar gua, menjadi manusia menetap dengan membuka ladang-ladang pertanian. Jadi, tak usah heran apabila sebagian besar anak-cucu keturunan mereka hari ini (baca: bangsa Indonesia) lebih bergantung pada asupan makanan yang mengandung karbohidrat ketimbang protein hewani.... (ken) |
|
|
|
|
|
|
|
MIGRASI - Para Penghuni Awal Sumatera
Jumat, 29 Oktober 2010
Ngadiran dari Puslitbang Arkenas mendokumentasikan posisi dan keletakan rangka manusia prasejarah hasil ekskavasi di Gua Harimau di wilayah Desa Padang Bindu, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Tiga di antara 18 individu manusia prasejarah hasil ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau itu sepertinya dikubur pada saat bersamaan dalam satu liang. Persis di bawah rangka utama, dua rangka individu lain terlihat saling bersentuhan dalam posisi bagai menyangga ”sang majikan” yang dikubur di atas keduanya.
Posisi penguburan yang unik sekaligus menimbulkan tanda tanya. Mungkinkah dalam sistem penguburan pada masa itu, antara 3.500 dan 2.000 tahun lalu, manusia prasejarah di Nusantara telah mengenal strata sosial di mana apabila ada tokoh atau orang-orang tertentu meninggal maka perlu ada tumbal yang harus ikut dikubur? Mungkinkah sudah ada kepercayaan kehidupan setelah mati di alam lain sehingga ”sang majikan” tetap perlu dilayani pasca-kematiannya?
”Segala kemungkinan selalu ada, tetapi yang pasti seluruh rangka manusia dari Gua Harimau merupakan ras Mongoloid,” kata Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
Harry begitu yakin temuan ’kuburan’ massal di Gua Harimau adalah sisa-sisa rangka manusia prasejarah dari ras Mongoloid. Keyakinan itu berangkat dari ciri-ciri morfologis rangka temuan, terutama dari bentuk tengkorak yang meninggi dan membundar (brachycephal), tulang tengkorak bagian belakang (occiptal) yang datar, morfologi gigi seri, bentuk orbit mata, kedalaman tulang hidung (nasal), serta dari postur tulang dan tubuh mereka yang khas Mongoloid.
”Ciri-ciri morfologisnya memang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid,” kata Harry.
Siklus kehidupan
Individu-individu itu umumnya dikubur dengan orientasi timur (kepala) dan barat (kaki). Lewat penguburan semacam ini, patut diduga bahwa mereka sudah mengenal semacam filosofi tentang siklus kehidupan. Arah timur sebagai lokasi kepala adalah arah matahari terbit, sedangkan barat sebagai arah kaki adalah arah matahari tenggelam. Dalam konteks ini, penguburan dengan orientasi semacam itu mengacu pada asal mula (timur) dan akhir (barat) dari kehidupan.
Filosofi itu juga tecermin dari adanya penguburan terlipat, yang menggambarkan posisi bayi di dalam perut sebelum ia dilahirkan. Dengan mengubur secara terlipat diharapkan pada saat kematian yang bersangkutan telah dibebaskan dari segala belenggu duniawi dan dikembalikan pada kehidupan awal pada saat dia mati.
”Dengan demikian, posisi penguburan terlipat tersebut mengisyaratkan individu tersebut kembali suci pada saat dia meninggal,” tutur Harry Widianto.
Melalui temuan ini, teori baru tentang alur migrasi manusia prasejarah pendukung budaya Austronesia ke Nusantara perlu dibangun kembali. Paling tidak, teori lama bahwa ”pendudukan” Sumatera oleh ras Mongoloid dari daratan Asia melalui Taiwan-Filipina-Sulawesi—kemudian dalam perjalanan migrasi mereka selanjutkan ke Madagaskar melalui Kalimantan, Sumatera, dan Jawa (dikenal sebagai teori ”Out of Taiwan”)—bukanlah satu-satunya kebenaran.
Sebab, temuan-temuan rangka manusia berikut artefak tinggalan budaya mereka di kawasan perbukitan karst Padang Bindu, Sumatera Selatan—juga temuan semasa di Ulu Tijanko, Jambi—menunjukkan usia yang sama tuanya (sekitar 3.500 tahun) dengan budaya Austronesia di Sulawesi, misalnya. Tafsir baru yang dapat dimajukan adalah bahwa sejak awal persebaran ras Mongoloid tidak hanya terjadi di bagian tengah Nusantara (jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi), tetapi juga di bagian barat melalui daratan Asia Tenggara ke Sumatera-Jawa.
”Sisa-sisa rangka manusia di Gua Harimau, juga di Pondok Selabe dan Gua Putri yang masih dalam satu kawasan, adalah bukti dari pergerakan ’jalur baru’ tersebut,” kata Harry.
Patut diduga mereka inilah para penghuni awal Sumatera. Dalam tahap evolusi lebih lanjut, beribu-ribu tahun kemudian—setelah menanggalkan status sebagai ”manusia gua” dengan hidup dan menetap di lembah dan dataran yang lebih luas—mereka pun membangun kebudayaan baru di daratan yang kini disebut sebagai Pulau Sumatera. Dan, Gua Harimau adalah salah satu lokasi kuburan para leluhur orang-orang Sumatera itu.... (KEN) |
|
|
|
|
|
|
|
ARKEOLOGI PRASEJARAH - Menunggu Kejutan dari Gua Harimau
Jumat, 29 Oktober 2010
Arkeolog prasejarah E Wahyu Saptomo mengamati langit-langit di sisi barat Gua Harimau, tempat ditemukannya "kuburan massal" manusia prasejarah ras Mongolid dalam ekskavasi di perbukitan karst wilayah Desa Padang Bindu, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Oleh Prof. Dr. TRUMAN SIMANJUNTAK
Gua hunian prasejarah ini sangat mengesankan. Ibarat perumahan sekarang, ia dapat digolongkan sebagai real estat. Di antara lebih dari 25 gua yang sudah teridentifikasi di perbukitan karst Desa Padang Bindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, gua ini paling ideal sebagai hunian.
Menempati lereng sebuah bukit karst yang menghadap ke kali kecil di bawahnya, gua menjadi sangat strategis untuk hunian dan perlindungan. Berada di ruang depan yang sangat luas dan relatif datar terasa lega karena pintu gua yang sangat lebar dan tinggi menjadikan sirkulasi udara sangat baik dengan sinar yang leluasa memasukinya. Belum lagi angin sepoi-sepoi yang sesewaktu menggerakkan dedaunan di depan gua, membuat rasa isis dan suasana alami.
Bagi manusia prasejarah dengan kemampuan teknologi dan daya pikir yang masih terbatas, keberadaan Gua Harimau dengan kondisi idealnya merupakan sebuah pemberian alam yang sangat spesial. Jika gua-gua yang sempit, gelap, dan lembab saja dihuni manusia—karena mereka belum mampu mendirikan bangunan tinggal yang ideal—apalagi Gua Harimau dengan segala ”fasilitas” yang dimilikinya? Sungguh beralasan jika di dalam gua ini ditemukan jejak-jejak kehidupan prasejarah yang sangat kaya, dan kemungkinan besar dari beberapa periode perkembangan budaya.
Gua Harimau mengingatkan kita pada beberapa gua lain di Nusantara yang telah dihuni manusia sejak 45.000-30.000 tahun yang lalu, dan berlanjut hingga 3.000-2.000 tahun lalu. Tercatat di antaranya Song Terus di wilayah Gunung Sewu, Jawa Timur, yang telah dihuni sejak 45.000 tahun lalu. Ada pula Gua Braholo di wilayah Wonosari, Jawa Tengah; Leang Burung 2 dan Leang Sakapao di Sulawesi Selatan, serta Gua Golo di Maluku, yang dihuni sejak 30.000 tahun lalu.
Di luar Indonesia, hunian sezaman terdapat di ceruk Lang Rong Rien di Thailand, Gua Tabon di Filipina, dan Gua Niah di Sarawak, Malaysia. Penemuan jejak-jejak hunian di gua-gua ini menunjukkan bahwa kawasan Asia Tenggara sudah dihuni secara kontemporer di sekitar akhir Pleistosen oleh Homo sapiens awal.
Kubur dan lukisan prasejarah
Sejak ditemukan tahun 2008, Gua Harimau telah menarik perhatian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas). Walaupun masih dalam tahap awal, tetapi eksplorasi dan ekskavasi yang dilakukan telah memberikan hasil-hasil penting.
Tidak hanya bagi kemajuan arkeologi lokal, tetapi juga bagi lingkup Nusantara, dan bahkan Asia Tenggara. Penemuan-penemuan sejauh ini telah memperkaya wawasan kita tentang pemanfaatan gua-gua alam di zaman prasejarah.
Selain sebagai tempat hunian, Gua Harimau juga dimanfaatkan untuk kuburan. Penghuni gua yang mati dikuburkan di ruangan yang sama dengan menggali tanah pada kedalaman 30-90 sentimeter. Tampaknya, populasi penghuni gua cukup besar, terlihat dari penemuan sebaran kubur dari 18 individu di bagian tengah ruangan gua.
Ada kubur primer dengan posisi terlipat, setengah terlipat, dan telentang; ada pula kubur sekunder yang menguburkan kembali sisa bagian tubuh tertentu. Keragaman teknik dan orientasi kubur mencerminkan kekayaan alam pikir dan stratifikasi sosial pada komunitas penghuni gua.
Penemuan pecahan-pecahan tembikar dari berbagai jenis wadah, alat-alat serpih dari obsidian dan batuan lainnya, sisa pembakaran, cangkang kerang, biji-bijian, dan tulang-tulang hewan bersama kubur menggambarkan hunian gua masih mempertahankan peralatan dari batu dengan memanfaatkan fauna dan flora yang tersedia di sekitar gua. Patut dicatat pula bahwa penemuan alat besi dan tajak perunggu di lapisan atas menunjukkan adanya tradisi hunian dan kubur hingga masa protosejarah.
Seluruh tinggalan ini mengindikasikan hunian gua berlangsung sejak kehadiran penutur Austronesia awal, leluhur bangsa Indonesia sekarang, di sekitar 3.000 tahun lalu. Hunian itu berlanjut hingga masuknya pengaruh logam di sekitar awal Masehi.
Cukup mengejutkan adalah bahwa di gua ini juga terdapat lukisan-lukisan yang menggunakan zar merah kecoklatan. Pada dinding dan langit-langit gua tampak gambar figuratif (anyaman dan beberapa jenis hewan) yang menggambarkan benda dan lingkungan nyata) dan non-figuratif (bentuk geometris dan garis-garis) yang merupakan simbol-simbol yang belum diketahui maknanya.
Penemuan ini mengubah pandangan lama yang menganggap Sumatera (dan Jawa) tidak tersentuh oleh budaya lukisan gua, budaya yang sangat marak di sekitar paruh pertama kala Holosen di Indonesia timur. Penelitian yang masih berjalan diharapkan dapat menjelaskan arti, fungsi, dan posisi kronologinya; apakah kontemporer dengan kubur-kubur yang ditemukan atau dari masa sebelumnya.
Gua yang menjanjikan
Penemuan-penemuan di Gua Harimau merupakan sebuah kemajuan penelitian yang memberikan pemahaman baru akan dinamika hunian gua di Indonesia. Keberadaan kubur-kubur manusia dan tinggalan yang menyertainya telah memberikan pandangan baru akan kehadiran penutur Austronesia awal dan budayanya di wilayah ini, dan yang berlanjut ke masa yang lebih kemudian di sekitar awal Masehi.
Menarik dicatat bahwa pada periode transisi ke zaman sejarah ini, penutur Austronesia awal umumnya sudah tidak lagi menetap di gua, tetapi telah berpindah dengan menghuni rumah- rumah bertiang sederhana di bentang alam terbuka. Keberlanjutan hunian di Gua Harimau boleh jadi karena kondisi hunian ideal yang dimilikinya.
Satu lagi kejutan besar yang diharapkan datang dari gua ini menyangkut penemuan jejak-jejak hunian dari akhir Pleistosen. Sungguh sebuah pertanyaan besar, mengapa Sumatera sebagai pulau besar dengan keletakan yang sangat strategis, menghubungkan Asia Tenggara daratan-kepulauan, tidak memiliki data dari periode ini. Berbeda dengan Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan bahkan kawasan Asia Tenggara, Melanesia Barat, dan Australia umumnya sudah dihuni manusia secara kontemporer di kala itu.
Kondisi ideal hunian Gua Harimau dengan sedimen pengisi gua yang tebal, menjadi tumpuan harapan untuk mengisi kekosongan itu. Kita tunggu kejutan besar itu terjadi pada waktunya melalui penelitian-penelitian mendatang.
Prof. Dr. Truman Simanjuntak Ahli Arkeologi Prasejarah di Puslitbang Arkenas |
|
|
|
|
|
|
|
E Wahyu Saptomo???? dah x da orang Sumatera agaknya...:re: |
|
|
|
|
|
|
|
pak pratama nak kena pukul pak?
sekali lagi pak claim nusantara milik indonesia, insyallah kami pukul pak. tak de main2 pak.
artikel pak masukkan tu cukup bagus pak... lukisan2 kat dinding gua pun bagus gak pak. tp pak tahu ke pak, bahawa lukisan yg sama juga ada sini malaysia ini pak... bukan indonesia je yang ada pak...
pak tahu ke pak, yg gendang dong son pun ada pattern yang sama pak.. sama design je pak.
semua yang dok kat sini sama empayar je pak.. mereka bukan org gua sangat pun pak. gua2 ni ibarat pondok2 sementara je pak..
sekali pak claim benda bukan2 pak, memang saya pukul pak.. serius ni~ |
|
|
|
|
|
|
|
erm.. kalu aku tak letak gambar persamaan pattern, kang korg aku menipu plak.. ye la orang sekarang semua nak bukti letak kedebuk depan hidung masing2... malas nak mencari dan mengkaji.. sebab tu batu putih kena amik dek singapore tu.
meh aku kasi pic untuk korang...
dua2 artifek di atas adalah di jumpai hutan pahang
di atas ialah beberapa dong son artifak dan sekitarnya...
ni plak yg di jumpai di thailand...
yang ni plak pak jf pratama uploadkan...
so, korang jangan tengok pada hasilannya (silver work, relief, or lukisan gua etc), tp tgk pada seni lukisnya... ianya sama sahaja.
so, di sini jelas bahawa satu dunia melayu ni di huni oleh sekelompok manusia yang sama advance je.. tak de thailand, tak de indonesia, tak de malaysia, tak de brunei... mereka2 ini adalah kelompok2 manusia yang menghuni di dunia melayu (jawa indonesia pantang sebut melayu..)
mereka ada ketamadunan sendiri dan menguasai teknologi dan kesenian budaya yang sama.. bila di sebut 'sama', makanya mereka ini di bawah satu kekuasaan yang sama...
jadi, kalu ada org yang nak meng- negara bangsa kan budaya, sejarah dan agama.. siap korang~
skrg ni pun kerajaan kita sdg sibuk dok meng negara bangsa kan... bukan tka buleh. bagus jugak. tp jgn mencampur adukkan agama, tauhid fillah dan budaya kerana ia sudah sunnahtullah bahawa "di cipta bangsa2 untuk saling kenal mengenali".. hang nak lawan sunnatullah, hang ingat hang tuhan?! |
|
|
|
|
|
|
|
biar ar dia.... artikal tu bagus.. cuma niat TT kurang bagus huhuhu |
|
|
|
|
|
|
|
Ketuanan Indon Jawa Batak Tuhan murka
Tsunami.. gempa.. Gunung Berapi |
|
|
|
|
|
|
|
pak pratama nak kena pukul pak?
sekali lagi pak claim nusantara milik indonesia, insyallah kami p ...
hasell Post at 29-10-2010 23:03
tergeliat lidah aku bila baca pak pak pak pak... |
|
|
|
|
|
|
|
Aku berlindung dari segala kebinasaan dan kesedihan... |
|
|
|
|
|
|
|
Encik/Cik/Tuan/Puan JF PRATAMA,
Info yang menarik. |
|
|
|
|
|
|
|
Reply 10# hasell
Encik/Cik/Tuan/Puan Hasell,
Gambar yang sungguh menarik. |
|
|
|
|
|
|
|
Ketuanan Indon Jawa Batak Tuhan murka
Tsunami.. gempa.. Gunung Berapi
KingNepTune Post at 1-11-2010 09:14
merapu sangat {:2_67:} |
|
|
|
|
|
|
| |
|